St Agustinus yang kudus kita kutip berkata bijak “Restless Till We Rest in You”. Orang beragama menyatakan bahwa entah bagaimana dalam hati manusia ada kerinduan yang dalam dan ia hanya bisa teduh setelah berjumpa dengan dengan Sang Agung. Apapun namanya.
Maka orang beragama kiranya meyakini bahwa orang Atheis dan Agnotis akan selalu gelisah dan disaat terpojok mereka akan serta merta mencari perlindungan. Ungkapan yang kita dengar adalah “There are no atheists in foxholes” (terjemahan bebas: tidak ada yang kuasa tetap menjadi atheis saat ia berlindung dari desingan hujan peluru)
Mungkin benang merahnya demikian : disatu sisi Allah adalah kerinduan, disisi lain Ia adalah kebutuhan mutlak. Kalau kita ingat (lagi-lagi) Maslow sepertinya kedua hal ini adalah bagian continuum dari hirarki kebutuhan. Allah adalah kebutuhan mutlak yang dalam tingkat tinggi menjadi kerinduan.
Allah yang sebagai kebutuhan adalah Allah yang kita minta memenuhi keperluan sehari-hari, kelulusan ujian, kesembuhan penyakit, enteng jodoh dan menang undian. IA bak ATM yang provided kita tahu passwordnya (doanya bener, sajennya pas, puasanya penuh) akan serta merta memberi kita apa yang kita mau. Dan kita tentu percaya Dia Maha Kaya dan Maha Pengasih. Ia memberi hidup dan ia mengasihi umat (baca : mereka yang memeluk agama saya saja) dengan teristimewa. Haleluya !
Dalam level yang lebih canggih Ia menjadi kerinduan. Dalam level itu kita kurang peduli lagi dengan hal-hal material, maklumlah kita mencari yang hakiki. Yang esensi. Anehnya dalam dimensi ini Allah yang tegas sosoknya dalam paradigma Allah sebagai kebutuhan kerap menjadi
sebuah misteri. Santo Yohanes dari salib yang juga kudus mengatakan bahwa Allah itu macam malam gelap. Mungkin sedemikian gelap sehingga kita tidak bisa melihat jari kita sendiri. Jari yang sebelumnya kita gunakan untuk menunjuk itu Allah kebutuhan yang jelas terang benderang.
Seorang Aquinas yang tidak kurang pula kudusnya memutuskan berhenti menulis. Opus Magnumnya (Summa Theologia) konon tidak tuntas selesai. Mendadak saja ia memutuskan untuk berhenti menulis. Orang bilang ia melihat buku tebal yang kini jadi panutan banyak teolog adalah macam jerami belaka. Tentang Allah kita tidak tahu apa-apa. Orang yang berkata tentang Allah tidak tahu siapa Allah. Orang yang tahu Allah tidak berkata-kata.
Lantas siapa itu yang didamba Santu Agustinus sebagai kerinduan hatinya ? Siapa itu yang digambarkan Santu Yohanis dari salib ? Mungkin orang yang telah menemukan tidak kuasa lagi memerikan nya. Dan sebaliknya mereka yang belum berjumpa justru sibuk berkelahi tentang hal yang masih berupa angan-angan belaka. Angan-angan mu tentulah salah, karena tidak sama dengan angan-anganku ! Allah itu seperti ini dan sama sekali tidak seperti itu!
Cerita de Mello : seorang yang bepergian jauh ditanya apa yang ia lihat dinegeri yang jauh. Orang itu menjawab : oh saya melihat taman yang indah. Bagaimana rupanya ? Bunga apa ditanam disana ? Orang itu menjawab lagi : saya tidak sempat memperhatikan ini atau itu – saya mengalami keteduhan yang amat sangat.
Pengalaman akan Allah yang sungguh kiranya melebihi kemampuan bahasa untuk memerikannya. Allah yang diperikan dalam kata apakah sungguh Allah ? (sibodoh sibuk melihat jari yang menunjuk pada bulan – dan melupakan bahwa itu bukan bulan)
KL 08 Sep 09
Maka orang beragama kiranya meyakini bahwa orang Atheis dan Agnotis akan selalu gelisah dan disaat terpojok mereka akan serta merta mencari perlindungan. Ungkapan yang kita dengar adalah “There are no atheists in foxholes” (terjemahan bebas: tidak ada yang kuasa tetap menjadi atheis saat ia berlindung dari desingan hujan peluru)
Mungkin benang merahnya demikian : disatu sisi Allah adalah kerinduan, disisi lain Ia adalah kebutuhan mutlak. Kalau kita ingat (lagi-lagi) Maslow sepertinya kedua hal ini adalah bagian continuum dari hirarki kebutuhan. Allah adalah kebutuhan mutlak yang dalam tingkat tinggi menjadi kerinduan.
Allah yang sebagai kebutuhan adalah Allah yang kita minta memenuhi keperluan sehari-hari, kelulusan ujian, kesembuhan penyakit, enteng jodoh dan menang undian. IA bak ATM yang provided kita tahu passwordnya (doanya bener, sajennya pas, puasanya penuh) akan serta merta memberi kita apa yang kita mau. Dan kita tentu percaya Dia Maha Kaya dan Maha Pengasih. Ia memberi hidup dan ia mengasihi umat (baca : mereka yang memeluk agama saya saja) dengan teristimewa. Haleluya !
Dalam level yang lebih canggih Ia menjadi kerinduan. Dalam level itu kita kurang peduli lagi dengan hal-hal material, maklumlah kita mencari yang hakiki. Yang esensi. Anehnya dalam dimensi ini Allah yang tegas sosoknya dalam paradigma Allah sebagai kebutuhan kerap menjadi
sebuah misteri. Santo Yohanes dari salib yang juga kudus mengatakan bahwa Allah itu macam malam gelap. Mungkin sedemikian gelap sehingga kita tidak bisa melihat jari kita sendiri. Jari yang sebelumnya kita gunakan untuk menunjuk itu Allah kebutuhan yang jelas terang benderang.
Seorang Aquinas yang tidak kurang pula kudusnya memutuskan berhenti menulis. Opus Magnumnya (Summa Theologia) konon tidak tuntas selesai. Mendadak saja ia memutuskan untuk berhenti menulis. Orang bilang ia melihat buku tebal yang kini jadi panutan banyak teolog adalah macam jerami belaka. Tentang Allah kita tidak tahu apa-apa. Orang yang berkata tentang Allah tidak tahu siapa Allah. Orang yang tahu Allah tidak berkata-kata.
Lantas siapa itu yang didamba Santu Agustinus sebagai kerinduan hatinya ? Siapa itu yang digambarkan Santu Yohanis dari salib ? Mungkin orang yang telah menemukan tidak kuasa lagi memerikan nya. Dan sebaliknya mereka yang belum berjumpa justru sibuk berkelahi tentang hal yang masih berupa angan-angan belaka. Angan-angan mu tentulah salah, karena tidak sama dengan angan-anganku ! Allah itu seperti ini dan sama sekali tidak seperti itu!
Cerita de Mello : seorang yang bepergian jauh ditanya apa yang ia lihat dinegeri yang jauh. Orang itu menjawab : oh saya melihat taman yang indah. Bagaimana rupanya ? Bunga apa ditanam disana ? Orang itu menjawab lagi : saya tidak sempat memperhatikan ini atau itu – saya mengalami keteduhan yang amat sangat.
Pengalaman akan Allah yang sungguh kiranya melebihi kemampuan bahasa untuk memerikannya. Allah yang diperikan dalam kata apakah sungguh Allah ? (sibodoh sibuk melihat jari yang menunjuk pada bulan – dan melupakan bahwa itu bukan bulan)
KL 08 Sep 09
No comments:
Post a Comment