Demikian manajer ManCity Mark Hughes membela tingkah anak asuhannya Manu Adebayor yang merayakan gol cetakannya ke gawang ex teamnya Arsenal dengan berlari dan ndlosor dihadapan gerombolan pendukung the Gunners. Katanya : Manu sudah minta maaf dan dia kan masih berada didalam lapangan, bukannya melompat ketengah-tengah kerumunan penonton – jadi harap maklum lah. Harap maklum juga karena minggu depan ManCity akan bertanding derby melawan ManUnited, Kalau Manu sampai kena ganjar hukuman tidak main, maka ManCiry bisa kerepotan.
Hughes ada benarnya juga. Kalau emosi dilarang dalam sport maka orang menonton seperti menonton demo masak atau belajar senam pagi, dingin saja dan mungkin sambil lalu. Emosi membuat game jadi menarik, adrenalin dipompa dan hidup terasa lebih hidup.
Sudah tentu Hughes bukan guru spirituliatas macam Eckhart Tolle yang berkata bahwa emosi adalah pe-raga-an dari pikiran. Dan perasaan (negatif) yang dialami akan meninggal jejak/residu dalam tubuh kita. Residu ini akan bertumpuk dan menjadi apa yang dia sebut sebagai pain-body. Kalau residu ini dibiarkan maka ia akan menguasai diri kita dan membuat kita malah ketagihan mengalami emosi itu lagi dan lagi. Maka perseteruan (antar klub atau apa saja) bisa mendarah daging dan umumnya meningkat – kalau tidak terkendali bisa menjadi tawuran. Karena yang bicara bukan benak yang jernih tetapi emosi yang keruh.
“Dosa” Manu malam itu bukan cuma itu. Ia juga mencederai Van Persie. Van Persie mengatakan Manu sudah menodai sepakbola yang “we all love”.
Kembali ke Tolle. Menurut Tolle cinta bukan emosi. Emosi positif macam cinta dan kebahagian bukanlah emosi. Cinta katanya adalah saat-saat dimana kita mengalami seolah segala sesuatu berhenti bergerak (stillness). Bayangkan kita mengalami sekian sekon keheningan ditengah badai yang gaduh. Tiba-tiba kontras yang sangat ini membuat kita mengalami damai yang membuat kita speechless
Dalam sepakbola momen-momen seperti itu sungguh terjadi. (sebagai misal Ronaldinho yang mendapat salut dari pendukung Real Madrid). Saat orang bertepuk tangan bagi pemain lawan yang luar biasa kita tergetar dan terharu. Sepakbola macam itu menjadi macam momen keagamaan dimana manusia melampaui naluri egoistiknya dan tenggelam dalam kekaguman akan keindahan tarian yang kita sebut sepakbola.
Sepakbola macam itu yang kita dan Van Persie cintai. Disana kita tidak bicara soal menang atau kalah, tetapi soal fair play, soal kekuatan mental, soal kematangan strategi, kepala dingin dan determinasi. Soal rise above ourself.
You should never take emotion out of sport, baiklah. Tetapi jangan pula berhenti disana.
Hughes ada benarnya juga. Kalau emosi dilarang dalam sport maka orang menonton seperti menonton demo masak atau belajar senam pagi, dingin saja dan mungkin sambil lalu. Emosi membuat game jadi menarik, adrenalin dipompa dan hidup terasa lebih hidup.
Sudah tentu Hughes bukan guru spirituliatas macam Eckhart Tolle yang berkata bahwa emosi adalah pe-raga-an dari pikiran. Dan perasaan (negatif) yang dialami akan meninggal jejak/residu dalam tubuh kita. Residu ini akan bertumpuk dan menjadi apa yang dia sebut sebagai pain-body. Kalau residu ini dibiarkan maka ia akan menguasai diri kita dan membuat kita malah ketagihan mengalami emosi itu lagi dan lagi. Maka perseteruan (antar klub atau apa saja) bisa mendarah daging dan umumnya meningkat – kalau tidak terkendali bisa menjadi tawuran. Karena yang bicara bukan benak yang jernih tetapi emosi yang keruh.
“Dosa” Manu malam itu bukan cuma itu. Ia juga mencederai Van Persie. Van Persie mengatakan Manu sudah menodai sepakbola yang “we all love”.
Kembali ke Tolle. Menurut Tolle cinta bukan emosi. Emosi positif macam cinta dan kebahagian bukanlah emosi. Cinta katanya adalah saat-saat dimana kita mengalami seolah segala sesuatu berhenti bergerak (stillness). Bayangkan kita mengalami sekian sekon keheningan ditengah badai yang gaduh. Tiba-tiba kontras yang sangat ini membuat kita mengalami damai yang membuat kita speechless
Dalam sepakbola momen-momen seperti itu sungguh terjadi. (sebagai misal Ronaldinho yang mendapat salut dari pendukung Real Madrid). Saat orang bertepuk tangan bagi pemain lawan yang luar biasa kita tergetar dan terharu. Sepakbola macam itu menjadi macam momen keagamaan dimana manusia melampaui naluri egoistiknya dan tenggelam dalam kekaguman akan keindahan tarian yang kita sebut sepakbola.
Sepakbola macam itu yang kita dan Van Persie cintai. Disana kita tidak bicara soal menang atau kalah, tetapi soal fair play, soal kekuatan mental, soal kematangan strategi, kepala dingin dan determinasi. Soal rise above ourself.
You should never take emotion out of sport, baiklah. Tetapi jangan pula berhenti disana.
No comments:
Post a Comment