Mel Gibson sudah menyumbangkan sebuah tradisi baru : nonton DVD Passion menjelang jumat agung. Tidak ada yang salah disana kecuali bahwa Passion menurut Mel adalah sebuah peristiwa yang kelewat berdarah. Nyaris sepanjang film kita disuguhi satu menu saja - darah. Bagi saya Mel seperti hendak menekankan betapa dahsyatnya penderitaan manusia Yesus. Memang demikianlah konteks Perjanjian Baru - hamba Allah yang menderita, yang mengosongkan diri demi menyelamatkan manusia. Tidak ada yang baru disana. Begitulah dua ribu tahun isi iman kristen.
Yang menjadi produk ikutan -bagi saya- perlu sebentar dicermati. Yesus yang memanggul salib jelas menderita. Tetapi bukankah itu misi yang Ia emban? Tidak ada jalan lain selain lewat salib. Ibarat operasi usus buntu. Tidak ada jalan lain selain bius total dan membelah perut. Mungkin saya terdengar mengecilkan makna pengorbanan Yesus, tetapi dalam skala besar memang demikianlah rencana penyelamatan Allah sejak semula bukan?
Hal lain adalah orang bisa lupa sebentar bahwa yang pernah disalib bukan cuma Yesus. Bersama Dia ada dua orang lain yang sama-sama disalib. Salib bukan diciptakan untuk Yesus secara khusus. Itu adalah hukuman gaya Romawi (yang konon dipinjam dari budaya lain juga) bagi kriminil. Yesus bukan yang pertama atau yang terakhir yang disalib.
Alhasil yang mungkin jadi perkara adalah bahwa Allah mau menderita lewat salib. Itu yang istimewa. Dan bersama ini bisa tumbuh rasa bersalah yang dalam. Oh dosa saya demikian besar sehingga Ia harus mati. Kalau berhenti disitu saya pikir kristianitas jadi rada tidak sehat. Rasa bersalah bisa jadi belenggu yang mematikan.
Kira saya lebih positip kalau orang -alih-alih tenggelam dalam rasa bersalah - memusatkan pada hal ini: kita yang diperdamaikan dengan Allah mesti berbuat apa ? Dengan kata lain - apa yang hendak dibuat setelah urusan dosa beres? Sepertinya hal ini tidak banyak dibahas. Karena orang sibuk mengenangkan penderitaan salib (plus rasa bersalah ikutannya). Rasa bersalah tidak selalu jelek. Rasa bersalah mencegah kita untuk mengulang perbuatan yang jelek. Tetapi kalau kebabablasan bisa-bisa kita malah tidak mau berbuat apa-apa : karena takut salah.
Tetapi saya bertanya: agama yang tanpa rasa bersalah (yang tidak proporsional), tanpa neraka dan tanpa dosa apa mungkin? Saya kira hal ini mungkin saja. Alih-alih memukul diri karena rasa bersalah orang bisa merayakan betapa berharganya kita ini - betapa kita sudah diselamatkan - betapa indahnya hidup - betapa besarnya peluang untuk menuju sesuatu yang lebih baik.
Sebuah blog menulis : The challenge before us is to be as good as our good news.
Bagi saya ini kok lebih 'waras'
Hai, nice blog you have!
ReplyDeleteInspiring!
Saya setuju. Kita, manusia, tidak bisa berlama-lama tenggelam hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah yang dalam.
Kita sudah diperdamaikan. Praise the Lord!
And then what should we do?
Menjaga hidup ini kudus dan berkenan bagi Dia, hidup dalam panggilanNya yang kudus dan menjadi perabot yang mulia.
Hingga akhirnya nanti kita bisa berkata padaNya, "Sudah selesai, Bapa. Kau temukanku setia sampai akhirnya."
yg dipikirkan adalah purna jualnya
ReplyDelete