Apakah Allah akan diwartakan secara berbeda jika orang dilarang menggunakan kata-kata ? Mungkinkah membagikan pengalaman akan Allah melulu dengan perbuatan ? Ingatlah saya akan tuduhan yang diarahkan pada Yesus yang dikatakan telah mengusir setan dengan kuasa kegelapan. Sudah tentu hal ini tidak logis kata Yesus, sebab iblis tidak mungkin melawan iblis. Oh tentu saja, kalau iblis main fair play – kalau iblis curang dengan bersedia rugi dulu (dengan cara mengorbankan pion iblis) untuk beruntung dibelakang hari – lalu bagaimana ? Sudah tentu tidak ada yang bisa kita tanyai soal ini
Kembali ke topik kita : Mungkin kah membagikan pengalaman akan Allah melulu dengan perbuatan? Bisa saja, tetapi Allah yang disimpulkan oleh mereka yang mengalami perbuatan kita belum tentu sama dengan Allah yang hendak kita wartakan.
Sebagai makhluk yang dikutuk untuk selalu mencari makna akan segala hal yang terjadi kita akan tergoda untuk mencantelkan makna dan makna adalah kata-kata. Ingat pula bahwa kita tidak menilai dunia dengan lensa yang jernih. Kita mulai dengan asumsi dan syak wasangka.
Misal Beata Teresa dari Kalkuta. Dia menyentuh yang dibuang orang, merawat yang disepak masyarakat. Jika ia tidak memakai baju susternya, tidak pernah terlihat berdoa, tidak sowan ke Vatikan – apakah orang akan sampai pada Tuhan Yesus ? saya ragu. Paling-paling orang akan menyimpulkan Beata Teresa sebagai seorang yang baik. Orang memang bisa bertanya : dari mana dia punya semangat yang luar biasa ini ? Nah – disini kata-kata terpaksa diucapkan. Kecuali jika orang hendak dibiarkan untuk mengambil kesimpulannya sendiri-sendiri
Gereja katolik konon disebut mater et magistra (ibu dan guru). Sebagai guru ia adalah penerjemah tunggal perihal wahyu Ilahi. Dan Ia berbuat demikian lebih-lebih dengan kata-kata. Gereja Katolik bukan macam guru senam yang berdiri didepan memberi contoh gerekan aerobik, ia lebih macam komentator yang menterjemahkan makna lukisan abstrak. Dan hanya ada satu terjemahan yang benar atas lukisan abstrak tadi. Pengalaman akan Allah oleh gereja diterangkan, dijabarkan, diberi ilustrasi dengan kata-kata.
Yang kerap terjadi saya kira adalah orang lebih sibuk dengan kata-kata. Orang berdebat, berpolemik dan menghabiskan banyak waktu dan energi demi kata-kata (termasuk blog ini). Apa boleh buat, orang ingin menjamin bahwa interpretasi sebuah peristiwa tidak sesat. Supaya tidak terjadi macam peristiwa gugatan lawan-lawan Yesus.
Andaikan kesibukan akan kata-kata ini boleh kita hentikan. Andaikan ada masa puasa berkata-kata. Andai pewarta itu lebih-lebih berarti orang yang berbuat. Mestinya dunia akan lebih indah lagi bagi saya dan anda. Karena perbuatan ternyata lebih mudah dipahami daripada kata-kata. Karena action speaks louder than words
Kembali ke topik kita : Mungkin kah membagikan pengalaman akan Allah melulu dengan perbuatan? Bisa saja, tetapi Allah yang disimpulkan oleh mereka yang mengalami perbuatan kita belum tentu sama dengan Allah yang hendak kita wartakan.
Sebagai makhluk yang dikutuk untuk selalu mencari makna akan segala hal yang terjadi kita akan tergoda untuk mencantelkan makna dan makna adalah kata-kata. Ingat pula bahwa kita tidak menilai dunia dengan lensa yang jernih. Kita mulai dengan asumsi dan syak wasangka.
Misal Beata Teresa dari Kalkuta. Dia menyentuh yang dibuang orang, merawat yang disepak masyarakat. Jika ia tidak memakai baju susternya, tidak pernah terlihat berdoa, tidak sowan ke Vatikan – apakah orang akan sampai pada Tuhan Yesus ? saya ragu. Paling-paling orang akan menyimpulkan Beata Teresa sebagai seorang yang baik. Orang memang bisa bertanya : dari mana dia punya semangat yang luar biasa ini ? Nah – disini kata-kata terpaksa diucapkan. Kecuali jika orang hendak dibiarkan untuk mengambil kesimpulannya sendiri-sendiri
Gereja katolik konon disebut mater et magistra (ibu dan guru). Sebagai guru ia adalah penerjemah tunggal perihal wahyu Ilahi. Dan Ia berbuat demikian lebih-lebih dengan kata-kata. Gereja Katolik bukan macam guru senam yang berdiri didepan memberi contoh gerekan aerobik, ia lebih macam komentator yang menterjemahkan makna lukisan abstrak. Dan hanya ada satu terjemahan yang benar atas lukisan abstrak tadi. Pengalaman akan Allah oleh gereja diterangkan, dijabarkan, diberi ilustrasi dengan kata-kata.
Yang kerap terjadi saya kira adalah orang lebih sibuk dengan kata-kata. Orang berdebat, berpolemik dan menghabiskan banyak waktu dan energi demi kata-kata (termasuk blog ini). Apa boleh buat, orang ingin menjamin bahwa interpretasi sebuah peristiwa tidak sesat. Supaya tidak terjadi macam peristiwa gugatan lawan-lawan Yesus.
Andaikan kesibukan akan kata-kata ini boleh kita hentikan. Andaikan ada masa puasa berkata-kata. Andai pewarta itu lebih-lebih berarti orang yang berbuat. Mestinya dunia akan lebih indah lagi bagi saya dan anda. Karena perbuatan ternyata lebih mudah dipahami daripada kata-kata. Karena action speaks louder than words
No comments:
Post a Comment