Sebuah koran terbitan Spanyol entah mengejek atau menyemangati menulis tajuk provokatip: Esto es Anfield: Y que? This is Anfield, so what ? Mereka lupa bahwa setengah skuad Liverpool plus sang manajer berbahasa Ibu Spanyol. Mungkin setengah dicocok-cocokkan atau bagaimana, tapi malam itu Madrid dibantai habis oleh Torres dan kawan-kawan (dan ingat - ada lebih banyak pemain berdarah Spanyol bermain untuk Liverpool dibandingkan Real Madrid).
Di Anfield malam itu hanya tiga orang Inggris bermain dan cuma satu yang masuk timnas. Inggris krisis pemain berkaliber internasional. Maka, meski ditingkat klub, tidak ada yang boleh memandang setengah mata keempat klub besar Inggris tetapi timnas Inggris tidak berhasil menembus piala Eropa tahun lalu. Ironis. Bahkan ke-empat klub ini diasuh oleh bukan orang Inggris (Ferguson orang Skot). Kemana perginya orang Inggris selain menjadi penonton ?
Ditengah tekanan kompetisi liga Inggris orang lebih memilih membeli pemain asing yang sudah jelas prestasinya dibanding membeli pemain lokal. Kata Redknapp : "...if they’re not good enough, it’s a waste of time.." Hukum ekonomi sudah jelas - belanja yang paling baik sesuai dana yang anda punya. Yang paling baik ternyata bukan tumbuh ditanah Inggris.
Sepakbola sebagai industri -apa boleh buat- menjadikan timnas korban keberhasilan klub-klub raksasa. Hukum ekonomi tentu mendorong orang membeli tiket pertandingan dimana pemain-pemain kelas dunia bermain. Tidak masuk akal mengharapkan orang membayar mahal untuk menonton anak-anak kampung bermain. Yang bener saja bung. Maka upaya membatasi jumlah pemain asing menjadi usulan yang tidak menarik. Lagipula dalam kongsi Euro, seorang berpaspor negara anggota Euro kiranya berhak bekerja dimana saja diwilayah negara anggota Euro. Membatasi jumlah pemain asing bisa dipandang sebagai penghianatan terhadap kesepakatan perkongsian. Repot
Inggris satu kali menjadi juara dunia (1966) dan belum pernah satu kalipun jadi juara eropa (maksimum masuk semi final - tahun 1996). Bayangkan - sejak FA berdiri tahun 1863 prestasi Inggris ya cuma segitu saja. Tidak berlebihan kalau anekdot Tuhan yang menangis bisa diterapkan pada persepakbolaan Inggris.
Konon pemimpin dunia dari Afrika, Amerika dan Inggris diberi kesempatan bertanya pada Tuhan - pertanyaan apa saja akan dijawab. Pemimpin Afrika bertanya - kapan negara-negara afrika berhenti bertikai antar mereka sendiri. Jawabnya : 50 tahun lagi. Dan sang pemimpin menangis getir. Giliran yang dari Amerika - kapan Amerika bisa jaya kembali - dijawab: 75 tahun lagi. Dan ia lantas menangis karena ia bakalan keburu mati duluan. Yang dari Inggris bertanya simpel saja : kapan Inggris jadi juara dunia sepak bola ? Kali ini Tuhan yang menangis.
Di Anfield malam itu hanya tiga orang Inggris bermain dan cuma satu yang masuk timnas. Inggris krisis pemain berkaliber internasional. Maka, meski ditingkat klub, tidak ada yang boleh memandang setengah mata keempat klub besar Inggris tetapi timnas Inggris tidak berhasil menembus piala Eropa tahun lalu. Ironis. Bahkan ke-empat klub ini diasuh oleh bukan orang Inggris (Ferguson orang Skot). Kemana perginya orang Inggris selain menjadi penonton ?
Ditengah tekanan kompetisi liga Inggris orang lebih memilih membeli pemain asing yang sudah jelas prestasinya dibanding membeli pemain lokal. Kata Redknapp : "...if they’re not good enough, it’s a waste of time.." Hukum ekonomi sudah jelas - belanja yang paling baik sesuai dana yang anda punya. Yang paling baik ternyata bukan tumbuh ditanah Inggris.
Sepakbola sebagai industri -apa boleh buat- menjadikan timnas korban keberhasilan klub-klub raksasa. Hukum ekonomi tentu mendorong orang membeli tiket pertandingan dimana pemain-pemain kelas dunia bermain. Tidak masuk akal mengharapkan orang membayar mahal untuk menonton anak-anak kampung bermain. Yang bener saja bung. Maka upaya membatasi jumlah pemain asing menjadi usulan yang tidak menarik. Lagipula dalam kongsi Euro, seorang berpaspor negara anggota Euro kiranya berhak bekerja dimana saja diwilayah negara anggota Euro. Membatasi jumlah pemain asing bisa dipandang sebagai penghianatan terhadap kesepakatan perkongsian. Repot
Inggris satu kali menjadi juara dunia (1966) dan belum pernah satu kalipun jadi juara eropa (maksimum masuk semi final - tahun 1996). Bayangkan - sejak FA berdiri tahun 1863 prestasi Inggris ya cuma segitu saja. Tidak berlebihan kalau anekdot Tuhan yang menangis bisa diterapkan pada persepakbolaan Inggris.
Konon pemimpin dunia dari Afrika, Amerika dan Inggris diberi kesempatan bertanya pada Tuhan - pertanyaan apa saja akan dijawab. Pemimpin Afrika bertanya - kapan negara-negara afrika berhenti bertikai antar mereka sendiri. Jawabnya : 50 tahun lagi. Dan sang pemimpin menangis getir. Giliran yang dari Amerika - kapan Amerika bisa jaya kembali - dijawab: 75 tahun lagi. Dan ia lantas menangis karena ia bakalan keburu mati duluan. Yang dari Inggris bertanya simpel saja : kapan Inggris jadi juara dunia sepak bola ? Kali ini Tuhan yang menangis.
No comments:
Post a Comment