Wednesday, March 25, 2009

deviasi positif - deviasi negatif

Menurut penulis buku Questions of Truth: Fifty-One Responses to Questions about God, Science, and Belief hal yang paling sulit dipahami adalah hal penderitaan dan kejahatan didunia ini. Mungkin lengkapnya : hal penderitaan dan kejahatan dihadapan ALLAH yang maha baik. Bagaimana Allah mengizinkan hal penderitaan dan kejahatan semisal Dia sungguh maha baik ? Namun lagi menurut penulis yang adalah seorang ilmuwan sekaligus pastor, kita harus menerima bahwa penyelewengan (i.e. hal-hal yang sebut buruk) harus diterima sebagai saru paket dengan hal-hal baik. Misal : pulau yang tropika yang permai muncul dari gerakan lempeng tekntonik yang saat beraksi menewaskan banyak mahkluk hidup. Sel kanker adalah hasil perkembangan 'menyimpang' sel yang sebenarnya juga bisa berkembang ke arah yang baik. Tidak mungkin hanya menerima deviasi positif tanpa sedia menerima deviasi negatif.

Kita yang ditimur mungkin sudah duluan arif manakala berkata bahwa hidup itu seperti roda. Ada saat naik dan saat turun. Tidak mungkin berada diatas terus kecuali dunia berhenti berputar. Yang dibarat sana mungkin kurang sabar melihat segenap kejelekan dan kejahatan didunia ini. Terlebih-lebih karena pandangan bahwa Allah itu mestinya baik, dan mestinya baik menurut pandangan manusia. Ditimur orang percaya hidup bukan linear, ada reinkarnasi dan bahwa ada Brahma tetapi juga ada Siva. Ada saat untuk membangun dan juga masa untuk membongkar.

Bait terakhir tadi kita juga sebenarnya bisa baca dari salah satu buku perjanjian lama. Tepatnya buku Pengkotbah. Sang pengkotbah berkata bahwa segala sesuatu adalah kesia-siaan belaka. Mungkin ini cara lain untuk mengatakan - bahwa jangan terlalu tergesa-gesa menilai jelek atau bagus, karena dibalik yang bagus atau yang jelek tokh alhasil semuanya maya belaka, sia-sia, nisbi dan temporal.

Tidak usah bertanya-tanya mengapa - jalani saja hidupmu. Dan terlebih-lebih karena cuma ini hidupmu (tidak ada hidup lain, hidup sesudah kematian is a whole different ball game anyway) maka make the most out of it. Cherish the moment. Kata pengkotbah itu lagi - segala sesuatu ada waktunya - ada saat tertawa ada saat menangis - meski akhirnya tokh semuanya sia-sia - tetapi engkau tidak bisa hanya mengambil salah satu.

Monday, March 16, 2009

Painkiller

Malam itu mungkin La Vida Loca terlalu berat buat Vida (nama panggilan Nemanja Vidic) yang dua kali membuat kesalahan fatal dalam laga akbar Liverpool - Manchester United. Dua kesalahan yang dihukum berat. Dua gol dan satu kartu merah. Konon Vida berlari sekencang-kencangnya meninggalkan arena lapangan. Seolah ingin lari dari kenyataan - hidup memang sesuatu yang gila, La Vida Loca (Crazy Live). United bukan cuma dikalahkan - tetapi sungguh dipermalukan. Mereka bukan lagi untouchable- team-team boleh belajar dari Liverpool - bagaimana membunuh setan merah ini.

Bagaimanakah kita bisa melupakan kegagalan ? Bagaimana memaafkan diri sendiri atas kesalahan fatal yang menyangkut banyak orang lain ? Bagaimana kita berani bercermin memandang wajah yang mempermalukan orang sekampung ? Kerap kita lebih sulit memaafkan diri sendiri. Memaafkan orang lain sudah sulit - tetapi diri sendiri ? Luar biasa sulit.

Mungkin satu alasannnya adalah - bahwa kita tidak mau mengakui bahwa kita ini sesungguhnya tidak sedahsyat yang orang kira. Kita tidak sehebat gelar yang orang lain berikan. Kita ini sesungguhnya vulnerable. Oh sangat sulit menerima kenyataan bahwa kita tidak sebagus reputasi yang orang tempelkan pada diri kita. To admit that we have made a bad mistake is very hard indeed. Apa boleh buat - kita telah mengidentikan jati diri kita dengan label yang orang tempelkan pada diri kita - the best defender, dalam kasus Vida, ternyata ringkih dan pecundang.

Kata de Mello SJ, jangan pernah mengidentikan diri dengan label yang orang tempelkan pada dirimu. Kalau engkau tidak mau hidupmu terbelenggu ekspetasi orang lain. Lagipula label itu mereka pasangkan pada dirimu karena engkau memenuhi daftar belanjaan (shoping list) mereka. Kalau daftar belanjaan mereka berganti engkau bukan apa-apa lagi bagi mereka. Tetapi engkau jadi sibuk mempertahankan reputasi. Hidupmu habis untuk itu - apakah aku telah memenuhi harapan orang lain ?

De Mello SJ jelas bukan coach sepakbola. Dalam dunia celebriti reputasi adalah segala-galanya. Engkau hidup karena engkau dapat memenuhi harapan penggemar - sekali engkau gagal dimata mereka, hancurlah masa depanmu. Apaboleh dikata - ini resiko profesi jadi orang terkenal. Dunia celeb memang gila. Living La Vida Loca.

Namun demikian satu hal bisa dipastikan - artis atau bukan, tekanan bathin yang tidak perlu mestinya kita buang saja jauh-jauh. Orang selalu bilang - ambil positif-nya saja. Kata De Mello SJ lagi - dari derita kita belajar sesuatu tentang diri kita. Karena dari hidup yang menyenangkan kita tidak akan bisa belajar apa-apa. Deritamu membuat engkau tahu bahwa ada yang perlu diperbaiki dari hidupmu.

Malam itu mungkin Vida perlu obat penghilang rasa sakit. Sakit hati terutama. Dan kalau sudah hilang rasa sakit itu mungkin ia bisa belajar pelajaran yang tidak akan pernah dia tekuni kalau malam itu United menang lagi.

La vida es una locura, pero de hecho, usted debe aprender de él (dan ia boleh minta Fernando Torres menterjemahkan kalimat ini)

Friday, March 13, 2009

Esto es Anfield: Y que?

Sebuah koran terbitan Spanyol entah mengejek atau menyemangati menulis tajuk provokatip: Esto es Anfield: Y que? This is Anfield, so what ? Mereka lupa bahwa setengah skuad Liverpool plus sang manajer berbahasa Ibu Spanyol. Mungkin setengah dicocok-cocokkan atau bagaimana, tapi malam itu Madrid dibantai habis oleh Torres dan kawan-kawan (dan ingat - ada lebih banyak pemain berdarah Spanyol bermain untuk Liverpool dibandingkan Real Madrid).

Di Anfield malam itu hanya tiga orang Inggris bermain dan cuma satu yang masuk timnas. Inggris krisis pemain berkaliber internasional. Maka, meski ditingkat klub, tidak ada yang boleh memandang setengah mata keempat klub besar Inggris tetapi timnas Inggris tidak berhasil menembus piala Eropa tahun lalu. Ironis. Bahkan ke-empat klub ini diasuh oleh bukan orang Inggris (Ferguson orang Skot). Kemana perginya orang Inggris selain menjadi penonton ?

Ditengah tekanan kompetisi liga Inggris orang lebih memilih membeli pemain asing yang sudah jelas prestasinya dibanding membeli pemain lokal. Kata Redknapp : "...if they’re not good enough, it’s a waste of time.." Hukum ekonomi sudah jelas - belanja yang paling baik sesuai dana yang anda punya. Yang paling baik ternyata bukan tumbuh ditanah Inggris.

Sepakbola sebagai industri -apa boleh buat- menjadikan timnas korban keberhasilan klub-klub raksasa. Hukum ekonomi tentu mendorong orang membeli tiket pertandingan dimana pemain-pemain kelas dunia bermain. Tidak masuk akal mengharapkan orang membayar mahal untuk menonton anak-anak kampung bermain. Yang bener saja bung. Maka upaya membatasi jumlah pemain asing menjadi usulan yang tidak menarik. Lagipula dalam kongsi Euro, seorang berpaspor negara anggota Euro kiranya berhak bekerja dimana saja diwilayah negara anggota Euro. Membatasi jumlah pemain asing bisa dipandang sebagai penghianatan terhadap kesepakatan perkongsian. Repot

Inggris satu kali menjadi juara dunia (1966) dan belum pernah satu kalipun jadi juara eropa (maksimum masuk semi final - tahun 1996). Bayangkan - sejak FA berdiri tahun 1863 prestasi Inggris ya cuma segitu saja. Tidak berlebihan kalau anekdot Tuhan yang menangis bisa diterapkan pada persepakbolaan Inggris.

Konon pemimpin dunia dari Afrika, Amerika dan Inggris diberi kesempatan bertanya pada Tuhan - pertanyaan apa saja akan dijawab. Pemimpin Afrika bertanya - kapan negara-negara afrika berhenti bertikai antar mereka sendiri. Jawabnya : 50 tahun lagi. Dan sang pemimpin menangis getir. Giliran yang dari Amerika - kapan Amerika bisa jaya kembali - dijawab: 75 tahun lagi. Dan ia lantas menangis karena ia bakalan keburu mati duluan. Yang dari Inggris bertanya simpel saja : kapan Inggris jadi juara dunia sepak bola ? Kali ini Tuhan yang menangis.



Thursday, March 12, 2009

More "Spanish" than Madrid

Menurut web ini Liverpool FC yang beralamat Inggris adalah lebih Spanyol dari Real Madrid yang konon asli Spanyol. (Ada lima pemain Spanyol di Liverpool versus tiga di Madrid) Dunia memang aneh. Sehingga waktu Real kalah telak dari Liverpool konon dilapangan ada satu fan Madrid yang paling bersuka-cita: Rafael Benitez sang manager Liverpool ! Benitez pernah bekerja dan bermain untuk Real Madrid. Dia dulu adalah seorang Madridista.

Nasionalitas adalah sesuatu yang ganjil. Apakah Benitez terhitung sebagai pecundang Nasional karena mengalahkan tim Spanyol -yang adalah tanah kelahirannya ? Atau justru pahlawan yang mengharumkan nama bangsa ?

Mia Audina, pemain badminton itu, lahir di Jakarta - membawa nama Indonesia ke pentas bulutangkis dunia, dan belakangan menugusung nama Belanda, yang dimasa lalu berperang dengan Indonesia (dulu disebut Hindia Belanda). Dia jelas profesional. Apakah ia patriotik ? Silakan saja didebat lebih lanjut. Tetapi sekali lagi nasionalitas adalah sesuatu yang ganjil.

Sehingga kita pernah dengar anekdot demikian : sebelum di hukum mati sekelompok tawanan perang diberi kesempatan untuk memandang negaranya. Dan mereka berdiri berjajar diperbatasan sembari menangis tersedu-sedan. Oh negaraku, oh tanah airku. Belum sempat habis air mata, ada pengumuman dari sipir - bahwa mereka berhenti terlalu cepat 10 km dari perbatasan. Alhasil yang mereka barusan tangisi adalah tanah air musuh mereka. Tentu saja ini cuma guyonan belaka.

Nasionalisme adalah konsep dan konvensi. Namun ada banyak orang bersedia berkelahi karena konsep. Kita tidak bertanya - kita disuruh berbaris dan maju. Right or wrong my country kata orang. Begitukah ? Bukankah wrong akan tetap wrong - entah in my country atau your country ? Entahlah persisnya - silakan saja didiebat dipinggir lain.

Kita kembali Benitez. Benitez jelas seorang profesional. Tugasnya membawa kepentingan klub dimana ia bekerja. Sama persis dengan manager team lawan. Siapapun dan dimanapun ia lahir. Menjadi profesional berarti menjalankan panggilan tugas dengan tunduk pada norma dan etika profesi. Tidak heran kalau ada kelompok dokter yang mendaku - bahwa mereka tidak dibatasi batas wilayah - medecins sans frontieres. Orang sakit perlu ditolong bukan karena dia satu bangsa atau bagaimana, ia ditolong karena ia sesama manusia. Menjadi profesional -akhirnya- adalah menjadi sungguh manusia. Lepas dari kepentingan sepihak, yang tidak heran kalau ujung-ujungnya adalah onggokan materi, uang atau kekuasaan.

Wednesday, March 11, 2009

my own prison

You can take Fernando Torres from Atletico, but you can not take Atletico from him.

Selepas membobol gawang Real Madrid dalam laga akbar Real Madrid vs Liverpool secara demonstratip Torres unjuk namanya dihadapan publik Madrid yang bergerombol di satu pojok stadion Anfield. El Nino telah memuaskan dendam membara yang ia pendam sejak ia bermain untuk team sekota Madrid. Apapula yang ia dambakan selain menggetarkan gawang Madrid dan menyepak mereka dari ajang kompetisi antar klub paling bergengsi dijagad ini.

Sesungguhnya Torres belum lagi pulih dari cedera yang dideritanya baru-baru ini, tetapi katanya sakit dikakinya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan sakit dihatinya. Dalam dendam orang cuma berpikir akan sakit hatinya. Sakit badan, sakit kaki atau sakit gigi tidak terasa lagi. Dendam yang membara ibarat magma panas mendesak-desak gunung berapi. Asap keluar dan gempa bumi.

Terhadap dendam yang sudah mendarah-daging kita tidak lagi mampu terang memberikan alasan kenapa dan mengapanya. Kita sudah terlanjur benci dan marah. Dan kita tidak akan pernah puas sebelum dendam itu terpuaskan. Entah bagaimana caranya dan bahkan entah "lawan" kita masih hidup atau sudah bertobat. Dalam kasus Torres - pokoke anti Madrid, entah Madrid yang dulu atau yang besok. Alhasil kita sesungguhnya menjadi tawanan (dendam) kita sendiri. Tidak enak makan, tidak enak minum, apalagi tidur.

Dan kita dengar dalam filem eksyen James Bond sang aktris pendamping berkata filosopis: "I wish I could set you free ... but your prison is in there." sembari membelai kening sang jagoan Bond. Dendam dan amarah yang dipiara akan berubah menjadi penjara bagi diri kita sendiri (dan kalau ditularkan bisa menjerat juga anggota keluarga, kawan sekampung, bahkan segenap bangsa). Dan tidak ada escape dari penjara ini - karena ia terletak didalam - direluang yang paling dalam. Dan sepanjang hayat dikandung badan kita baktikan waktu dan tenaga untuk membakar bara dendam itu. Sesungguhnya kita sedang membakar diri kita sendiri. Lebih dahulu daripada membakar pihak lawan.

Ironis.



Tuesday, March 10, 2009

Being Neutral is a crime

Menurut satu web site - being neutral is a crime. Mungkin rada bombastis, tetapi rupa-rupanya meski kompleks, dunia kita ini adalah kumpulan sistem biner yang ruwet. For one thing - a man can not be in two place at the same time. You are either with-in or with-out. Against or for. Yes or no.
Kita bisa saja abstain. Alias tidak memilih, tetapi tidak memilih pun adalah sebuah pilihan juga, meski pilihan yang tidak terdaftar. Engkau tidak bisa tidak memilih, engkau cuma mengatan bahwa pilihanmu tidak ada diantara opsi yang disodorkan.
Netralitas tidak mungkin - karena netralitas kerap berarti kemalasan menjawab, keengganan menghadapi tantangan. Ditengah konflik engkau harus memilih : pro si A, pro si B atau neiter. Tapi sampai disini, jika engkau beranjak pergi engkau diam-diam setuju bahwa konflik adalah sebuah pilihan yang wajar bagi si A dan si B. Bukannya - misalnya: resolusi. Tetapi siapa mau memajukan resolusi kalau engkau tidak ada lagi diantara si A dan si B yang memang asyik bertikai.
Sudah tentu mungkin ada yang namanya juri atau wasit. Tapi kita juga tahu wasit yang 100% netral itu tidak ada. Being human, mereka punya like dan dislike. Maka dalam lomba menyanyi ada minimum 3 wasit. Genap tidak mungkin, satu wasit apalagi. Pihak yang kalah kerap mudah menuding ketidak-adilan wasit, sementara yang menang paling-paling cengar-cengir dan mengatakan yah begitulah pertandingan.
Jalan lain yang biasa ditempuh adalah jalan obyektivitas. Mungkin seonggok emas bisa ditimbang dan dibandingkan dengan mudah. Tetapi bagaimana mau membandingkan perhiasan ? atau piala ? atau mahkota misalnya. Cuma ditimbang beratnya tidak mungkin - karena disana ada nilai-nilai yang tidak bisa "ditimbang". Misal: jerih payah mendapatkanya, atau nilai sejarah, dsb.
Maka tidak bisa tidak orang mesti memilih. Karena tidak memilih akhirnya adalah sebuah pemihakan.

Wednesday, March 4, 2009

Cinta manusiawi

Naksir diasumsikan tidak setara dengan cinta tapi jatuh cinta mengandaikan unsur hormonal yang kental. Cinta Yesus tidak sama dengan cinta romeo, atau cinta parental. Dan dengan demikian batasan cinta menjadi mabur bureng bin tidak jelas

Waktu remaja hormon membanjiri sistem navigasi sehingga membuat Jarak pandang terbatas, maklum otak berkabut sehingga diwajahmu kulihat bulan, atau engkau adalah mawar asuhan rembulan. Tidak dipikir hari esok yang kompleks, karena dunia adalah milik berdua. Sehingga yang lain jelas indekost

Romeo yang katarak tidak mau melihat bahwa Juliet adalah sebenarnya Juleha. Yang suka makan petai dan kalau tidur ngorok, sementara Juliet yang buta pura2 tidak tahu bahwa Remo yang dikampung bernama Rhoma adalah Macam kucing yang jarang mandi

Semua indah pada waktunya, dan semua hanyalah impian semusim

Waktu orang berjalan menuju altar gereja Kuningan, sambil dikendangi kebo giro versi sundanese, orang hanya pikir masa depan penuh madu dan susu Lupa bahwa baju manten adalah sewaan dan atap bocor dimusim hujan Setelah bulan madu usai dan rentenir menanggih bunga, maka mimpi buruk Resmi di mulai.

Juleha melihat Rhoma yang asli dan Rhoma sadar Juleha bukan Juliet dan mulailah pernikahan dirasakan macam memesan makanan yang salah. Mulai ada Pertengkaran dan audibilah, kadang2 piring berterbangan.

Disaat seperti ini pantas diingat bahwa gereja katulik kuningan (dan segenap Gereja roma) memandang bahwa pernikahan adalah sakramen. Artinya tanda Kehadiran Tuhan. Dengan berjangji setia pejah gesang, orang mengikrarkan sesuatu yang tidak manusiawi. Manusia itu lemah, pelupa dan pembosan. Namun didepan altar di kuningan itu dulu, Rhoma dan Juleha berjangji setia dalam untung dan malang, till death do them part. Jangji yang inhuman ini butuh
Peneguhan Gusti Allah, kalau tidak hanya sebatas gombalitas belaka. Maka itu Gereja katulik bilang pernikahan adalah sakramen

Setelah jatuh orang harus berdiri, begitu juga jatuh cinta. Kalau gagal berdiri orang terancam jadi manusiawi: bosan, kolokan, promiscous, etc. Dan disini muncullah definisi cinta sebagai tekad, sebagai pilihan, sebagai komitmen yang tidak ada kaitannya lagi dengan take and give atawa mencari kesenengan belaka.

Dan meneladan Gusti Yesus, kita sadari bahwa cinta yang sungguh justru jauh dari romantika lilin meja makan malam. Cinta yang bener itu heroik, semacam upaya mentransendenkan manusia yang lemah, lebih ingat kepentingan sendiri dan kolokan

Dan dalam wacana Gusti Yesus, cinta yang heroik macam begini diganjar Keabadian, tidak terikat waktu dan ruang

September 06, 2003 7:10 PM

berapa nilai rapor Kristianitas ?

Say it with T-shirt, or sticker !

Ciri semangat yang sedang menggelegak adalah *telling all the world* (bdk The Beatles, I feel fine) demikian murid setelah kemasukan Roh Kudus, jadi beranee, kotbah sana-senee Maka perintah meriah Yesus (De toutes les nations faites des disciples, baptisez-les etc, etc ..) amat klop jadinya Apalagi sebagian orang mikir akhir zaman sudah dekat banget dan bahkan angkatan ini akan melihat kedatangan ke-2 Anak Manusia Viola dan bangkitlah igreja..kumpulan orang yang beriman pada Kristus

Tapi hari berganti hari dan tahun-tahun berlalu. Ribuan tahun liwat dan banyak stiker ngeletek. Akhir zaman belum tiba (lha memang sok tahu, Anak Manusia juga tidak tahu kapan persisnya), sudah sejauh mana Kristianitas berjalan ?

Berapa nilai rapor Kristianitas ?

Yang jelas igreja yang diwariskan pada Simon Petrus sudah porak poranda Katolik Roma, Ritus Timur, Reformasi, belum lagi Koptik, Maronit dsb kotbah bergaung dimana2, karitatif mungkin tidak kurang, tapi memang perjalanan masih jauh. Kerajaan Surga masih terus diharapkan datangnya

Tapi rapor kristianitas merah atau pas enam atau sembilan ?

You tell me

September 01, 2003 12:43 PM

Aslinya DIA adalah awam !!

Menurut tata agama Yahudi Yesus jelas masuk kelompok awam, dia bukan imam, bukan masuk Farisi atau Saduki atau kelompok di Qumran. Dia guru dari dusun yang mencari nafkah dengan bertukang. Dia banyak berdoa dan berkeliling sambil berbuat baik. Dia melihat bahwa bangsanya menderita oleh penjajahan Roma, ketamakan pemungut pajak yang sebangsa, beban oleh agama Yahudi, oleh adat istiadat, oleh prasangka zaman itu

Lalu tukang kayu ini -setelah menyepi bertapa dan sebentar ikut kelompok Yohanes- mendeklarasi kan ideologi baru yang tidak pernah didengar orang2 sezamanNya. KataNya: Kerajaan Allah sudah hadir dalam diri Dia. Langit dan bumi baru yang ditunggu2- Yerusalem yang baru, sudah ada kini dan disini dalam Dia dan KaryaNya

Sudah jelas Dia jadi berseberangan dengan status quo. Status Quo Roma, para Imam, adat istiadat, kedegilan bangsanya. Tapi Dia tetap pada misiNya, meski tahu suatu kali Dia akan *kena batunya*. Dan gerakannya memikat hati orang yang meski tidak mengerti sungguh, atau salah sangka atau asal bunyi - ikut Dia kemana2

Lalu kesudahanNya tidak terelakkan lagi dan Dia *diciduk* konspirasi penguasa dan para imam. Dia lalu dihukum seberat2nya, sekaligus untuk menumpas gerakan serupa dimasa depan oleh kaum muridNya. Dia dihukum macam kriminal. Mati dikayu palang

Para muridNya yang adalah orang sederhana, yang salah sangka, yang punya motivasi salah suatu kali disentakkan kenyataan yang tak terduga. Bahwa segenap ajaranNya - yang dulu buram dan sama sekali tidak jelas - adalah sungguh benar.

Maka mereka seperti kerasukkan roh lalu mendobrak pintu dan jendela yang mereka tutup sendiri dan mewartakan bahwa orag yang mati itu sebenarnya bicara benar. Dan kita tahu kelanjutan cerita ini

Yang mengherankan adalah : sekarang lembaga yang ditinggal Sang Awam ini berubah jadi organisasi yang membatu, yang dikuasai imam-imam,kardinal dan paus bungkuk, yang menghirarki dan menjadi awam macam domba kasta paria yang ngah-ngoh bengong belaka...

Kemanakah semangat para awam ?

Hai kaum awam,
mari bung bangkit dan rebut kembali !

October 14, 2003

kultus klerus

Chuck Gallager SJ mengusulkan memandang 3 aspek yang umum luput dilihat umat jelata dari kaum klerus (berjubah)
Mereka
1) di subsidi
2) hidup terfokus
3) tidak punya kuwajiban mengurus keluarga

Alhasil ke3 hidden advantages ini membuat umat jelata makin minder dihadapan klerus. Umat kalah babak belur. Dalam soal pengetahuan agama jelas umat nol koma nol (lha pastor belajar sedikitnya 5 tahun), dalam soal tindak tapa umat juga keok (lha pastor kaul kemurnian – istilahnya saja sudah bikin minder), belum lagi dalam gereja Katulik umat ada di dasar – lha

hirarki kan mulai dari Paus terus kebawah sampai umat paria. Memang Muktamar Vatikan II bilang umat itu partner, dsb, dst mais en realite umat masih minder wardeg dan masih dianggap restan belaka

Entah sampai kapan umat jelata gereja Katulik sembuh dari sindroma kultus klerus yang jelas kleru ini. Rekan gereja reformasi ratusan tahun lalu sudah mengemansipasi diri dari kaum klerus mereka. Dan mereka dalam mata saya lebih mandiri dalam

Soal iman. Memang ada peran doktrin soal scriptura disini, namun alhasil jemaat gereja reformasi lebih punya nyali dan harga diri dibanding domba2 Katolik yang rela jadi gembalaan semata

Hidup gereja reformasi !!

July 30, 2004


injil dipanegara

Pernah ada masanya orang2 Timor Leste punya pahlawan berkuda bernama Dipanegara. Adapun pangeran ini berkuda melawan kaum walanda dari vereniging oost indische compagnie. Sekadar membela tanah nya sendiri- boro2 mikir rekan2 di Timor yang Leste yang mungkin sudah repot dengan invasi bangsa lain, namun sementara Leste menjadi satu dengan Timor Barat, Dipanegara dihafal sebagai pahlawan

Demikianlah ideologi tidak kontekstual sebab pahlawan diciptakan oleh pihak yang memegang kendali.

Tapi semua orang yang menjadi Katolik tiba-2 punya moyang bernama Adam, harus percaya bahwa ada dosa asal dan bahwa ada Bunda Maria yang mengandung dari Ruah dan melahirkan dan pada saat yang sama perawan ting-ting. Lebih repot kalau Katolik hadir lewat barat, sehingga Natal menjadi white christmas dengan salju dsbnya

Tidak bisakah kita singkirkan sampiran ? Manakah yang sampiran dan mana yang esensi ? Sejauh mana kekristenan boleh disesuaikan ? Harap ingat bahwa sebelum perjanjian lama terbentuk Kekristenan ditantang oleh budaya helenis dan ter”paksa” menyesuaikan diri dengan alam pikir bangsa kafir yang mau diinjili

Namun setelah Injil terbentuk dan hirarki gereja makin mantap, wahyu ditutup dan semuanya diukur dalam perspektif baku yang disebut kanon/dogma/tradisi dsb. Sehingga orang2 yang diinjili kemudian

August 27, 2004

amanah agung ?

Baru selesai baca buku Guido Tisera SVD ttg Kisah Para Rasul. Di salah satu bab disebutkan bahwa lain dari peristiwa khotbah panjang Petrus setelah kena lidah Roh Kudus, para rasul ngendon parkir di Yerusalem. Boro-boro menyebarkan warta dan membaptis keujung dunia ...

aneh ...

Lalu kita sekarang membaca sepotong ekor Matius yang bertitah untuk sebarkan warta dan jadikan murid plus mempermandikan ini panggilan untuk mengkristenkan segenap bangsa ?

tapi kristen yang mana ?

kita sendiri terpecah-pecah dalam ratusan gereja

..come on !
(BTW suatu hari saya ke pantai Lemaru dgn keluarga - disana ada sekelompok anak muda
yang membagikan paflet ajakan bertobat dan belajar kitab suci...oalah...)

Feb 2, 2004

Tuesday, March 3, 2009

50 dates

Adam Sandler dan Drew Barrymore tampil dilayar "50 1st dates" ceritanya Barrymore punya sakit amnesia dimana setiap kali bangun pagi dia lupa segala sesuatu yang terjadi kemarin - sehingga Sandler harus membuat video untuk mengingatkan dia bahwa mereka suami isteri dan sudah punya anak Film yang lumayan unik meski tidak must see

Tapi imajin kalau kita semua punya amnesia macam begini apakah relevan penyelamatan Yesus ? sebab kita tidak bisa lagi mengakukan dosa yang kita sudah lupa (bahkan kita lupa kita ini pendosa)

Kalau Tuhan dengan mudah lupa pada semua dosa kita dan kalau kita sendiri selalu lupa yang kita lakukan (entah dosa atau tidak) apakah kita perlu diselamatkan ? Pengampunan dosa soal Tuhan yang mencatat dan menimbang dengan teliti amal jariah kita? Atau soal rekonsiliasi ? Tuhan yang menimbang dan mencatat adalah Tuhan aturan bukan Tuhan cinta. Tuhan cinta mencari rekonsiliasi. Mencari perdamaian. Menunggu pulang sianak jalang. Bukan macam anak sulung yang berhitung untung rugi pahala makruh haram halal. Maka bahkan jika kita punya sakit pelupa (dan Tuhan juga). Yesus masih tetap relevan. Sebab Dia datang untuk mendamaikan, membuka jalur yang buntu,  merintis jalan pulang anak durhaka

selamat puasa

February 27, 2004

dan Sarah pun tertawa

Ishak anak Abraham dari Sarah konon berarti " dan Ia(pun) tertawa"

Demikianlah setahun sebelum Ishak dilahirkan Abraham ketamuan tiga molekat Yahwe dan salah satu ngendika: Sarah garwamu yang nyaris seabad usianya tahun depan akan menimang anak tunggal semata wayangmu dan Sarah yang ngumpet sambil nguping tidajk tahan untuk tertawa dan kiranya terbahak juga ia. Sebab sang molekat diruang tamu sampai mendengar dan bertanya: apakah yang lucu sehingga engkau tergelak ?

Apapun kita yang paham ilum beologi sedikit mafhum kenapa pula Sarah tergeli hati. Lha wong tanah sudah kering, bibit sudah uzur. Mosok mau punya turunan. Yang betul saja bah!

Horas bah ! dan jebul setahun berlalu dan Ishak memang lahir dari rahim yang dikira layu. Dan kiranya kalaupun Sarah tertawa, lebih karena lucunya sang orok

Berapa sering kita tertawa ironik mendengar berita baik Injili bahwa hidup itu anugerah, bahwa kita selayaknya bersyukur, dan bla..bla...bla yang lain. Kita bilang omongan itu memang bagus pak Pastor, pak Pendeta. Tapi hidup bukan seperti yang ditulis. Hidup mengenal duka, salib dan kepahitan. Omongan bagus-bagus itu boleh saja, kalau sekadar untuk jadi hiburan dan mungkin untuk sopan-santun belaka.

Entah kita belajar dari siapa, tapi kalau diminta percaya pada mujizat, kecuali tidak ada pilihan lain, kecuali kita sudah melihat bukti, kita cenderung tidak memilih percaya dan sedikitnya tertawa dalam hati paling tidak.

Ada perempuan lain yang sekian ratus tahun kemudian juga dikunjungi lalaki molekat Allah, namanya Maryam. Dan Maryam memang masing muda sehingga tidak cengengesan seperti Sara. Karena dia tahu dia tokh dimasa subur untuk dibuahi, akan tetapi dibuahi bagaimana ? Dan pertanyaan biyologis juga muncul : saya belum kenal lalaki, kumaha saya bisa hamil. Tapi entah kumaha oge, sayah ini hamba Yahwe, sumangga kersa Gusti Allah sajah. Dan setahun berlalu dan Emanuel -Allah beserta kita- lalu lahir.

Perempuan kedua tidak diceritakan pernah tertawa, tapi dalam hidup selanjutnya sebilah pedang seolah menembus jantungnya. Sampai akhirnya Ia saksikan Sang Emanuel dipaku di kayu palang Ia tetap setia dan tekun merenungkannya dalam hatinya.

Dalam tradisi gereja Ia dipercaya sudah diangkat kesurga berikut raga-badannya dan terpenuhilah yagn tertulis bahwa seluruh bangsa akan menyebutnya yang berbahagia. Berbahagia apa sama dengan tertawa. Kita bisa berdebat, tapi siapa tertawa belakangan akan diangkat kesurga jiwa-raga-badan

Tota Pulcra Est maria
2005 07 26

Adalah ganjil

Adalah ganjil
bahwa kerap kita baru bisa bersyukur
saat kita hampir kehilangan berkat yang kita terima sejak lama

Kita berterima kasih
baru kalau dikagetkan bahwa segenap yang ada pada kita
bisa saja tidak ada
bisa saja lenyap esok lusa
bisa saja terrenggut percuma

Kapankah kita terakhir kali mengamati
Dan mengagumi
berkat yang sudah kita miliki

Apakah kita bisa menambah sehasta dalam jalan hidup kita?
Kalau tidak
lalu mengapa sibuk dengan hal-hal yang tidak ada
Dan lalai mengalami anugerah nan melimpah?

Kunci bersyukur adalah memandang
Memandang dalam hening
Saat gelombang datang
Kala gelisah menggelora
Berhenti dan diamlah
Lalu pandang
Maka kita akan temukan bahwa
Kita tidak lain dari seonggok besar anugerah Allah
Tidak kurang dari segumpal gemuk karya kasihNya

Janganlah kuatir akan hidupmu
Akan apa yang akan kau makan
Kau minum
Kamu sudah serupa tumpukan rahmatNya

What more would you need?

Le subjonctif au Jericho

Mungkin cerita Zakeus sudah terlalu sering saya dengar – sehingga tidak membangkitkan minat analitis lagi. Tapi semalam saya melihat sisi lain cerita yang sudah sering kali saya dengar. Dalam versi alternatif saya melihat bahwa Yesus-lah yang mencari Zakeus. Fokus cerita bukan klise macam upaya keras Zakeus sebagai simbol tekad untuk bertobat. Tapi lebih-lebih dari awal kisah sudah kelihatan bahwa Yesus lah yang mencari Zakeus.

Ayat 1 dikatakan Yesus masuk dan berjalan terus. Tidak tengok kanan-kiri, tidak berhenti menyembuhkan atau mengajar. Ia berjalan melintas (Il traversait).

Kalau Yesus ingin bertemu Zakeus, Zakeus lebih-lebih (cuma) ingin melihat (saja)Yesus. Yesus yang kiranya sudah kerap ia dengar sebagai seorang selebriti. Lantas apa yang sulit dari kegiatan memanjat pohon bagi Zakeus ? Saya tidak melihat ini sebagai elemen yang sentral. Zakeus –sekadar- ingin melihat dan cara yang paling bagus adalah dari atas. So what ? Lagi pula Zakeus tidak mimpi Yesus kenal dan dia, apalagi mau menginap dirumahnya. Zakeus sudah akan puas jika ia sudah melihat Yesus. Tidak berharap diajak omong segala.

Lantas terucap kata-2 yang mengguncangkan Zakeus dan dalam versi perancis drama itu hadir lebih menggigit: aujourd’hui il faut que j’aille demeurer chez toi (sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu).


Also Sprach Nietzsche

Nietzsche yang memaki habis kristianitas mengecualikan Yesus [Magnis-Suseno, 2006:84]. Yesus –baginya- adalah seorang pemikir bebas yang tidak tertindas oleh perbudakan dogma agama.

Mungkin Nietzsche tidak serieus disini, tetapi pernahkan kita sebentar mengkonfrontasikan Yesus dengan Kristianitas? Apakah Kristianitas serta merta Yesus? Jika Yesus membaca konsili Vatikan II apakah Beliau akan berkata : wah ini gue banget ? Apakah Kristianitas Yesus banget ?

Kalau boleh dikritisi sebentar, omongan ini adalah sebuah kontradiksio interminis, atau dalam bahasa excel “circular reference”. Pasalnya Yesus yang kita kenal sesungguhnya didefinisikan oleh Kristianitas, dan tidak sebaliknya. Kita tidak pernah mengenal Yesus diluar konteks Kristianitas. Diluar kristianitas Yesus bukan Kristus, n’est pas?

Tetapi selalu boleh ditanyakan apakah kita –dalam menghayati kristianitas serta merta menjadi Yesus yang lain? Alter christi ? Disini baru dapat kita tarik distingsi, sebab yang ditanyakan adalah penghayatan pribadi masing2 akan kristianitas dan Yesus. Disini kita melihat diri bercermin pada dogma versus saya berkaca pada Yesus.

Pada level yang sederhana: dogma adalah rapalan kata bahasa sementara Yesus adalah seorang pribadi. Kata dapat ditaati secara legalistik dan alhasil hilang jiwa-nya, sementara dalam mistik Pribadi Yesus selalu punya tantangan selangkah lebih jauh (Mat 5:41). Bukan perihal kata-kata dogmatik, hukum gereja, dsb melainkan meragakan semangat dan semangat yang diragakan ini kadang menerjang batas-batas dan kekakuan dogma yang tanpa jiwa.

Jika segenap orang kristen tidak berhenti dalam kristianitias melainkan berjalan lebih jauh dan menjadi Yesuit (bukan ordo-lho) kiranya Nietzsche akan serta-merta kehilangan dasar kritiknya. Sebab jika kita semua adalah alter Christi maka penantian sudah purna (Mat 11:3-6)

over-loaded

Menurut Magnis-Suseno masyarakat Indonesia termasuk over-loaded dalam hal beragama (buku : menalar tuhan –Kanisius-2006),dan memang maraklah rona kegiatan berlabel agama – dari seremonial (Natalan di Senayan) hingga brutal (baku hantam antar pengikut agama). Yang menjadi pertanyaan agama macam mana yang konon memenuhi kapasitas muat bangsa ini?

Tidak perlu jauh2 menelisik agama lain-mari tengok sharing pendalaman iman APP (bagi yang non katolik, APP = Aksi Puasa Pembangunan- kegiatan seputar masa puasa/pra-paska) gereja kita sendiri. Sekilas kita lihat sebagai umat basis kita rajin berkumpul seminggu sekali membahas topik APP kita, tapi lantas apa ? diskursus tidak (belum) mengubah sejauh berhenti pada kata-kata belaka. Lebih pahit lagi – umat katolik terasa kagok mengupas makna kitab kudus dan ada kecenderungan mencairkan tuntutan2 kenabian didalamnya.

Kata “berbagi” –misal- lantas diartikan berbagi duka, berbagi sms, kerja bakti, koor dan merias altar. Seolah domain kitab suci cuma sekelumit petak seputar gereja saja. Kalau sekadar pernik macam begitu Isa Almasih tidak perlu sampai mati berdarah-darah.

Kata Isa: inilah darah Aku, inilah badan Aku. Lantas kita serta merta menarik ibarat dan memadankan itu dengan hosti dan bahwa jika kita makan itu hosti kita selamat menyeberang jembatan melintas neraka.

Bagaimana jika Isa sungguh-sungguh mengatakan bahwa kita memang makan dagingNya ? dan bahwa tuntutanNya harafiah dan tidak perlu (boleh) dilembutkan dengan ibarat dan penghalus yang ujungnya cuma sekadar pupur kosmetika sahaja?

Dan sesunguhnya kita telah jadi memanipulasi agama, sesuai dengan kepentingan kita. Beragama apa maunya ? – supaya selamat dunia akhirat, tapi isi agama tidak perlu pula mengubah diri kita. Alih-alih, agama yang kita kangkangi demi mau kita.

Alhasil kita bukan over loaded oleh agama, namun agama yang loaded oleh (kepentingan) kita.

Kaset koor GEMA: sebuah perjalanan Emaus

Ditoko buku paroki Buah Batu ndilalah saya jumpai 2 kopi kaset koor Gema zaman baheula. (Cruce Signati dan Per Signum Crucis). Dalam keharuan nostalgik kedua kaset itu saya putar dan kenangan masa lalu berlompatan kepojok-pojok ruangan.

Apa yang terjadi jika masa lalu menyapa dan memenuhi cakrawala (BTW: dalam kaset ini lagu2 buku biru dikemas rudimentari – dengan sekadar gitar dan sejumput organ- bak latihan koor sabtu sore, polos jujur dan tanpa interpretasi) ?

Lebih 20 tahun sudah berlalu dari masa keGEMAan saya, lalu apa yang muncul dalam reuni impersonal dengan sekumpulan nada masa lampau ?

Sepanjang pengalaman ber-reuni saya, nostalgia tidak lebih berupa kegiatan kolektif mengunyah-ngunyah kenangan liwat, lagu lama, percikan2 masa lalu. Biasanya setelah beberapa jenak kita akan terdiam karena kehabisan bahan. Masa lalu – a distant in time- tokh memudar dan tinggal bersisa beberapa tonggak saja. Dan itu tidak terlalu banyak juga.

Namun reuni impersonal saya dengan kedua kaset ini memercikan dimensi lain. Masa lalu keGEMAan saya tokh tinggal tetap. Tidak terulang lagi (dan buat apa juga?) namun saya sudah beranjak dalam 20 tahun lebih ini. Dan dalam jarak – a distant in time- kenangan itu sekarang bicara lain, karena saya tokh bukan lagi seorang muda jerawatan kebak hormon lebih dari 20 tahun lalu.

Dan seperti menikmati teh hangat, nostalgia ini saya seruput pelan-pelan. Saya resapi bahwa tanpa masa keGEMAan saya, saya tidak akan jadi seperti sekarang saya ini.

Ibarat pelaut memandang mercusuar diufuk yang telah jauh ia tinggalkan. Ia bersyukur karena tahu pasti bahwa jika ia luput menangkap sinar mercusuar itu ia mungkin telah kandas atau sesat.

Dan kehangatan sapa seorang sahabat saya alami kembali dan sungguh itu menguatkan saya. GEMA sungguh seorang teman dalam perjalanan ziarah saya. Seperti dua murid yang berjalan menuju Emaus dalam kalut, GEMA menemani masa muda saya yang tidak kurang kalutnya. Ia sabar dan setia. Dan kiranya sekarang saya lihat sisi lain GEMA, seperti kedua murid yang tercelikkan mata saat Yesus membagi roti dan anggur.

Dalam cerita Emaus kedua murid yang terubahkan bergegas kembali ke Yerusalem, sebagai orang2 yang disemangati. Kira saya -dalam skala dan versi lain- sayapun mengalami emaus saya lewat reuni impersonal saya malam ini

playboy

Bangsa ini mengidentikkan moral dengan perihal syahwat. Konon Playboy edisi Indonesia hendak ditentang mati-matian oleh seorang Menteri, pasalnya kuwatir Playboy bakal merusak ahlak moral kaum muda. Apa lantas diasumsikan bahwa seorang muda yang melihat Playboy (well Playboy mula-2 untuk dilihat, baru kemudian dibaca) akan rusak moralnya dan membuat dia menjadi pembabat liar hutan Kalimantan sambil mengawetkan tahu dengan formalin dan me-mark-up proyek hasil membobol bank. Astaga lompata logika yang sungguh akrobatik.

Jika Playboy memang mujarab untuk segenap evil ini maka kita menjadi heran bahwa pria yang menikah (hence melihat kurang lebih apa yang disajikan playboy) tidak lantas dikatakan rusak ahlaknya.

Pertanyaan lain adalah : kiranya 50% dari populasi (=wanita) kurang berminat pada sajian Payboy ini – lagipula 200 juta bangsa ini tidak semua punya akses pada printed Playboy. Lagipula Playboy bukan lagi barang unik di tanah air – boleh sekali2 lewat agen koran anda dan akan anda temukan ½ lusin terbitan seronok lain.

Bangsa ini tidak tahu soal moral tapi sok moralis. Sedemikian sehingga ATM kondom hendak ditolak. Kondom yang dijual bebas diapotik, toko obat, warung dsb, menjadi hal yang laknat saat dijajakan dalam anjung tunai mandiri. Logika macam mana ini? Atau karena ini dianggap mendukung seks bebas, seks ekonomis, dsb. Tapi hal mesum tidak lantas lenyap dengan menolak ATM kondom. Atau perlukah membeli kondom dengan seurat pengantar dari tokoh2 agama yang moralis ?

Soal seks selalu rumit karena dibuat rumit. After all ini sarana yang Tuhan berikan demi penciptaan. Hence biologik. Lantas sudah pada tempatnya –sebagai manusia yang hermeunetis- untuk memberi makna pada aktifitas badaniah. Hence soal cinta, dsb dilengkapkan pada konteks olah tubuh ini. Cukup kiranya sampai disana. Soal moral, neraka dsb tidak kurang dari pembodohan belaka. Macam semua orang dianggap sebagai anak akil balik yang belum paham betul onderdil tubuhnya, sementara hormon2 sudah bekerja.

Tapi dua ribu tahun lalu Santu Paulus dalam 1 Co: 9 menulis “Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu”. Hawa nafsu jadi alasan untuk kawin, dari pada hangus (NB: 1 Co 1: Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin – seks dipandang kurang sebagai sesuatu yang jelek)

Mungkin soal syahwat memang bukan soal mudah, sebab darah berhenti mengalir keotak saat syahwat angkat bicara. Apa boleh buat sehingga kiranya jalan efektif dalam rangka dalmas (pengendalian massa) adalah hantu yang bernama “moral”

Sehingga ATM kondom yang menjual juga Playboy jelas-jelas akan dikutuk neraka jahanam ! karena lebih mudah mengutuk daripada mendidik.


Kalau sang pastor wafat

Konon ada berbagai versi guyonan pastor yang serba salah – misal, kalau pakai HP (mahal) dibilang tidak kaul (kemiskinan), sebaliknya kalau tidak menjawab SMS umat karena punya HP dibilang ketinggalan zaman. Dan seterusnya. Seorang teman mengomentari lelucon ini dengan bertanya retorik – tapi kalau sang pastor wafat siapa yang hendak mengganti?

Tidak ada yang menyangkal peran istimewa pastor dalam gereja Katolik. Maklum saja – sentra perayaan keagamaan katolik adalah ekaristi – dan hanya imam/pastor saja yang sah memimpinnya. Tanpa ekaristi orang Katolik seperti kehilangan jati diri.

Tapi sebenarnya, omong-omong, apa pula yang terjadi kalau tidak ada misa ? Kiranya ikut misa jadi satu pasal dalam hukum gereja. Lalu kalau tidak misa artinya melanggar hukum dan lantas dihukum. Bicara seperti sepertinya mengandaikan kita ini suka berhitung hukum dan ganjar (ikut misa sekian kali – apa ganjarnya? Tidak misa sekian kali – apa hukumnya?)

Mungkin menjadi katolik adalah soal menghitung-hitung berapa kali kita absen misa, berapa kali pula kita ekstra misa harian? Tapi kiranya mengikuti Kristus lebih dari sekadar hitung-hitungan sederhana seperti ini.

Dalam Injil dikatakan Yesus lebih peduli dengan perbuatan, siapa yang berbuat dia yang masuk hitungan. Lain tidak. Ritus tidak jelek, tapi kalau berhenti sebagai ritus maka yang ada hanya kesia-siaan yang justru berbahaya. Karena orang bisa berpikir bahwa segala sesuatu menjadi beres karena kita sudah merayakan misa dengan amat meriah, dengan koor dan sorak-sorai, dengan dupa dan bunga-bunga, dengan lonceng dan baju baru.

Tapi setelah misa selesai (dan kita diutus), kita semua kembali kedunia sebagai orang-orang lama yang tidak ambil pusing dengan berbuat. Buat apa ? bukankah kita tadi sudah misa ? Apa boleh buat – misa yang mestinya dipandang sebagai sarana – dijadikan tujuan. Misa sebagai sarana kiranya adalah saat perjumpaan dengan Allah- sebagai jeda perjalanan ziarah, perjuangan membawa nama Kristus dalam hidup sehari-hari. Sepulang dari misa (dan kita diutus) –idealnya- kita penuh inspirasi untuk lebih kreatif menjalani panggilan masing-masing. Dan justru sepulang misa segala sesuatu baru akan dimulai. Bukan sudah selesai.

Jika misa cuma sarana, maka ia tidak lagi segala-galanya. Dan posisi pastor kita boleh pandang berbeda. Ia adalah kawan seper-ziarah-an yang dipanggil untuk cara hidup yang lain dari kebanyakan kita (dengan tugas- tugas tertentu). Dan masing- masing dari kita dipanggil untuk setia pada perutusan/panggilan masing-masing. (Maaf) pastor boleh wafat, tapi Kristus tetap memimpin didepan. No matter what.

Balikpapan 10 Nov 2006