Friday, July 17, 2009

soal doa

Mengomentari peristiwa bom di Jakarta hari ini seorang teman menulis: "Mari kita satukan doa biarlah kasih setia Allah Bapa melindungi dan menyelamatkan negeri kita". Ucapan yang baik maksudnya - tetapi tidak urung membuat saya bertanya : apa persisnya fungsi doa itu sesungguhnya ?

Konon ada tiga persepsi keliru tentang doa:
1): "Tuhan tidak campur tangan dalam kejadian di dunia ini."
2): "Semua sudah diatur dan ditakdirkan Tuhan, sehingga berdoa tidak mengubah apapun."
3): "Berdoa dapat mengubah keputusan Tuhan."

Alih-alih, doa adalah ".. ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan". Mungkin terlalu sederhana jika hal ini kita katakan dihadapan peristiwa bom ini. Seolah kita tidak punya perasaan, dingin dan mati rasa.

Jika memang doa tidak mengubahkan apa-apa (keliru no.2) maka doa yang berisi harapan manusiawi malah bisa membuat kita kecewa pada Tuhan (yang tidak bisa kita perintah/bujuk semau kita - hence keliru no.3). Tetapi disisi lain - tidak berdoa dan tidak berharap pun dibilang keliru (no.1). Alhasil disimpulkan : doa itu macam sebuah gumaman. Entah susah atau senang.

Jika memang demikian - mungkin lebih positif jika doa diganti meditasi. Meditasi diantaranya membuat kita lebih teduh dan tenang. Dan dalam peristiwa macam bom tadi - ketenangan diri jelas positif dalam menyelesaikan masalah. Meditasi boleh disatukan dengan 'gumaman' itu tadi atau 'sekuler' (olah nafas) - kiranya hasilnya akan sama

Apakah Tuhan menjadi marah kalau kita ganti doa dengan meditasi sekular ini ? I doubt it. Aku yakin Dia Maha Bijak untuk menjadi marah dan merajuk



Thursday, July 9, 2009

Salib Seneca

Katanya Seneca pernah berkata : "suffering may hurt, but it is not an evil". Buku yang tengah saya baca menyambung: it is not an evil when, unable to avoid it, we turn it to profit to learn and to change.

Prinsipnya kiranya - suffering bukan untuk dipeluk, digendong, dibawa-bawa, tetapi digunakan sebagai sarana untuk belajar dan berubah. Pada dirinya sendiri suffering tidak ada nilainya. Ia menjadi bernilai jika ia kita pahami apa adanya dan kita jadikan papan tolak untuk melompat lebih tinggi lagi.

Terbersit dibenak saya bagaimana ucapan Yesus soal keharusan pengikutNya untuk meminggul salib dan mengikuti Dia. Lantas dipahami sebagai ajakan memanggul derita. Karena dalam salib Yesus menderita. Dalam terang paragraf diatas pemahaman salib sebagai derita (yang dipanggul dan dibawa-bawa dengan sabar dan setia) kok jadi aneh.

Saya cenderung mengikuti Groenen OFM memahami salib - bahwa salib disana lebih tepat dipahami sebagai kayu palang yang digotong prajurit Roma yang mau perang. Alhasil Yesus mengajak kita untuk mengikuti Dia macam prajurit yang siap tempur. It has nothing to do with carrying our suffering where ever we roam.

Yesus memang memanggul salib, tetapi aku ragu kalau kita
pengikutNya hanya berhenti disana. Tujuan akhir adalah kebangkitan. Bukan salib itu sendiri. Dan derita -pada dirinya sendiri- tidak punya banyak nilai. Ia baru punya nilai kalau ia membuat kita belajar - berubah dan menjadi baru.


Thursday, July 2, 2009

it's only rock 'n roll

Dari yang aku baca - Budhisme adalah soalan melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Misal secangkir teh adalah -pada dasarnya- rendaman daun layu. Mungkin terdengar rada sinis bagi mereka penggemar teh - lantaran bagi yang tahu, ada berbagai jenis teh dengan khasiat yang konon bukan main-main. Namun lepas dari itu teh adalah tetap teh, rendaman daun layu.

Mungkin 'sinisme' boleh dipinjam sebentar supaya kita bisa 'lebih netral', lebih 'lepas'.
Ibarat juri yang mestinya netral, kita bisa lebih melihat lebih lengkap, lebih menyeluruh dan akhirnya sampai menemukan 'yang sebenarnya'. Setelah menemukan apa adanya - sang juri bisa memutuskan apa yang harus dibuat terhadap pilihan-pilihan yang tersedia. Mana yang lebih baik, mana yang kurang bagus dan mana yang mesti ditinggalkan.

Sebelum kita bisa 'netral' pada dasarnya kita terikat. Attached. Kita yang terikat menjadi -pada dasarnya- buta. Melihat apa yang tidak ada disana, dan buta terdapat apa yang sesungguhnya didepan mata kita. Dalam bahasa de Mello : kita tertidur (side note: jebul de Mello ini terdengar lebih Buddhis dibanding Katolik. Tidak heran kalau Vatikan gerah sama dia)

Kita yang tertidur menjadi tidak lagi kritis, kita diombang-ambing, dipengaruhi gejolak dunia seputar kita. Kita menelan saja tradisi, kebiasaan, budaya begitu saja. Tidak lalu berarti kita disuruh jadi pemberontak. Tetapi sekadar berani melihat ulang - melihat apa adanya. Tanpa terikat, tanpa tekanan. Lihat dan temukan.

Aku jadi ingat lagu banal kelompok gaek Rolling Stones: It's Only Rock 'n Roll (but I Like It). Jagger yang dower bernyanyi: I know it's only rock 'n roll but I like it. Lirik lagunya cerita soal cinta monyet yang basi. Soal bagaimana memikat gadis idaman. Apakah kalau aku menangis si gadis jadi jatuh hati? Apakah kalau aku ungkapkan rasa dia akan terpikat? Ribet. Tapi disatu bait dengan bijak sipemuda berujar: I bet you think that you're the only woman in town, oh yeah.

Dan persis disana soalnya - dengan berkata demikian sipemuda 'terbangun'. You are not the only girl around. So what gitu loh. Dan ia menjadi bebas untuk main musik. I know it's only rock 'n roll but I like it.

oh yeah I like it