Benitez nampak tersenyum menyaksikan anak asuhnya, Torres, mencetak gol ke-2 nya dipertandingan berat sebelah melawan Black Burn. Kesebelasan papan bawah itu digilas 4-0 dengan mudah. Big Sam sang pelatih yang malang itu mengaku bahwa kesebelasannya sudah duluan jerih bermain di Anfield, kandang Sang Merah siang itu.
Kemenangan Liverpool bukan hal langka, yang langka adalah senyum Benitez. Sikap baku Benitez yang kita lihat selama ini adalah dingin dan penuh catatan (dia membawa pulpen dan kertas dan kerap nampak mencatat sembari menyaksikan pertandingan). Terlalu serius dan mungkin tidak manusiawi. After all football is supposed to be fun. Or isn't it ?
Bukan rahasia bahwa sebelum pertandingan dimulai ada ribuan tiket dijual, ribuan souvenir, kontrak dengan sponsor, dsb yang ujung-ujungnya adalah uang. Diperkirakan sekitar 1.8 juta euro akan masuk kantung ke-20 kesebalasan yang berlaga di Premier League. Uang yang kurang lebih sama banyak dengan pemasukan negara macam Afganistan. Dan tidak heran kalau klub-klub berjuang untuk menjadi tim papan atas dan ikut kompetisi bergengsi macam Champions League. After all football is all about money.
Maka tidak ada tempat untuk canda dan main-main. Yang ada adalah kerja keras dan wajah-wajah serius. Keceriaan mencetak gol adalah keceriaan tukang dagang yang mendapat keuntungan besar. Harap maklum -meski ini disebut main bola- ini bukan main-main, ada duit dibelakang semua ini.
Saya jadi teringat permain kata-kata Nicolaus Driyarkara sbb: “Bermainlah dalam permainan tetapi janganlah main-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak dalam ketidaksungguhannya, sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi. Mainlah dengan eros, tetapi janganlah mau dipermainkan eros. Mainlah dengan agon tetapi jangan mau dipermainkan agon. Barang siapa mempermainkan permainan, akan menjadi permainan permainan. Bermainlah untuk bahagia tetapi janganlah mempermainkan bahagia”
Permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi. Dan pertandingan sepakbola yang diper"tanding"kan lebih sungguh-sungguh seolah menjadi kehilangan spiritnya. Disatu sisi pertandingan membuat kita jadi lebih "baik". Kita menjadi berlatih lebih banyak, belajar taktik untuk berhasil, dsb. Sport membuat "humanity as a whole" menjadi lebih unggul. Namun demikian unggul disini ternyata kerap diterjemahkan dalam rupa materi (uang, gelar) dan bukan spiritualitas (peningkatan mutu pribadi, kelompok)
Tapi dizaman sekarang ini siapa punya waktu untuk sungguh menjadi atlet dan sungguh menjadi manusia ? Pemusik besar zaman baheula macam Bach dsb mestinya tidak perlu bekerja diladang untuk hidup. Kalau tidak mana ada waktu untuk menulis komposisi musik yang elegan. Musik mereka bukan musik rakyat yang sederhana dan riuh rendah didengar dimasa panenan. Dengan kata lain selalu perlu ada sponsor - entah orang kaya (klub) atau negara.
Tetapi tentu sang sponsor punya kepentingan masing-masing yang juga tidak terlalu mengherankan kalau yang ujung-ujungnya adalah uang. After all it is money that makes the world go around.
Tidak perlu lantas berbalik melecehkan dan sok suci. Dibagian manakah hidup kita ini yang tidak bersentuhan dengan uang ? Siapa dari kita yang tidak matre boleh melemparkan batu yang pertama. We're all matre and that's okay.
Kemenangan Liverpool bukan hal langka, yang langka adalah senyum Benitez. Sikap baku Benitez yang kita lihat selama ini adalah dingin dan penuh catatan (dia membawa pulpen dan kertas dan kerap nampak mencatat sembari menyaksikan pertandingan). Terlalu serius dan mungkin tidak manusiawi. After all football is supposed to be fun. Or isn't it ?
Bukan rahasia bahwa sebelum pertandingan dimulai ada ribuan tiket dijual, ribuan souvenir, kontrak dengan sponsor, dsb yang ujung-ujungnya adalah uang. Diperkirakan sekitar 1.8 juta euro akan masuk kantung ke-20 kesebalasan yang berlaga di Premier League. Uang yang kurang lebih sama banyak dengan pemasukan negara macam Afganistan. Dan tidak heran kalau klub-klub berjuang untuk menjadi tim papan atas dan ikut kompetisi bergengsi macam Champions League. After all football is all about money.
Maka tidak ada tempat untuk canda dan main-main. Yang ada adalah kerja keras dan wajah-wajah serius. Keceriaan mencetak gol adalah keceriaan tukang dagang yang mendapat keuntungan besar. Harap maklum -meski ini disebut main bola- ini bukan main-main, ada duit dibelakang semua ini.
Saya jadi teringat permain kata-kata Nicolaus Driyarkara sbb: “Bermainlah dalam permainan tetapi janganlah main-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak dalam ketidaksungguhannya, sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi. Mainlah dengan eros, tetapi janganlah mau dipermainkan eros. Mainlah dengan agon tetapi jangan mau dipermainkan agon. Barang siapa mempermainkan permainan, akan menjadi permainan permainan. Bermainlah untuk bahagia tetapi janganlah mempermainkan bahagia”
Permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi. Dan pertandingan sepakbola yang diper"tanding"kan lebih sungguh-sungguh seolah menjadi kehilangan spiritnya. Disatu sisi pertandingan membuat kita jadi lebih "baik". Kita menjadi berlatih lebih banyak, belajar taktik untuk berhasil, dsb. Sport membuat "humanity as a whole" menjadi lebih unggul. Namun demikian unggul disini ternyata kerap diterjemahkan dalam rupa materi (uang, gelar) dan bukan spiritualitas (peningkatan mutu pribadi, kelompok)
Tapi dizaman sekarang ini siapa punya waktu untuk sungguh menjadi atlet dan sungguh menjadi manusia ? Pemusik besar zaman baheula macam Bach dsb mestinya tidak perlu bekerja diladang untuk hidup. Kalau tidak mana ada waktu untuk menulis komposisi musik yang elegan. Musik mereka bukan musik rakyat yang sederhana dan riuh rendah didengar dimasa panenan. Dengan kata lain selalu perlu ada sponsor - entah orang kaya (klub) atau negara.
Tetapi tentu sang sponsor punya kepentingan masing-masing yang juga tidak terlalu mengherankan kalau yang ujung-ujungnya adalah uang. After all it is money that makes the world go around.
Tidak perlu lantas berbalik melecehkan dan sok suci. Dibagian manakah hidup kita ini yang tidak bersentuhan dengan uang ? Siapa dari kita yang tidak matre boleh melemparkan batu yang pertama. We're all matre and that's okay.
No comments:
Post a Comment