Ini kiranya soal citra dan informasi. Sekelompok pengusaha babi rupanya khawatir penghasilannya menurun kalau orang ogah makan daging babi gara-gara berita flu babi merebak kemana-mana. Berbeda dengan peristiwa flu burung dimana orang tetap makan daging ayam. Burung tokh bukan ayam dan ayam bukan burung, mungkin begitu logikanya.
Shakespeare jelas salah kalau meremehkan arti sebuah nama. Bunga mawar memang tetap bunga mawar meski dipanggil dengan nama berbeda. Tetapi flu babi berpotensi menghentikan orang untuk mengkonsumsi daging babi (dan mungkin segala hal yang berkait dengan babi)
Dari sisi sini kita bisa lihat bagaimana berkuasanya "kata-kata" itu. Juga kita lihat bahwa kita kerap "tidak berpikir" melainkan bereaksi spontan berdasar khazanah makna yang sudah kita simpan dibenak kita.
Kita gunakan kata penghalus untuk menyamarkan keadaan - bensin tidak naik, cuma "disesuaikan". Bukan bekas pejabat tetapi mantan pejabat. Dsb. Sudah tentu bensin naik dan bekas pejabat bukan menjabat lagi, tetapi kenyataan mungkin terlalu keras dihadapi sehingga seolah penghaluskan dapat menyelesaikan masalah.
Sudah tentu, istilah bisa salah kaprah. Misal Iklan Indosat di harian Kompas tertanggal 26 April 2009 hal 17 yang berbunyi: "Sejak memakai Blackberry saya jadi suka autis. Namun ternyata menjadi 'autis' itu sangat menyenangkan. Terima kasih kepada PT Indosat yang telah memberikan saya kesempatan menikmati BlackBerry Storm" --Marcel (artist). Marcel jelas tidak paham apa makna kata autis (dan lantas mengundang protes)
Pendeknya - kata-kata berkuasa melukis kenyataan - dan kita selalu bereaksi terhadap kata-kata, never mind the reality. Dalam domain pribadi tentu kita perlu mawas diri - aware - terhadap apa sebenarnya yang hendak disembunyikan atau disamarkan oleh kata-kata. Tetapi menyangkut ranah publik tentu perlul bergiat pula untuk meluruskan dan mencerahkan (misal kasus komentar Marcel yang dikutip diatas)
(support puterakembara http://puterakembara.org/archives9/00000070.shtml)
No comments:
Post a Comment