Menurut Magnis-Suseno masyarakat Indonesia termasuk over-loaded dalam hal beragama (buku : menalar tuhan –Kanisius-2006),dan memang maraklah rona kegiatan berlabel agama – dari seremonial (Natalan di Senayan) hingga brutal (baku hantam antar pengikut agama). Yang menjadi pertanyaan agama macam mana yang konon memenuhi kapasitas muat bangsa ini?
Tidak perlu jauh2 menelisik agama lain-mari tengok sharing pendalaman iman APP (bagi yang non katolik, APP = Aksi Puasa Pembangunan- kegiatan seputar masa puasa/pra-paska) gereja kita sendiri. Sekilas kita lihat sebagai umat basis kita rajin berkumpul seminggu sekali membahas topik APP kita, tapi lantas apa ? diskursus tidak (belum) mengubah sejauh berhenti pada kata-kata belaka. Lebih pahit lagi – umat katolik terasa kagok mengupas makna kitab kudus dan ada kecenderungan mencairkan tuntutan2 kenabian didalamnya.
Kata “berbagi” –misal- lantas diartikan berbagi duka, berbagi sms, kerja bakti, koor dan merias altar. Seolah domain kitab suci cuma sekelumit petak seputar gereja saja. Kalau sekadar pernik macam begitu Isa Almasih tidak perlu sampai mati berdarah-darah.
Kata Isa: inilah darah Aku, inilah badan Aku. Lantas kita serta merta menarik ibarat dan memadankan itu dengan hosti dan bahwa jika kita makan itu hosti kita selamat menyeberang jembatan melintas neraka.
Bagaimana jika Isa sungguh-sungguh mengatakan bahwa kita memang makan dagingNya ? dan bahwa tuntutanNya harafiah dan tidak perlu (boleh) dilembutkan dengan ibarat dan penghalus yang ujungnya cuma sekadar pupur kosmetika sahaja?
Dan sesunguhnya kita telah jadi memanipulasi agama, sesuai dengan kepentingan kita. Beragama apa maunya ? – supaya selamat dunia akhirat, tapi isi agama tidak perlu pula mengubah diri kita. Alih-alih, agama yang kita kangkangi demi mau kita.
Alhasil kita bukan over loaded oleh agama, namun agama yang loaded oleh (kepentingan) kita.
Tidak perlu jauh2 menelisik agama lain-mari tengok sharing pendalaman iman APP (bagi yang non katolik, APP = Aksi Puasa Pembangunan- kegiatan seputar masa puasa/pra-paska) gereja kita sendiri. Sekilas kita lihat sebagai umat basis kita rajin berkumpul seminggu sekali membahas topik APP kita, tapi lantas apa ? diskursus tidak (belum) mengubah sejauh berhenti pada kata-kata belaka. Lebih pahit lagi – umat katolik terasa kagok mengupas makna kitab kudus dan ada kecenderungan mencairkan tuntutan2 kenabian didalamnya.
Kata “berbagi” –misal- lantas diartikan berbagi duka, berbagi sms, kerja bakti, koor dan merias altar. Seolah domain kitab suci cuma sekelumit petak seputar gereja saja. Kalau sekadar pernik macam begitu Isa Almasih tidak perlu sampai mati berdarah-darah.
Kata Isa: inilah darah Aku, inilah badan Aku. Lantas kita serta merta menarik ibarat dan memadankan itu dengan hosti dan bahwa jika kita makan itu hosti kita selamat menyeberang jembatan melintas neraka.
Bagaimana jika Isa sungguh-sungguh mengatakan bahwa kita memang makan dagingNya ? dan bahwa tuntutanNya harafiah dan tidak perlu (boleh) dilembutkan dengan ibarat dan penghalus yang ujungnya cuma sekadar pupur kosmetika sahaja?
Dan sesunguhnya kita telah jadi memanipulasi agama, sesuai dengan kepentingan kita. Beragama apa maunya ? – supaya selamat dunia akhirat, tapi isi agama tidak perlu pula mengubah diri kita. Alih-alih, agama yang kita kangkangi demi mau kita.
Alhasil kita bukan over loaded oleh agama, namun agama yang loaded oleh (kepentingan) kita.
No comments:
Post a Comment