
Kita bisa saja abstain. Alias tidak memilih, tetapi tidak memilih pun adalah sebuah pilihan juga, meski pilihan yang tidak terdaftar. Engkau tidak bisa tidak memilih, engkau cuma mengatan bahwa pilihanmu tidak ada diantara opsi yang disodorkan.
Netralitas tidak mungkin - karena netralitas kerap berarti kemalasan menjawab, keengganan menghadapi tantangan. Ditengah konflik engkau harus memilih : pro si A, pro si B atau neiter. Tapi sampai disini, jika engkau beranjak pergi engkau diam-diam setuju bahwa konflik adalah sebuah pilihan yang wajar bagi si A dan si B. Bukannya - misalnya: resolusi. Tetapi siapa mau memajukan resolusi kalau engkau tidak ada lagi diantara si A dan si B yang memang asyik bertikai.
Sudah tentu mungkin ada yang namanya juri atau wasit. Tapi kita juga tahu wasit yang 100% netral itu tidak ada. Being human, mereka punya like dan dislike. Maka dalam lomba menyanyi ada minimum 3 wasit. Genap tidak mungkin, satu wasit apalagi. Pihak yang kalah kerap mudah menuding ketidak-adilan wasit, sementara yang menang paling-paling cengar-cengir dan mengatakan yah begitulah pertandingan.
Jalan lain yang biasa ditempuh adalah jalan obyektivitas. Mungkin seonggok emas bisa ditimbang dan dibandingkan dengan mudah. Tetapi bagaimana mau membandingkan perhiasan ? atau piala ? atau mahkota misalnya. Cuma ditimbang beratnya tidak mungkin - karena disana ada nilai-nilai yang tidak bisa "ditimbang". Misal: jerih payah mendapatkanya, atau nilai sejarah, dsb.
Maka tidak bisa tidak orang mesti memilih. Karena tidak memilih akhirnya adalah sebuah pemihakan.
Netralitas tidak mungkin - karena netralitas kerap berarti kemalasan menjawab, keengganan menghadapi tantangan. Ditengah konflik engkau harus memilih : pro si A, pro si B atau neiter. Tapi sampai disini, jika engkau beranjak pergi engkau diam-diam setuju bahwa konflik adalah sebuah pilihan yang wajar bagi si A dan si B. Bukannya - misalnya: resolusi. Tetapi siapa mau memajukan resolusi kalau engkau tidak ada lagi diantara si A dan si B yang memang asyik bertikai.
Sudah tentu mungkin ada yang namanya juri atau wasit. Tapi kita juga tahu wasit yang 100% netral itu tidak ada. Being human, mereka punya like dan dislike. Maka dalam lomba menyanyi ada minimum 3 wasit. Genap tidak mungkin, satu wasit apalagi. Pihak yang kalah kerap mudah menuding ketidak-adilan wasit, sementara yang menang paling-paling cengar-cengir dan mengatakan yah begitulah pertandingan.
Jalan lain yang biasa ditempuh adalah jalan obyektivitas. Mungkin seonggok emas bisa ditimbang dan dibandingkan dengan mudah. Tetapi bagaimana mau membandingkan perhiasan ? atau piala ? atau mahkota misalnya. Cuma ditimbang beratnya tidak mungkin - karena disana ada nilai-nilai yang tidak bisa "ditimbang". Misal: jerih payah mendapatkanya, atau nilai sejarah, dsb.
Maka tidak bisa tidak orang mesti memilih. Karena tidak memilih akhirnya adalah sebuah pemihakan.
No comments:
Post a Comment