Kita tidak pernah tahu bagaimana wajahnya...demikian Sushaku Endo membuka novel sohornya A Life of Jesus. Ya, kita yang hidup ribuan tahun setelah Ia wafat tidak akan pernah tahu seperti apa wajah Tuhan kita. Dari penelitian ilmiah tentang kain kafan dari Turin kita bisa merekonstruksi kira-kira bagaimana wajah pria yang pernah terbungkus kain ini
(http://www.popularmechanics.com/science/health/forensics/1282186 - misalnya). Sama sekali tidak mirip dengan wajah yang kerap kita pandang di kalendar atau poster. Yesus tidak berwajah eropa, tidak bermata biru, tidak pirang dan mungkin tidak gondrong macam rockstar.
Dalam Yoh 8:57 kita baca "Umur-Mu belum sampai lima puluh tahun dan Engkau telah melihat Abraham?", demikian dikatakan orang Yahudi pada Yesus. Konon ada tradisi yang mengatakan bahwa setelah orang berusia setengah abad ia menjadi bijak bak Abraham lantas dikatakan bahwa yang bersangkutan sudah "melihat Abraham". Apakah lantas berarti wajah Yesus seperti orang usia setengah abad?
Maka boleh direnungkan sejenak apa kiranya yang orang alami manakala ia memandang wajh Yesus? (Kata "wajah" kita kutip dari bahasa Arab "wajh" yang selain berarti "muka" juga bermakna kepribadian)
Tidak terlalu berlebihan jika Yesus kita bayangkan sebagai seorang yang berwibawa. Tidak masuk akal jika sekelompok lelaki dewasa mau meninggalkan jala dan perahu mereka dan mengikuti Dia jika penampilannya tidak meyakinkan. Dimata lawanpun Ia jelas tidak bisa dipandang enteng. Luk 4:30 menceritakan bagaimana Ia berlalu begitu saja dihadapan gerombolan yang mengancam untuk membunuhNya.
Disisi lain - mengutip Shusaku Endo lagi - wajahNya yang kelihatan tua sebelum waktunya ini kiranya mengisyaratkan a shadow of nameless suffering which always played accross his face, or perhaps his weary eyes reflected interior pain. Kiranya Ia yang wafat disalib untuk dosa manusia sejagat sudah mengalami tanggungan kepahitan hidup manusia diawal masa pelayananNya.
Ia mengalami bagaimana manusia menderita, putus harapan dan didera kerasnya hidup. Ada kemiskinan, sakit-penyakit, kematian dan kesepian. Ada penolakan, kekejaman dan kehampaan hidup. Tapi Yesus kiranya bukan seorang yang sok masokis yang menekankan mati raga habis-habisan (Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum - Luk 7:34)., tetapi Ia menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung (1 Pet 2:19)
Apakah lantas Yesus seorang yang berwajah serius atau bahkan cenderung murung? Mestinya tidak demikian. Tidak bisa dipahami seorang yang murung bisa mengatakan "Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga" (Mat 6:26). Ia yang berkata demikian mestilah seorang yang penuh syukur, penuh harap dan keyakinan. Ia mampu memandang sisi terang kehidupan.
Kembali pada pertanyaan diawal tulisan ini - apakah yang berdesir dalam hati mereka yang berjumpa Yesus dalam jalan hidup mereka ?
Cukuplah kalau kita renungkan perasaan perempuan yang nyaris tewas dirajam segerombol laki-laki yang menuduhnya sebagai penjinah.
+ "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"
- "Tidak ada, Tuhan."
+ "Akupun tidak menghukum engkau.Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."
(Yoh 8:10-11)
Dapatkah perempuan ini melupakan wajahNya? Mampukah ia melukiskan pengalaman perjumpaannya dengan kata-kata?
Perjumpaan mendalam dengan Yesus kiranya selalu akan mengubah hidup manusia. Bagaimana dengan kita masing-masing? Sudah pernahkah kita jumpai wajahNya dalam perjalanan hidup kita ?
No comments:
Post a Comment