Mendengar kata 'bujangan' ada kecenderungan yang teringiang adalah lagu ciptaan Muri (drummer koes plus). Katanya :
Begini nasib jadi bujangan
Ke mana mana asalkan suka
Tiada orang yang melarang
Hati senang walaupun tak punya uang
Hati senang walaupun tak punya uang
Apa susahnya hidup bujangan
Setiap hari hanya bernyanyi
Tak pernah hatinya bersedih
Sudah tentu yang menulis lirik lagu ini punya gambaran tertentu tentang bujangan. Padahal semua pastor, kardinal dan Paus sendiri adalah bujangan juga (kaul selibat). Tetapi mana kita bayangkan Paus "Setiap hari hanya bernyanyi" seperti bujangan yang dibayangkan Muri.
Kiranya yang kita amati adalah sebuah fenomena generalisasi. Rata-rata bujangan yang lumrah ya berbentuk seorang pemuda hijau yang tidak punya uang meski bebas kemana saja sambil bernyanyi.
Wahai tetapi apakah rata-rata itu ? 'Rata-rata' selalu adalah fungsi dari semesta pembicaraan. Rata-rata orang di desa cuma lulusan SMA - tetapi generalisasi 'rata-rata' ini tidak selalu valid kalau dilepas dari konteks semesta pembicaraan. Kiranya konteks cerita kerap dilewatkan saja, dan perhatian lebih sering diarahkan pada detail. Padahal tanpa konteks detail bisa menyesatkan
Kesesatan yang lebih parah bisa terjadi kalau "konotasi" dibiarkan liar kemana-mana. Konotasi kita maknai disini sebagai subjective cultural and/or emotional coloration in addition to the explicit or denotative meaning of any specific word or phrase in a language, i.e. emotional association with a word. Cukuplah dari sini kita lihat bahwa konotasi memerlukan pemahamanan akan konteks semesta pembicaraan. Tanpa konteks generalisasi yang konotatif bisa menyesatkan.
Tuesday, March 23, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment