Kata Maslow ada yang disebut "hirarki kebutuhan". Dari yang paling dasar (survival, biologik) sampai yang abstrak (aktualisasi diri). Kira saya Maslow mengandaikan juga (entah lah - saya pun belum membaca detail thesis dia) - pada kebutuhan yang sama bisa ditempelkan label yang berbeda. Misal : memasak bisa dimaknai bagian dari hal dasar (untuk makan) atau aktualisasi diri (koki terkenal).
Pada kerangka Maslow ini kita bisa pertanyakan : lalu bagaimana dengan agama ? Apakah pada agama bisa pula ditempelkan label "survival" atau "aktualiasasi diri" ? Sepintas bisa kita setujui thesis ini. Jika agama dialami sebagai bagian dari identitas sosial (orang sekampung agama sama semua, masak saya tidak?), atau demi keamanan (pemerintah hanya mengakui agama A,B,C,D,E dan lain tidak) maka agama direduksi jadi ritus yang mestinya tidak mendalam, tidak mendarah daging. Macam sampiran yang bisa dilepas mana kala angin bertiup kearah yang berlawanan.
Harap ingat bahwa kita semua mestinya mulai dengan level ini. Waktu kita kecil agama disandangkan begitu saja pada diri kita. Kita yang dibaptis waktu bayi tidak punya pemahaman lebih dari sekadar hadir dan kena ciptratan air dingin. Ritus tidak berarti apa-apa selain keramaian yang samar-samar kita ingat.
Terpulang pada kita masing-masing untuk menaikan level agama dalam hirarki kebutuhan kita. Sebagian mungkin memilih menyibukkan diri dengan hal-hal dalam hidup dan membiarkan agama tetap pada tingkatan dasar. Yang lain mungkin serius dan mencoba memahami lebih jauh dan lebih dalam. Tetapi -apapun pilihan kita- yang kerap terjadi adalah kita tetap tinggal dalam asumsi yang tidak kita pertanyakan lagi: bahwa beragama itu perlu - bahwa keadaan "tanpa agama" adalah sebuah pilihan pula.
Dawkins saya kira menulis ini dalam best seller nya "God Delusion" - Atheisme adalah sebuah pilihan pula dan adalah pilihan yang valid. Tetapi disisi lain - Atheisme mengandaikan sebuah kesibukan intelektual pula - karena ia mengandaikan kita tahu bahwa sesuatu itu tidak ada. Tetapi siapa boleh memberi kepastian ini tanpa sepotong pun keraguan ? Jika Allah tidak ada karena doa saya tidak terkabul maka semua orang beragama dengan cepat dapat memberi argumen balasan atas nama Allah.
Kiranya yang jadi soal adalah Allah (entah ada atau tidak) berada dalam dimensi yang lain dengan kita. Segenap diskursus tentang Allah bisa dikategorikan sebagai monolog semata. Entah ada atau tidak -tidak bisa dibuktikan dengan eskperimen atau logika (kitab suci jelas out of question karena ia tidak mungkin menegasi keberadaan dirinya sendiri - tanpa Allah kitab suci jelas tidak mungkin). Tidak bisa kita adakan eksperimen (entah dengan laboratorium atau logika) yang hasilnya entah menguatkan atau menegasi Allah. Kira saya semua pembuktian atau negasi selalu mulai dengan kesimpulan (either Allah ada atau tidak) yang sebenarnya mau dibuktikan.
Pilihan yang kerap diambil mungkin adalah agnotisisme yang rada malas. Allah ada atau tidak - entahlah, agnotis tidak merasa bahwa hal ini bisa dibuktikan atau dinegasikan. Lebih sering lagi orang tidak peduli - dalam tingkah polahnya dia menganggap bahwa hidup itu cuma kini dan disini. tetapi hidup yang tidak kini dan disini memang hal yang dibahas agama. Agama A mengatakan hidup setelah kematian adalah pengadilan. Agama B bilang hidup adalah siklik yang tidak ada habisnya kecuali engkau melompat keluar lingkaran.
Klaim A atau B jelas diluar domain pengamatan sehari-hari kita. Maka dalam agama ada hal yang disebut iman dan iman adalah sebuah lompatan tanpa bukti. Kalaupun ada bukti tetap merupakan bagian dari kesimpulan yang sebenarnya mau dibuktikan. Pengandaian terbesar dari segenap lompatan iman ini kiranya adalah bahwa dunia ini lebih luas dari apa yang nampak dimata, lebih jauh dari seupil pengalaman kita sehari-hari.
Entah kita putuskan untuk melompat atau tidak tetap ada kenyataan hidup sehari-hari yang kita perlu sikapi. Dan entah manapun pilihan anda: entah agama A atau B, entah atheis atau agnostik: memilih perdamaian dan kesejahteraan bersama adalah jelas pilihan yang paling waras. Entah ada atau tidak hidup diseberang nanti, hidup yang sekarang ini lebih indah kalau kita jalani dalam kedamaian
KL 02 Sep 2009
Pada kerangka Maslow ini kita bisa pertanyakan : lalu bagaimana dengan agama ? Apakah pada agama bisa pula ditempelkan label "survival" atau "aktualiasasi diri" ? Sepintas bisa kita setujui thesis ini. Jika agama dialami sebagai bagian dari identitas sosial (orang sekampung agama sama semua, masak saya tidak?), atau demi keamanan (pemerintah hanya mengakui agama A,B,C,D,E dan lain tidak) maka agama direduksi jadi ritus yang mestinya tidak mendalam, tidak mendarah daging. Macam sampiran yang bisa dilepas mana kala angin bertiup kearah yang berlawanan.
Harap ingat bahwa kita semua mestinya mulai dengan level ini. Waktu kita kecil agama disandangkan begitu saja pada diri kita. Kita yang dibaptis waktu bayi tidak punya pemahaman lebih dari sekadar hadir dan kena ciptratan air dingin. Ritus tidak berarti apa-apa selain keramaian yang samar-samar kita ingat.
Terpulang pada kita masing-masing untuk menaikan level agama dalam hirarki kebutuhan kita. Sebagian mungkin memilih menyibukkan diri dengan hal-hal dalam hidup dan membiarkan agama tetap pada tingkatan dasar. Yang lain mungkin serius dan mencoba memahami lebih jauh dan lebih dalam. Tetapi -apapun pilihan kita- yang kerap terjadi adalah kita tetap tinggal dalam asumsi yang tidak kita pertanyakan lagi: bahwa beragama itu perlu - bahwa keadaan "tanpa agama" adalah sebuah pilihan pula.
Dawkins saya kira menulis ini dalam best seller nya "God Delusion" - Atheisme adalah sebuah pilihan pula dan adalah pilihan yang valid. Tetapi disisi lain - Atheisme mengandaikan sebuah kesibukan intelektual pula - karena ia mengandaikan kita tahu bahwa sesuatu itu tidak ada. Tetapi siapa boleh memberi kepastian ini tanpa sepotong pun keraguan ? Jika Allah tidak ada karena doa saya tidak terkabul maka semua orang beragama dengan cepat dapat memberi argumen balasan atas nama Allah.
Kiranya yang jadi soal adalah Allah (entah ada atau tidak) berada dalam dimensi yang lain dengan kita. Segenap diskursus tentang Allah bisa dikategorikan sebagai monolog semata. Entah ada atau tidak -tidak bisa dibuktikan dengan eskperimen atau logika (kitab suci jelas out of question karena ia tidak mungkin menegasi keberadaan dirinya sendiri - tanpa Allah kitab suci jelas tidak mungkin). Tidak bisa kita adakan eksperimen (entah dengan laboratorium atau logika) yang hasilnya entah menguatkan atau menegasi Allah. Kira saya semua pembuktian atau negasi selalu mulai dengan kesimpulan (either Allah ada atau tidak) yang sebenarnya mau dibuktikan.
Pilihan yang kerap diambil mungkin adalah agnotisisme yang rada malas. Allah ada atau tidak - entahlah, agnotis tidak merasa bahwa hal ini bisa dibuktikan atau dinegasikan. Lebih sering lagi orang tidak peduli - dalam tingkah polahnya dia menganggap bahwa hidup itu cuma kini dan disini. tetapi hidup yang tidak kini dan disini memang hal yang dibahas agama. Agama A mengatakan hidup setelah kematian adalah pengadilan. Agama B bilang hidup adalah siklik yang tidak ada habisnya kecuali engkau melompat keluar lingkaran.
Klaim A atau B jelas diluar domain pengamatan sehari-hari kita. Maka dalam agama ada hal yang disebut iman dan iman adalah sebuah lompatan tanpa bukti. Kalaupun ada bukti tetap merupakan bagian dari kesimpulan yang sebenarnya mau dibuktikan. Pengandaian terbesar dari segenap lompatan iman ini kiranya adalah bahwa dunia ini lebih luas dari apa yang nampak dimata, lebih jauh dari seupil pengalaman kita sehari-hari.
Entah kita putuskan untuk melompat atau tidak tetap ada kenyataan hidup sehari-hari yang kita perlu sikapi. Dan entah manapun pilihan anda: entah agama A atau B, entah atheis atau agnostik: memilih perdamaian dan kesejahteraan bersama adalah jelas pilihan yang paling waras. Entah ada atau tidak hidup diseberang nanti, hidup yang sekarang ini lebih indah kalau kita jalani dalam kedamaian
KL 02 Sep 2009
No comments:
Post a Comment