You can take Fernando Torres from Atletico, but you can not take Atletico from him.
Selepas membobol gawang Real Madrid dalam laga akbar Real Madrid vs Liverpool secara demonstratip Torres unjuk namanya dihadapan publik Madrid yang bergerombol di satu pojok stadion Anfield. El Nino telah memuaskan dendam membara yang ia pendam sejak ia bermain untuk team sekota Madrid. Apapula yang ia dambakan selain menggetarkan gawang Madrid dan menyepak mereka dari ajang kompetisi antar klub paling bergengsi dijagad ini.
Sesungguhnya Torres belum lagi pulih dari cedera yang dideritanya baru-baru ini, tetapi katanya sakit dikakinya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan sakit dihatinya. Dalam dendam orang cuma berpikir akan sakit hatinya. Sakit badan, sakit kaki atau sakit gigi tidak terasa lagi. Dendam yang membara ibarat magma panas mendesak-desak gunung berapi. Asap keluar dan gempa bumi.
Terhadap dendam yang sudah mendarah-daging kita tidak lagi mampu terang memberikan alasan kenapa dan mengapanya. Kita sudah terlanjur benci dan marah. Dan kita tidak akan pernah puas sebelum dendam itu terpuaskan. Entah bagaimana caranya dan bahkan entah "lawan" kita masih hidup atau sudah bertobat. Dalam kasus Torres - pokoke anti Madrid, entah Madrid yang dulu atau yang besok. Alhasil kita sesungguhnya menjadi tawanan (dendam) kita sendiri. Tidak enak makan, tidak enak minum, apalagi tidur.
Dan kita dengar dalam filem eksyen James Bond sang aktris pendamping berkata filosopis: "I wish I could set you free ... but your prison is in there." sembari membelai kening sang jagoan Bond. Dendam dan amarah yang dipiara akan berubah menjadi penjara bagi diri kita sendiri (dan kalau ditularkan bisa menjerat juga anggota keluarga, kawan sekampung, bahkan segenap bangsa). Dan tidak ada escape dari penjara ini - karena ia terletak didalam - direluang yang paling dalam. Dan sepanjang hayat dikandung badan kita baktikan waktu dan tenaga untuk membakar bara dendam itu. Sesungguhnya kita sedang membakar diri kita sendiri. Lebih dahulu daripada membakar pihak lawan.
Ironis.
No comments:
Post a Comment