Seorang teman mengatakan bahwa konon disurga sana kotak berisi doa
ucapan "terima kasih" cukup jarang dijumpai, sementara kotak doa
"permohonan" berserak-serak dimana-mana.
Sebuah satire yang menarik. Kalau mau sejenak dihitung sepertinya kita
memang lebih cenderung meminta-minta ketimbang berterima kasih.
Pernah dikatakan bahwa salah satu ciri orang yang tidak mengenal Allah
alias atheis adalah bahwa ybs tidak pernah berdoa meminta. Kita bisa
saja berdebat soal ini, tetapi satu hal sudah jelas bahwa manakala kita
meminta kita berfokus pada diri kita, kepentingan kita, kesejahteraan
diri kita, kita,kita dan kita. Kita sibuk memandang pada apa yang belum
ada, pada apa yang kita sangka kita perlukan.
Sementara manakala berterima kasih kita pun memang memandang kedalam
tetapi memusatkan pada apa yang sudah ada, yang sudah diterima, entah
apapun itu kita terima dengan syukur dan amen. Kita tidak sok tahu
seolah ada yang masih kurang pada diri kita, seakan masih ada yang
terlewat dianugerahkan pada kita. Saat berterima kasih kita memandang
keatas dengan penuh syukur, alih-alih sibuk merengek dan ingat diri.
Berterima kasih juga membuat kita ingin berbagi pada mereka yang
memerlukan. Hati yang penuh syukur memandang hidup dari sisi yang
berbeda, dibandingkan dengan mereka yang meratap dan memohon. Boleh
ditanya apa mereka yang merasa kekurangan sedia berbagi pada sesama? Apa
yang hendak dibagikan kalau kita sendiri masih merasa berkekurangan?
Sudah tentu kita memerlukan banyak hal dalam kehidupan kita. Kita perlu
sandang, papan dan pangan. Tapi boleh sebentar ditanya seberapa
banyakkah yang kita perlukan dalam hidup? Adakah batas keinginan?
Pernahkan manusia menjadi puas? Tidakkah kita selalu ingin yang baru,
yang lebih besar, lebih mewah, dsb? Jika batas keinginan adalah langit maka siang-malam kita tidak akan berhenti dalam permintaan. Lalu bagaimana dengan ajaran bahwa kita disuruh untuk meminta. Mintalah
maka engkau akan diberi. Ketuklah maka pintu akan dibukakan. Kiranya
yang menjadi soal bukan meminta atau tidak meminta. Namun memahami bahwa
yang kita perlukan untuk hidup kiranya tidak sebanyak yang kita
mintakan. Bahwa penyelenggaraan Ilahi sesungguhnya sudah cukup. Bahwa
kita semua sudah dianugerahi berkah melimpah.
Dan yang juga penting adalah bahwa kita tidak sungguh tahu apa yang kita
perlukan dalam hidup ini. Keperluan kita mungkin hanyalah hasrat
sesaat, ikut2an mode, bahkan keinginan untuk lari dari salib hidup kita.
Salib yang sesungguhnya menjadi sumber pendewasaan dan pematangan iman.
Maka lain kali naluri minta terbersit dihati boleh sebentar durenungkan
sudah cukupkah kita berterima kasih? Lagipula, omong-omong sebenarnya
kita ini anak Raja atau peminta-minta?
(Kredit buat Agnes B untuk cerita tentang kotak terima kasih disurga)
Untuk mengurangi keinginan untuk mendahulukan diri sendiri, kita harus melepas ego. Ketika kita melepas ego, antara kepentingan kita dan sesama menjadi setara. Tidak penting lagi ini untukku atau untukmu. Keputusan hanya berdasarkan siapa yg lebih membutuhkan saat ini.
ReplyDeletePemikiran bahwa hanya ketika kebutuhan kita sudah terpenuhi baru bisa berbagi adalah ilusi. Penyebab sebenarnya adalah ketidak setaraan pandangan kita dalam memperjuangkan antara kepentingan kita dengan kepentingan sesama. Makin tinggi ego kita makin banyak yg harus untuk kepentingan kita dibandingkan untuk kepentingan orang lain.