Konon setelah peristiwa memilukan 9-11 konon orang-orang amerika sempat hanyut dalam kesedihan sedemikian sehingga ekonomi ikut mandek. Bukan apa-apa karena semangat shopping banyak orang jatuh ketitik nadir. Maka sang presiden mendorong rakyatnya untuk kembali berbelanja demi melupakan peristiwa yiang mengerikan ini.
Mungkin ini cuma anekdot, tetapi tidak bisa disangkal bahwa banyak orang akan mendadak sontak berbalik bergembira ria jika mendapat hadiah voucer belanja jutaan rupiah. Entah bagaimana tiba-tiba banyak barang menjadi menarik untuk dibeli, dimiliki, dikonsumsi. Dan diam-diam malah ada asumsi tersembunyi disana bahwa kebahagiaan adalah berbelanja dan bahwa berbelanja adalah kebahagiaan.
Tidak hendak menjadi anti akan uang - tetapi premis dasar bahwa berbelanja adalah kebahagiaan hendak dipertanyakan disini. Mungkin moyang kita yang bersaudara dekat dengan kera hidup dizaman yang sulit - sehingga setiap ada kesempatan menimbun maka tanpa pikir panjang mereka menimbunnya dengan naluriah. Lihat saja anggota masyarakat negara maju yang obese. Zamannya sudah modern, tetapi naluri masih bak kera purba yang menyantap apa saja selagi ada. Hanya saja - dizaman purba orang perlu berlari kesana kemari demi sesuap nasi, sementara kera modern cukup berjalan lima langkah ke lemari es yang penuh makanan siap santap.
Apa yang benar untuk badan mungkin benar juga untuk jiwa - maka jiwa yang berbelanja menyangka bahwa itulah cara yang benar untuk mencapai kepenuhannya. Hanya saja, yang berlaku adalah kebalikannya. Kalau kebanyakan makan menimbulkan kegemukan maka kebanyakan belanja memiskan jiwa. Pasalnya: kita cenderung menjadi dangkal karena sibuk dengan barang-barang belanjaan itu tadi - yang sesungguhnya cuma superfisial dan palsu belaka.
Jiwa konon diperkaya dengan melepas, dan bukan menambah. Tengok saja sejarah panjang kaum pertapa - yang pergi ke gurun bukan hendak menghukum badan tetapi untuk mencari keheningan. Dalam hening kiranya ditemukan simponi sejati yang dicari-cari jiwa dahaga. Bahwa hidup itu sungguh melimpah. Dan kali ini uang tidak bisa membantu banyak.
Sering dikatakan bahwa uang memang tidak bisa membeli tidur nyenyak- tetapi ia bisa memberikan kasur yang empuk dan kamar yang sejuk. Tetapi saat jiwa menemukan kepenuhannya - semuanya menjadi nisbi dan seonggok uang tidak lebih dari setumpuk daun kering
Mungkin ini cuma anekdot, tetapi tidak bisa disangkal bahwa banyak orang akan mendadak sontak berbalik bergembira ria jika mendapat hadiah voucer belanja jutaan rupiah. Entah bagaimana tiba-tiba banyak barang menjadi menarik untuk dibeli, dimiliki, dikonsumsi. Dan diam-diam malah ada asumsi tersembunyi disana bahwa kebahagiaan adalah berbelanja dan bahwa berbelanja adalah kebahagiaan.
Tidak hendak menjadi anti akan uang - tetapi premis dasar bahwa berbelanja adalah kebahagiaan hendak dipertanyakan disini. Mungkin moyang kita yang bersaudara dekat dengan kera hidup dizaman yang sulit - sehingga setiap ada kesempatan menimbun maka tanpa pikir panjang mereka menimbunnya dengan naluriah. Lihat saja anggota masyarakat negara maju yang obese. Zamannya sudah modern, tetapi naluri masih bak kera purba yang menyantap apa saja selagi ada. Hanya saja - dizaman purba orang perlu berlari kesana kemari demi sesuap nasi, sementara kera modern cukup berjalan lima langkah ke lemari es yang penuh makanan siap santap.
Apa yang benar untuk badan mungkin benar juga untuk jiwa - maka jiwa yang berbelanja menyangka bahwa itulah cara yang benar untuk mencapai kepenuhannya. Hanya saja, yang berlaku adalah kebalikannya. Kalau kebanyakan makan menimbulkan kegemukan maka kebanyakan belanja memiskan jiwa. Pasalnya: kita cenderung menjadi dangkal karena sibuk dengan barang-barang belanjaan itu tadi - yang sesungguhnya cuma superfisial dan palsu belaka.
Jiwa konon diperkaya dengan melepas, dan bukan menambah. Tengok saja sejarah panjang kaum pertapa - yang pergi ke gurun bukan hendak menghukum badan tetapi untuk mencari keheningan. Dalam hening kiranya ditemukan simponi sejati yang dicari-cari jiwa dahaga. Bahwa hidup itu sungguh melimpah. Dan kali ini uang tidak bisa membantu banyak.
Sering dikatakan bahwa uang memang tidak bisa membeli tidur nyenyak- tetapi ia bisa memberikan kasur yang empuk dan kamar yang sejuk. Tetapi saat jiwa menemukan kepenuhannya - semuanya menjadi nisbi dan seonggok uang tidak lebih dari setumpuk daun kering
No comments:
Post a Comment