Friday, November 1, 2013

context, perception, priorities and public taste

Disebuah stasiun metro di ibu kota Amerika, pada suatu pagi yang sibuk, seorang pemusik berdiri memainkan biolanya. Terhitung seribu orang lebih lalu lalang diseputarnya selama "konser"nya berlangsung. Tidak banyak orang memperhatikan, seperti sudah bisa diduga. Siapa punya waktu buat pemusik jalanan? Siapa mau berbagi recehan buat pengamen? Dan demikianlah peristiwa ini terpinggirkan dan lenyap dari ingatan, masuk dalam kategori "tidak penting" dan dilupakan.
Yang berbeda pada hari itu adalah biola yang dimainkannya bernilai sedikitnya 3.5 juta dolar, sebuah masterpiece karya Antonio Stradivari. Dan sang "pemusik jalanan" adalah virtuoso bernama Bell. "Konser" tersebut digelar sebagai eksperimen oleh The Washington Post tentang context, perception, priorities and public taste.
Jika pemusik tiba-tiba muncul saat kita berhenti dilampu merah, memainkan sebuah lagu jazz  dengan penuh kecanggihan apakah anda bisa dengan cepat mengenali bahwa sesungguhnya dia ini pemusik papan atas? Mestinya tidak. Perhentian lampu merah terhitung dalam bilangan detik, kita mungkin sedang kesal menunggu dan mana ada pemusik handal mau menyamar jadi pengamen? Konteks peristiwa menumpulkan kemampuan apresiatif kita
Kiranya Natal pun adalah sebuah pertanyaan tentang context, perception, priorities and public taste. Dalam Injil Matius (Mat 2:2-6) kita baca raja Herodes heran setengah bingung manakala ditanya: dimana Raja orang Yahudi lahir? Raja yang mana lagi ? Bagaimana mungkin dia tidak tahu ada Raja lahir ? Dari kalangan mana ? Tidak mungkin ia tidak tahu? Tidak mungkin pula Raja lahir di kota bernama Betlehem? Kota kecil yang tidak penting itu!
Bagi kita yang sudah tahu persis bahwa Sang Raja memang lahir di Betlehem mungkin yang jadi soal adalah bagaimana meletakkan peristiwa Yesus itu dalam skala prioritas hidup kita masing-masing. Apakah ia kita letakkan sebagai pusat? sebagai rutinitas mingguan (bahkan mungkin lebih jarang lagi: 2 kali setahun saja?) Sebagai apakah Ia bagi hidup kita? Sebagai teladan dan teman perjalanan? Sebagai hakim dan wasit yang tidak pernah berhenti mendelik pada kita? Sebagai ban serep yang dirindukan saat krisis?
Yang terakhir Natal adalah soal public taste. Apakah Natal kita hargai sebagai festival tahunan dimana kita menyanyikan jingle bells dan berbagi kado belaka? Atau kesempatan kontemplasi tentang solidaritas - Immanuel, Allah beserta kita?
Sebelum kita sibuk menyiapkan (liburan) Natal (dan ..ehh...pesta tahun baru), mari sejenak kita renungan dimanakah gema Natal kita dengar dalam hati kita ?

Selamat Natal 

Friday, August 2, 2013

Terima Kasih, Mauliate, Kamsia

Seorang teman mengatakan bahwa konon disurga sana kotak berisi doa ucapan "terima kasih" cukup jarang dijumpai, sementara kotak doa "permohonan" berserak-serak dimana-mana.
Sebuah satire yang menarik. Kalau mau sejenak dihitung sepertinya kita memang lebih cenderung meminta-minta ketimbang berterima kasih.

Pernah dikatakan bahwa salah satu ciri orang yang tidak mengenal Allah alias atheis adalah bahwa ybs tidak pernah berdoa meminta. Kita bisa saja berdebat soal ini, tetapi satu hal sudah jelas bahwa manakala kita meminta kita berfokus pada diri kita, kepentingan kita, kesejahteraan diri kita, kita,kita dan kita. Kita sibuk memandang pada apa yang belum ada, pada apa yang kita sangka kita perlukan.

Sementara manakala berterima kasih kita pun memang memandang kedalam tetapi memusatkan pada apa yang sudah ada, yang sudah diterima, entah apapun itu kita terima dengan syukur dan amen. Kita tidak sok tahu seolah ada yang masih kurang pada diri kita, seakan masih ada yang terlewat dianugerahkan pada kita. Saat berterima kasih kita memandang keatas dengan penuh syukur, alih-alih sibuk merengek dan ingat diri. Berterima kasih juga membuat kita ingin berbagi pada mereka yang memerlukan. Hati yang penuh syukur memandang hidup dari sisi yang berbeda, dibandingkan dengan mereka yang meratap dan memohon. Boleh ditanya apa mereka yang merasa kekurangan sedia berbagi pada sesama? Apa yang hendak dibagikan kalau kita sendiri masih merasa berkekurangan?

Sudah tentu kita memerlukan banyak hal dalam kehidupan kita. Kita perlu sandang, papan dan pangan. Tapi boleh sebentar ditanya seberapa banyakkah yang kita perlukan dalam hidup? Adakah batas keinginan? Pernahkan manusia menjadi puas? Tidakkah kita selalu ingin yang baru, yang lebih besar, lebih mewah, dsb? Jika batas keinginan adalah langit maka siang-malam kita tidak akan berhenti dalam permintaan. Lalu bagaimana dengan ajaran bahwa kita disuruh untuk meminta. Mintalah maka engkau akan diberi. Ketuklah maka pintu akan dibukakan. Kiranya yang menjadi soal bukan meminta atau tidak meminta. Namun memahami bahwa yang kita perlukan untuk hidup kiranya tidak sebanyak yang kita mintakan. Bahwa penyelenggaraan Ilahi sesungguhnya sudah cukup. Bahwa kita semua sudah dianugerahi berkah melimpah.

Dan yang juga penting adalah bahwa kita tidak sungguh tahu apa yang kita perlukan dalam hidup ini. Keperluan kita mungkin hanyalah hasrat sesaat, ikut2an mode, bahkan keinginan untuk lari dari salib hidup kita. Salib yang sesungguhnya menjadi sumber pendewasaan dan pematangan iman.
Maka lain kali naluri minta terbersit dihati boleh sebentar durenungkan sudah cukupkah kita berterima kasih? Lagipula, omong-omong sebenarnya  kita ini anak Raja atau peminta-minta?
(Kredit buat Agnes B untuk cerita tentang  kotak terima kasih disurga)

Friday, July 5, 2013

WajahNya

Kita tidak pernah tahu bagaimana wajahnya...demikian Sushaku Endo membuka novel sohornya A Life of Jesus. Ya, kita yang hidup ribuan tahun setelah Ia wafat tidak akan pernah tahu seperti apa wajah Tuhan kita. Dari penelitian ilmiah tentang kain kafan dari Turin kita bisa merekonstruksi kira-kira bagaimana wajah pria yang pernah terbungkus kain ini 
(http://www.popularmechanics.com/science/health/forensics/1282186 - misalnya). Sama sekali tidak mirip dengan wajah yang kerap kita pandang di kalendar atau poster. Yesus tidak berwajah eropa, tidak bermata biru, tidak pirang dan mungkin tidak gondrong macam rockstar.
Dalam Yoh 8:57 kita baca "Umur-Mu belum sampai lima puluh tahun dan Engkau telah melihat Abraham?", demikian dikatakan orang Yahudi pada Yesus. Konon ada tradisi yang mengatakan bahwa setelah orang berusia setengah abad ia menjadi bijak bak Abraham lantas dikatakan bahwa yang bersangkutan sudah "melihat Abraham". Apakah lantas berarti wajah Yesus seperti orang usia setengah abad? 
Maka boleh direnungkan sejenak apa kiranya yang orang alami manakala ia memandang wajh Yesus? (Kata "wajah" kita kutip dari bahasa Arab "wajh"  yang selain berarti "muka" juga bermakna kepribadian)
  
Tidak terlalu berlebihan jika Yesus kita bayangkan sebagai seorang yang berwibawa. Tidak masuk akal jika sekelompok lelaki dewasa mau meninggalkan jala dan perahu mereka dan mengikuti Dia jika penampilannya tidak meyakinkan. Dimata lawanpun Ia jelas tidak bisa dipandang enteng. Luk 4:30 menceritakan bagaimana Ia berlalu begitu saja dihadapan gerombolan yang mengancam untuk membunuhNya. 
Disisi lain - mengutip Shusaku Endo lagi - wajahNya yang kelihatan tua sebelum waktunya ini  kiranya mengisyaratkan a shadow of nameless suffering which always played accross his face, or perhaps his weary eyes reflected interior pain. Kiranya Ia yang wafat disalib untuk dosa manusia sejagat sudah mengalami tanggungan kepahitan hidup manusia diawal masa pelayananNya.
Ia mengalami bagaimana manusia menderita, putus harapan dan didera kerasnya hidup. Ada kemiskinan, sakit-penyakit, kematian dan kesepian. Ada penolakan, kekejaman dan kehampaan hidup.  Tapi Yesus kiranya bukan seorang yang sok masokis yang menekankan mati raga habis-habisan (Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum - Luk 7:34)., tetapi Ia menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung (1 Pet 2:19)
Apakah lantas Yesus seorang yang berwajah serius atau bahkan cenderung murung? Mestinya tidak demikian. Tidak bisa dipahami seorang yang murung bisa mengatakan "Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga" (Mat 6:26). Ia yang berkata demikian mestilah seorang yang penuh syukur, penuh harap dan keyakinan. Ia mampu memandang sisi terang kehidupan.
Kembali pada pertanyaan diawal tulisan ini - apakah yang berdesir dalam hati mereka yang berjumpa Yesus dalam jalan hidup mereka ? 
Cukuplah kalau kita renungkan perasaan perempuan yang nyaris tewas dirajam segerombol laki-laki yang menuduhnya sebagai penjinah. 
 + "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"
 - "Tidak ada, Tuhan."
+ "Akupun tidak menghukum engkau.Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."
(Yoh 8:10-11)
Dapatkah perempuan ini melupakan wajahNya? Mampukah ia melukiskan pengalaman perjumpaannya dengan kata-kata?

Perjumpaan mendalam dengan Yesus kiranya selalu akan mengubah hidup manusia. Bagaimana dengan kita masing-masing? Sudah pernahkah kita jumpai wajahNya dalam perjalanan hidup kita ?

Sunday, June 23, 2013

Subsidi Iman

Berita-berita perihal pengurangan subsidi BBM ditanah air mengingatkan saya pada Santo Paulus. Dalam 1 Kor  11 kita baca Paulus berkata "Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu". Lantas apa hubungannya dengan subsidi ? Konon subsidi yang bermakna "bantuan" ini berakar kata bahasa Latin: Sub + Sedere. Sub = dibelakang/dekat, Sedere = duduk, tetap pada suatu tempat, tidak bergerak. Boleh kita pahami bahwa dari satu sisi subsidi mengandaikan bahwa diperlukan bantuan supaya orang bisa tidak cuma tinggal ditempat yang sama. Tanpa subsidi orang kesulitan untuk maju, alias mandek.
Paulus mengingatkan bahwa dalam hal spiritualitas orang perlu selalu bertumbuh. Tanpa pertumbuhan kita tinggal menjadi kanak-kanak spiritual. Tidak disebutkan persis oleh Paulus apa yang dia pikirkan tentang kanak-kanak, tetapi tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa  pada umumnya kanak-kanak masih memerlukan bimbingan, dukungan, pertolongan. Pendeknya : subsidi.
Secara simbolik kita dianggap dewasa secara spiritual manakala kita menerima sakramen Krisma. Didalam sakramen Krisma, kita menerima "Kepenuhan Roh Kudus" sehingga kita dapat secara penuh dan aktif berkarya dalam Gereja seperti para rasul yang menerima Roh Kudus saat Pantekosta. Tetapi boleh kita refleksikan masing-masing sejauh mana hal ini kita wujudkan dalam praksis nyata. 
Konon ada tiga tahapan menuju tahap dewasa iman ini : Inform - Inspire - Ignite. Dalam tahap inform kita disuapi informasi, pendalaman iman, renungan, rekoleksi, dsb. Selanjutnya dalam  Inspire kita membathinkan, menginternalisasi, membuat segenap masukan tersebut menjadi bagian jati diri kita. Akhirnya kita Ignite dan menyala menjadi suluh dan asin sebagai garam. Di tahap manakah kita sekarang ini ? Apa kita masih perlu subsidi Inform? hingga kapan? apakah kita masih kanak-kanak seperti yang dikatakan Santo Paulus?
Menjadi pergumulan masing-masing dari kita untuk tumbuh dalam hal iman. Sebagian mengalami bahwa "peristiwa batas" kadang justru membuat kita keluar dari kepompong dan memasuki tahap kedewasaan. Peristiwa batas itu adalah krisis-krisis dalam kehidupan kita. Lewat krisis orang bisa mengalami bahwa pola pikir lama tidak bisa lagi ia andalkan, bahwa kita harus melangkah keluar dari comfort zone, bahwa  dibalik malam kelam ada pagi yang hangat dan menyegarkan. 
Hilangnya subsidi jelas dapat dipandang sebagai sebuah krisis, tetapi disisi lain krisis dapat dipandang sebagai sebuah tantangan dan undangan untuk melangkah dan meraih kedewasaan. 

Friday, May 17, 2013

The Unwanted One

Waktu diminta berbaris menerima penghargaan juara, Benitez masih nampak sibuk menghibur pemain-pemain Benfica yang tewas 2-1 dalam laga Piala Eropa. Tim biru dari London lebih baik satu gol dan untuk kesekian kalinya Benfica dipaksa menelan kepahitan. Ketika giliran mengangkat piala sampai padanya Benitez nampak tersenyum, Tidak terlalu nampak meledak suka-citanya dan ia seperti mengangkat piala itu untuk dirinya sendiri. Kamu bisa!  Maklumlah ia bukan pelatih favorit para boboth Chelsea yang tidak bisa lupa bagaimana Liverpool dibawah Benitez mengandaskan tim biru ini lewat gol hantu (Luis Garcia tahun 2005).
Sepanjang persinggahan tujuh bulannya di Stamford Bridge Benitez sudah kenyang dihujat, dilecehkan, tidak dianggap dan litani negatif lain yang ditimpakan pada dirinya. Ia adalah The Interim One, The Unwanted One, yang apa boleh buat menjadi pelatih Chelsea sepeninggal Di Mateo November tahun lalu. Bagi Benitez yang pengangguran Chelsea jelas adalah sebuah kesempatan membuktikan diri, sementara bagi para fans Benitez adalah skandal.
Dari sisi lain, cerita keberhasilan Benitez dan tim Chelsea meraih juara Eropa (meski tetap adalah piala kelas dua dibanding Champion League) dan tiket ke laga Champion musim depan (meski masih harus menang di laga terakhir) adalah satu cerita bahwa garis lurus bisa ditarik garis bengkok, God draws straight with crooked lines. Atau seperti bait lagu kebangsaan Liverpool yang sudah ratusan kali didengar Benitez.
At the end of the storm
There's a golden star
And the sweet silver song of a lark
Jika sesekali hidup mengambil jalur yang tidak biasa, diluar harapan, diluar sangkaan mestinya cerita itu mengajarkan bahwa lebih bijak buat tetap melangkah dan percaya bahwa diujung sana ceritanya tidak sejelek yang kita sangka. Bahkan ada orang yang sampai berkata - tidak ada kegagalan atau kepahitan, yang ada adalah pelajaran. Dan dari kepahitan kita bisa belajar banyak, lebih banyak bahkan dari keberhasilan.
Benitez mungkin tidak pernah akan mendapat tempat pertama dihati penggila Chelsea. Mungkin tidak jadi soal pula baginya. Yang jelas ia boleh meninggalkan Stamford Bridge dengan kepala tegak. Kamu bisa !  and you will never walk alone...

Sunday, April 21, 2013

Krisis Panggilan? Krisis Jawaban? atau Krisis Paradigma?

Diedaran gereja hari ini disebutkan bagaimana gereja membutuhkan Imam. Disisi dalam edaran tersebut dibahas soal krisis panggilan. Menurut penulis mungkin yang lebih tepat adalah krisis jawaban. Mungkin ini soal pemilihan kata saja - krisis panggilan mengandaikan tidak banyak pria menjadi pastor (baca: menjawab panggilan), krisis jawaban mengandaikan tidak banyak pria yang menjadi pastor (baca: menjawab panggilan). Sama saja bukan ? :)

Ditengah narasi penulis melembut nada dengan menulis bahwa panggilan tidak cuma soal menjadi pastor saja. Menikah pun adalah panggilan. Entah kenapa ia kedengaran kurang tulus bagi saya - pasalnya minggu panggilan berbareng dengan perayaan Yesus gembala. Pastor sering disebut gembala. Maka minggu ke-4 paska terasa identik dengan soal menjadi pastor (dan persis itu yang disebut dihalaman depan edaran hari ini: gereja membutuhkan imam).
Perihal krisis panggilan/jawaban penulis berkata bahwa anak muda (laki2) sekarang ini cenderung sibuk dengan urusannya sendiri-2, sehingga tidak mendengar/tidak menjawab panggilan itu. Dalam doa yang saya copas dibawah ini soalnya adalah  orang tua yang kurang mendorong
Biarlah setiap orang tua merelakan anak-anaknya
menanggapi panggilan-Mu untuk turut bekerja di ladang-Mu. 

Dari sisi sini kedua argumen luput bertanya soal paradigma dasar ini : apakah sungguh bahwa  yang diperlukan gereja adalah imam? Apakah gereja akan runtuh jika tidak ada lagi laki-laki mau hidup selibat dan menjadi imam ? Apakah ada bukti sejarah bahwa gereja pupus karena kehabisan imam?
Jika Iblis memang ada (dan ia berniat menghancurkan gereja) masakan ia luputkan strategi ini? Too obvious isn't it?

Bagaimana kalau ditawarkan paradigma baru? bahwa gereja katolik adalah kumpulan umat yang duduk sejajar, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dihadapan Yesus? Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang menjadi kepala. Tidak ada gembala tidak ada domba (after all pastor apakah seorang gembala? bukankah Yesus satu-satunya gembala?). 

Jika demikian maka fokusnya adalah pemberdayaan umat menuju gereja egalitarian. Tidak ada yang lebih penting entah ia adalah kaki atau kepala. Ingatlah Santo Paulus yang mengatakan bahwa ada banyak karuania tetapi satu tubuh, dan tidak ada yang lebih penting dari yang lain.

Dalam gereja macam ini yang ditekankan adalah penyaluran bakat dan kesetaraan peran. Memang tidak semua bisa pandai dalam banyak hal - tetapi yang tahu tentang kitab suci lebih-lebih dipanggil untuk membagikan dan yang tidak tahu tidak boleh duduk manis pasif dan ikut-ikutan belaka. Tidak ada free-rider dalam gereja macam ini

Gereja macam ini adalah kumpulan orang-2 dewasa yang sadar bahwa kita masing2 sungguh diutus (bukan cuma sembunyi dipunggung pastor). Diutus menjadi garam diladang kita masing-masing. Oleh sebab itu adalah menjadi kawajiban masing dari kita untuk meng-upgrade diri supaya kita siap sedia menjadi teman seperjalanan Yesus.

Gereja bukan baby sitter kata Paus Fransiskus. Bukan gereja nina bobo. Dimana kita boleh pasif dan merajuk serta berkeluh - aduh kita ini kekurangan laki-laki yang mau jadi pastor.
Tidak ada krisis panggilan atau jawaban. Cuma krisis paradigma biri-biri yang kekanak-kanakan.


Saturday, March 30, 2013

I will tell you how he lived.

Kalau anda pernah nonton filem Tom Cruise bertitel "The Last Samurai" mestinya anda ingat adegan dipenghujung filem waktu Cruise bersembah pada sang kaisar seraya menyerahkan pedang samurai milik mendiang Katsumoto. 

Emperor: The Samurai is gone. The spirit of samurai lives forever. Tell me how he died.
Algren: I will tell you how he lived.


Bait ini mengingatkan saya pada peristiwa Paska Yesus Kristus. Terutama kata-kata Cruise diatas.  I will tell you how he lived. Pasalnya - kesan saya (saya tidak sendirian nampaknya, baca buku "Saving Jesus from the Church: How to Stop Worshiping Christ and Start Following Jesus" besutan Robin Meyers) orang kristen cenderung terlalu menekankan pada salib, kematian, penderitaan. Syahadat Nicea -dogma iman gereja- pun melewatkan begitu saja cerita kehidupan Yesus. Yang dikenang adalah sengsara, salib, wafat dan bangkit. Apa yang terjadi sebelumnya seperti tidak terlalu penting untuk disebutkan. Rasul Paulus pun tidak banyak (tidak sama sekali?) mengutip ajaran Yesus dalam banyak suratnya. Fokusnya adalah salib, kematian, kebangkitan.

Tidak ada yang salah dalam mengenang puncak-2 peristiwa Yesus itu, tetapi Yesus bukan sekadar tampil di panggung dalam tiga hari itu saja (well, di hari kedua Ia wafat, jadi tidak nampak dipanggung). Ia berjalan, berkeliling dan berbuat baik (Kis 10:38), yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan (Luk 24: 19). Yesus sebagai guru, nabi, penyembuh adalah sungguh Ia yang hadir ditengah kita, Imanuel (Mat 1:23), seperti yang dikatakan malaikat dalam mimpi Yusuf. Ia meyentuh pendosa, wanita yang sakit pendarahan, anak-anak, orang kusta bahkan mayat, makan bersama pemungut cukai, solider pada wanita yang dikatakan penzinah. Ia menyentuh kita dari sisi kerinduan kita yang paling dalam. Sois avec moi - be with me. Hidup kadang berat dan tidak terpahami, tidak adil dan penuh onak duri. Sois avec moi Seigneur.

Di Getsemani Yesus yang tercekik kengerian salib berkata "berjaga-jaga dengan Aku" (Mat 26: 38). Be with Me. Kiranya itulah kerinduan terdalam hidup manusia. Kita masing-masing -suatu saat- menghadapi suatu kesendiran yang senyap. Disaat-saat kesendirian ini lah kita rindu akan kehadiran dan penyertaan, akan solidaritas dan bela rasa. Penderitaan atau apapun yang sedang dihadapi mungkin tidak dengan sendirinya lenyap, tetapi kita bisa lebih teduh menghadapinya

Paska -kata Paus Fransikus- adalah suatu kebaruan yang Tuhan hadirkan dalam hidup kita. Yesus yang kemarin berdarah-darah, berteriak-teriak dan wafat kini sudah hidup baru. Kiranya tanpa Paska kristianitas tidak pernah ada. KematianNya mungkin heroik, dramatik dan traumatik (karena dosaku yang Ia tanggung), tetapi mungkin kita perlu lebih banyak bicarakan tentang bagaimana Ia hidup dulu (sebelum Kalvari) dan kini (setelah Paska). Karena bukankah kita adalah "saksi dari segala sesuatu yang diperbuatNya" (Kis 10:39)

Selamat Paska

Tuesday, March 26, 2013

Kereta Malam Dari Vatikan

Kiranya bagi sebagian orang konklaf alias pemilihan Paus itu macam menunggu datangnya kereta malam tak berjendela yang setelah melaju tidak tahu kapan akan berhenti atau mau langsir dimana. Sekali "Habemus Papam" dikumandangkan orang-orang ini lantas sibuk menganalisa, hendak kemana kereta akan melaju, apakah lewat jalur selatan atau utara? lewat lembah atau bukit?

Maklumlah lokomotif kepausan ini menarik gerbong yang dimuati 1.2 miliar umat dengan segenap permasalahannya. Roma locuta, causa finita. Roma bicara habis perkara. Paus dalam kapasitas ex cathedranya tidak mungkin salah (infalibel). Apakah Paus baru akan mengambil keputusan atas polemik dan kontraversi macam pernikahan sesama jenis, kontrasepsi dan hal pelecehan seksual? Atau Ia ,alih-alih, menjaga benteng idealis konservatif ?

Maka sebagian orang sibuk mereka-reka dan menebak-terka - dari warna sepatu, pilihan desain cincin kepausan dan salib, pilihan nama. Digali juga foto-foto lama, girl-friend masa kecil, kebiasaan naik kendaraan umum, menjinjing tas nya sendiri, membayar kamar hotelnya sendiri, dsb. The future is not ours to see, tetapi orang tokh tak sabar mencari isyarat - hendak kemana lokomotif ini hendak melaju?

Siapa menarik kereta bermuatan 1.2 miliar umat manusia tentu tidak bisa gegabah, grusa-grusu, sekadar mau beda apalagi ikut-ikutan mode. Apalagi ini soal hidup sesudah kehidupan ini. Soal keselamatan. Soal Surga dan Neraka. Lagipula ia mendapat mandat dari Sang Penyelamat sendiri. Tentu tidak main-main. Maka tidak heran kalau ada kesan lamban. Konsili Ekumenis terakhir kali digelar hampir 50 tahun yang lalu (dan yang sebelumnya hampir 100 tahun sebelumnya). Kalau dibandingkan produk teknologi- dalam 50 tahun komputer sudah diringkas dari mainframe sebesar kamar kontrakan menjadi setipis buku tulis.

Disisi lain yang disebut sebagai karya Roh Kudus memang tidak terduga-duga. Waktu alm. Angelo Giuseppe Roncalli terpilih sebagai Yohanes ke-23 (1881-1963) diusianya yang ke 77 (persis seusia Paus Fransiskus yang incumbent) banyak orang memandang bahwa jabatannya sekadar untuk menghangatkan kursi bagi Giovanni Battista Enrico Antonio Maria Montini (alias Paulus VI) belaka. Namun siapa nyana Yohanes ke-23 ini mencetuskan untuk membuka jendela gereja dan membersih atap bumbungan lewat Konsili Vatikan ke2. Aggiornamento (bringing up to date)! katanya

Namun akhirnya mayoritas 1.2 miliar umat boleh merayakan hari-hari triduum dengan khusuk. Habemus Papam. Business as usual bukan? Mungkin tidak. Kiranya kita tidak boleh lalai untuk tetap menjaga semangat Yohanes ke-23 nun setengah abad yang lalu. Gereja itu bagai bahtera yang mengarungi zaman. Hidupnya penuh tantangan, penuh perjuangan. Zaman yang menantang kita setiap kali menjadi tetap baru namun sekaligus setia pada arah yang sudah dua ribu tahun jadi pedoman

Habemus Papam !