Katanya Seneca pernah berkata : "suffering may hurt, but it is not an evil". Buku yang tengah saya baca menyambung: it is not an evil when, unable to avoid it, we turn it to profit to learn and to change.
Prinsipnya kiranya - suffering bukan untuk dipeluk, digendong, dibawa-bawa, tetapi digunakan sebagai sarana untuk belajar dan berubah. Pada dirinya sendiri suffering tidak ada nilainya. Ia menjadi bernilai jika ia kita pahami apa adanya dan kita jadikan papan tolak untuk melompat lebih tinggi lagi.
Terbersit dibenak saya bagaimana ucapan Yesus soal keharusan pengikutNya untuk meminggul salib dan mengikuti Dia. Lantas dipahami sebagai ajakan memanggul derita. Karena dalam salib Yesus menderita. Dalam terang paragraf diatas pemahaman salib sebagai derita (yang dipanggul dan dibawa-bawa dengan sabar dan setia) kok jadi aneh.
Saya cenderung mengikuti Groenen OFM memahami salib - bahwa salib disana lebih tepat dipahami sebagai kayu palang yang digotong prajurit Roma yang mau perang. Alhasil Yesus mengajak kita untuk mengikuti Dia macam prajurit yang siap tempur. It has nothing to do with carrying our suffering where ever we roam.
Yesus memang memanggul salib, tetapi aku ragu kalau kita
pengikutNya hanya berhenti disana. Tujuan akhir adalah kebangkitan. Bukan salib itu sendiri. Dan derita -pada dirinya sendiri- tidak punya banyak nilai. Ia baru punya nilai kalau ia membuat kita belajar - berubah dan menjadi baru.
No comments:
Post a Comment