Konon ada berbagai versi guyonan pastor yang serba salah – misal, kalau pakai HP (mahal) dibilang tidak kaul (kemiskinan), sebaliknya kalau tidak menjawab SMS umat karena punya HP dibilang ketinggalan zaman. Dan seterusnya. Seorang teman mengomentari lelucon ini dengan bertanya retorik – tapi kalau sang pastor wafat siapa yang hendak mengganti?
Tidak ada yang menyangkal peran istimewa pastor dalam gereja Katolik. Maklum saja – sentra perayaan keagamaan katolik adalah ekaristi – dan hanya imam/pastor saja yang sah memimpinnya. Tanpa ekaristi orang Katolik seperti kehilangan jati diri.
Tapi sebenarnya, omong-omong, apa pula yang terjadi kalau tidak ada misa ? Kiranya ikut misa jadi satu pasal dalam hukum gereja. Lalu kalau tidak misa artinya melanggar hukum dan lantas dihukum. Bicara seperti sepertinya mengandaikan kita ini suka berhitung hukum dan ganjar (ikut misa sekian kali – apa ganjarnya? Tidak misa sekian kali – apa hukumnya?)
Mungkin menjadi katolik adalah soal menghitung-hitung berapa kali kita absen misa, berapa kali pula kita ekstra misa harian? Tapi kiranya mengikuti Kristus lebih dari sekadar hitung-hitungan sederhana seperti ini.
Dalam Injil dikatakan Yesus lebih peduli dengan perbuatan, siapa yang berbuat dia yang masuk hitungan. Lain tidak. Ritus tidak jelek, tapi kalau berhenti sebagai ritus maka yang ada hanya kesia-siaan yang justru berbahaya. Karena orang bisa berpikir bahwa segala sesuatu menjadi beres karena kita sudah merayakan misa dengan amat meriah, dengan koor dan sorak-sorai, dengan dupa dan bunga-bunga, dengan lonceng dan baju baru.
Tapi setelah misa selesai (dan kita diutus), kita semua kembali kedunia sebagai orang-orang lama yang tidak ambil pusing dengan berbuat. Buat apa ? bukankah kita tadi sudah misa ? Apa boleh buat – misa yang mestinya dipandang sebagai sarana – dijadikan tujuan. Misa sebagai sarana kiranya adalah saat perjumpaan dengan Allah- sebagai jeda perjalanan ziarah, perjuangan membawa nama Kristus dalam hidup sehari-hari. Sepulang dari misa (dan kita diutus) –idealnya- kita penuh inspirasi untuk lebih kreatif menjalani panggilan masing-masing. Dan justru sepulang misa segala sesuatu baru akan dimulai. Bukan sudah selesai.
Jika misa cuma sarana, maka ia tidak lagi segala-galanya. Dan posisi pastor kita boleh pandang berbeda. Ia adalah kawan seper-ziarah-an yang dipanggil untuk cara hidup yang lain dari kebanyakan kita (dengan tugas- tugas tertentu). Dan masing- masing dari kita dipanggil untuk setia pada perutusan/panggilan masing-masing. (Maaf) pastor boleh wafat, tapi Kristus tetap memimpin didepan. No matter what.
Balikpapan 10 Nov 2006
No comments:
Post a Comment