Skandal ‘crashgate’ Renault menambah daftar panjang kecurangan dalam dunia olah-raga. Kata majalah Time kecurangan macam itu menohok optimisme kita. Pertandingan olah-raga adalah semacam pementasan dambaan manusia untuk melebihi batas-batas alaminya. Citius-Altius-Fortius yang jadi semboyan olimpiade menunjukan kerinduan ini.
Sudah tentu didalamnya ada asumsi bahwa kemenangan dicapai dengan upaya yang jujur. Karena apa maknanya jika kemenangan (atau progress) diraih dengan cara yang kotor ? Apa artinya memenangi lomba lari sprint jika engkau memakai sepatu roda berpropeler roket?
Sayang dunia olah-raga modern berkait erat dengan uang (dan politik) dan tujuan jadi menghalalkan cara. Maradona menggunakan tangannya (dan malah menyebutnya sebagai “tangan Tuhan”) manakala
Apa boleh buat uang (dan politik) tidak mengenal “moral” – Pecunia non olet, kata orang. Uang tidak berbau. Uang dari hasil penjualan barang busuk sama harum dengan uang hasil kerja keras. Maka persekutuan antara olah-raga dengan uang memang rawan penyelewengan.
Disisi lain, olah raga amatir (yang by definition nir laba) kalah diminati akibat kalah kualitas dengan yang professional. Olah-raga professional (baca : uang) jelas lebih menarik atlet berkualitas. Siapa yang punya kesempatan berlatih keras kalau juga masih harus mencari nafkah hidup sehari-hari ? Nyaris tidak mungkin.
Maka olah-raga professional –apa boleh buat- memang tidak 100% fair, dan memang tidak mungkin juga. Manusia bisa salah (misal : wasit tidak melihat kecurangan Maradona dan sepakbola tidak mengenal video instant replay) dan lebih-lebih manusia bisa curang. Maka, kembali ke topik awal soal optimisme dan keinginan manusia untuk menembus batas, kiranya batas tetap perlu. Batas moralitas, batas mana yang fair dan curang. Batas ini harus tetap dijaga kalau optimisme sejati ingin ditegakkan. Kalau tidak piala kemenangan kita tinggal jadi bukti bagaimana kita sudah lebih pandai menipu diri sendiri.
No comments:
Post a Comment