Monday, September 20, 2010

Guncangan Gereja Katolik Belgia

Dalam artikel ini http://www.nytimes.com/2010/09/20/world/europe/20belgium.html?scp=5&sq=belgium%20church&st=cse dibahas mengenai keadaan gereja katolik di Belgia. Konon disana gereja katolik terguncang hebat oleh skandal pelecehan seksual (statistik: lebih dari 400 korban dan lebih dari 10 korban bunuh diri). Sehubungan dengan skandal ini ratusan umat minta untuk "debaptized"mungkin analog dengan mengundurkan diri dari gereja (CMIIW setahu saya sakramen adalah menetap - orang bisa cerai secara sipil tetapi dimata gereja sakramen pernikahannya belum batal dengan cara itu)

Cukup menarik bahwa di Belgia negara menyokong gereja katolik secara finansial (lebih dari 300juta USD / tahun). Seorang uskup mendapat tunjangan 9ribu USD/bulan.

Thursday, September 16, 2010

Yang masih perlu kita temukan

Konon dipuncak salib Allah diam. Teriakan Yesus disambut dengan diamNya Dia. Tetapi apa pula yang hendak Yesus harapkan ? Apakah Dia berharap Allah akan mengirimkan pasukan bala tentara surga? Mestinya tidak - dan Ia mestinya sudah tahu waktu semalam-malam berdoa di taman Zaitun. Hari ini Dia akan mati - Dia harus mati hari ini.
Waktu kita ujian kita tidak boleh berharap bantuan dari guru kita , atau teman-teman, apa lagi contekan. Kita kan sedang diuji - masak mau nyontek atau dibisiki? Jadi lulusan macam apa kita kalau kita berhasil lantaran curang ?
Mungkin ini analog dengan puncak salib Golgota. Dan mungkin Yesus pun sudah tahu bahwa Ia tidak mungkin minta bantuan Allah supaya penyalibannya dibatalkan. Mungkin Ia berteriak karena soal lain ? Kita hanya bisa berspekulasi saja akhirnya. Apa Ia kesepian ? atau simply kesakitan ? atau tiba-tiba mengalami bahwa yang selama ini Ia sangka ternyata salah semua - dengan kata lain : Ia mengalami pencerahan!
Imagine engkau Anak Sulung Allah - what more would you need to know ? Mungkin Yesus tidak menyangka ada lagi yang Ia perlu pahami tentang Allah. Ia tahu semua bukan ? 
Well, mungkin tidak juga. Ibarat ujian, ada satu hal yang perlu Ia pelajari dan tidak ada jalan lain mendapatkan pelajaran itu selain dengan dipancang di puncak salib. Kita tidak pernah tahu apa persisnya pelajaran itu tetapi mestinya Yesus mendapatkan pencerahan itu. Salah satu injil menulis bahwa Ia menyerahkan nyawaNya ketangan BapaNya - tidak ada lagi konflik dan kebingungan (ditaman Zaitun au contraire kita lihat bagaimana gundahnya Yesus)
Yesus yang bangkit tidak cerita secara detail apa pencerahan yang Ia dapatkan dipuncak salib. Mungkin karena masing-masing dari kita harus belajar sendiri dan menemukan pencerahan kita. Kata de Mello SJ - kita harus mengupas dan makan mangga untuk mengalami mangga - tidak mungkin kita diberitahu seperti apa mangga itu lewat ceramah. Demikianpun pencerahan kita masing-masing. Maka sia-sia mencari tahu pencerahan apa yang Yesus alami dipuncak salib. Kita masing-masing harus temukan bagi kita sendiri.

Wednesday, August 11, 2010

sebentuk kemalasan yang kudus ...

Apa benar bahwa di kalangan umat K ada kegelisahan akan legalitas kelompok jika tidak ada "gembala" alias pastor.Tanpa pastor maka kelompok cenderung liar dan ilegal. Mestinya kecenderungan yang baik mengingat orang bisa sesat atau paling sedikit sibuta menuntut sibuta yang lain (dari gua hantu pula). Disisi lain tengoklah buku-buku terbitan Kanisius -kalau bicara soal iman pasti tercantum imprimatur (= boleh dicetak) dan nihil obstat (=tidak ada yang bertentangan dengan ajaran resmi) - coba bandingkan dengan buku2 terbitan BPK Gunung Mulia - meski soal iman, tidak kita jumpai "perizinan" macam ini. Maklumlah bunda gereja adalah mater et magistra (ibu dan guru) - mater et magistra mana yang membiarkan anak-anaknya kelayapan ndak jelas - amit-amit !
Dan lihatlah anak-anak Katolik yang manis tumbuh menjadi dewasa-dewasa yang manis - duduk tenang menanti...pastor. Tanpa pastor dewasa-dewasa ini ibarat lumpuh - takut salah, takut sesat dan segenap inisiatif dibuang jauh-jauh. Siapakah saya ini ? saya kan cuma awam, awam kan cuma semacam kasta pariah yang cuma trimo digembalakan saja - nderek rama kemana dia pergi.
Bagi saya kepatuhan macam ini kok pathetic ya. Kepatuhan yang melumpuhkan seperti ini kok terdengar macam orang yang menguburkan talentanya - karena takut dimarahi. Patuh is one thing tetapi tetap ingat bahwa kita bukan biri-biri yang lantas tidak tahu hendak kemana merumput. 
Saya jadi ingat orang yang kena bencana banjir - setelah hujan tiga hari dan tiga malam air mencapai bumbungan dan orang yang saleh ini berdoa rosario 3 salam maria. Selesai  doa yang pertama datang rakit - tetapi dia menolak: oh saya sudah berdoa dan Allah akan menolong saya. Selesai putaran ke-2 datang speed boat yang ditolak mentah2 pula dengan dalih yang sama. Diputaran ke-3 dia harus berdoa sambil teriak2 karena ad helikopter yang datang. Dia tetap menolak sampai akhirnya mati tenggelam. Disurga (so pasti masuk surga lah) da bertanya : Gusti mengapa Paduka tidak datang menolong. Dijawab: mau apa lagi engkau, aku sudah datang tiga kali.
Tentu saja cerita ini konyol - tetapi boleh sebentar kita tanya: apa sindrom legalitas yang berlebihan itu layak ? Bukankah dalam komunitas kita jumpai sesama kaum beriman yang secara bersama-2 kita percaya adalah gereja? Bukankah ada diterbitkan ratusan buku2 iman ? Yang terakhir bukankah dikatakan : jika ada kumpul2 demi namaNya maka Dia akan ikutan ?
 
Jangan2 sindrom legalitas adalah sebentuk kemalasan yang kudus ...

Saturday, June 12, 2010

Iman dewasa : sebuah pertanyaan

Konon St Paulus pernah berkata bahwa waktu kita bayi kita berkata-kata seperti bayi dan setelah dewasa kita berlaku sebagaimana orang dewasa pula. Mestinya sebuah kutipan yang bagus untuk topik buku (atau apapun ini nanti jadinya) ini. Iman dewasa itu yang seperti  apa ?
Belakangan ini saya macam dibangunkan dari tidur yang lelap oleh Dawkins. Buku populernya "The God Delusion" membuat saya bercermin dan bertanya: iman seperti apakah yang sebenarnya saya miliki? Iman itu apa ? Mengapa saya beriman ? Buku Nassim Nicholas Taleb yang berjudul "The Black Swan" mengajak saya untuk curiga - jangan-jangan iman adalah sebentuk pembenaran belaka. Bukankah iman itu tidak lain sebuah Narrative Fallacy yang dengan pandai mencocok-cocokan peristiwa dengan skema yang kita ingin percaya. Kita petik sana-sini sehingga cerita menjadi lingkaran yang lengkap. Mosaik yang membuat bentuk jadi amorf kita pinggirkan dan dengan khusyuk kita tenggelamkan diri dalam narasi yang menenangkan hati. Siapa yang mampu bertahan menghadapi semesta yang random dan tanpa pola?
Iman memampukan kita untuk menatap hari esok dengan lebih optimis - karena somehow everything will be okay, esok akan lebih baik, karena kita sedang dalam perjalanan menuju taman sari yang indah, penuh bunga dan kesejukan. Siapa yang tidak mau kedamaian ? Siapa yang betah tinggal dalam derau yang menyesakkan jiwa?
Persis dititik sini saya berontak. Saya bertanya : apakah sungguh hidup itu harus ada maknanya ? Bagaimana kalau hidup ini tidak ada maknanya ? Kita simply lahir, besar, ber-reproduksi dan meluruh? Tidakkah ini cukup untuk membuat kita melangkah setiap hari ? Atau kita memerlukan dendang yang lebih merdu untuk mengerjakan sawah dengan lebih giat ?
Saya lalu bertanya pada Sang Budha yang konon tidak merepotkan dengan Tuhan. Saya berbincang dengan kaum Atheist yang mungkin sinis macam Dawkins, Harris (The End of Faith) atau yang simpatik macam Comte-Sponville (The Little Book of Atheist Spirituality). Saya membaca Erhman (Misquoting Jesus) dan bertanya: mana yang lebih dulu ada Kitab Suci atau Narasi ?
Pertanyaan saya jadi macam pusaran puting beliung yang makin melebar dan menghisap apa saja yang ia lalui. Saya tidak bisa lagi kembali pada masa "lelap" saya dengan Hore-luya dan tepuk tangan (no offense). Apa boleh buat pertanyaan itu sudah menempati sebagian besar ruang benak saya (maka benarlah pepatah: ignorance is a bliss - omong kosong dengan Sokrates yang berkata : The unquestioned life is not worth living - too much questioning is a darn hard work).
Saya jadi memandang segenap ritus, doa, lagu, dupa dan bahasa gerak dengan mata yang berbeda. Tidakkah kita hanya sedang mendendangkan nina bobo kita sendiri ? Tidak kah ini semacam peniduran kesadaran secara kolektif?
Orang suka berbagi cerita (entah gossip atau fakta), tetapi belum saya dengar orang berbagi tanya. Bagaimana mungkin pertanyaan hendak dibagikan? Bukankah kita akan nampak bodoh ? atau paling sedikit kelihatan macam mahasiswa yang pandai demonstrasi tanpa bisa memberi solusi (dan belakangan setelah menjabat malah korupsi pula). Jadi saya cenderung diam saja (well kecuali diforum ini)
Saya tidak hendak mengajak keluarga saya "pindah iman" atau membujuk anak-anak saya untuk melihat dari sisi lain ini. Saya jadi ingat Comte-Sponville yang menulis: seorang ayah -ditengah santap malam bersama- berkata pada keluarganya bahwa ia telah menjadi Atheist namun demikian ia tetap mencintai mereka semua seperti selama ini ia lakukan. Menjadi atheist atau sibuk bertanya tentang Iman kira saya adalah perjalanan pribadi saya. Kegelisahan dan gumam pribadi belaka.
Jadi apa itu Iman dewasa?Apakah Iman yang sibuk bertanya (dan malah men-dekonstruksi diri sendiri?) atau soalan makin hafal kitab suci, makin banyak berdoa dan beramal? Saya tidak tahu pula apa jawabnya. Saya ini tengah bertanya.
Mungkin saya ini tengah berada dalam terowongan gelap dan mungkin diseberang sana saya akan memahami yang sungguh apa itu iman dewasa.

Thursday, June 3, 2010

too much ego, too much narcissism

Ada teguran Andre Comte-Sponville yang mungkin perlu disimak kaum beragama. Kok kaum beragama ? demikianlah Comte-Sponville ini adalah seorang atheis, Dia bilang doa orang beragama itu kerap "...too much ego, too much narcissism..."

Mungkin dia ada benarnya juga. Kerap doa adalah litani permintaan - minta sana, minta sini, panjang lebar, komprehensif. Sebuah monolog yang entah mekanistis (rapalan doa hafalan yang sudah diulang-ulang ribuan kali), atau kalaupun spontan tokh mengikuti pola tertentu (apalagi kalau dideklarasikan didepan publik dalam persekutuan doa). In any case, pusat monolog kita adalah kerap kali : diriku, keselamatanku, kesehatanku, aku, keluargaku, anak-ku, isteri-ku, ku ku ku ...narsis ? mungkin tidak sengaja (tapi narsis kan? ah tidak...tapi memang narsis ya ?....)

Demikianlah: pusat semesta adalah diri kita. Maka kita berdoa untuk diri kita. Bukan hanya berdoa - persisnya meminta. Tidak ada yang lebih dekat dengan hati kita daripada diri kita sendiri. Normal bukan ? Siapa yang mau celaka ? Siapa yang mau kena malapetaka? Sudah tentu tidak ada. Tetapi apakah ini soal celaka dan malapetaka ?

Kiranya kritik Comte-Sponville lebih kearah sikap hati kita. Kita ulang kritiknya : doa orang beragama itu kerap "...too much ego, too much narcissism..." Dengan kata lain - kita mungkin luput dari esensi utama doa itu sendiri.

Apa itu esensi doa ? Mari mengutip lagi, kali ini dari Ghandi:  “Prayer is not asking. It is a longing of the soul. It is daily admission of one's weakness. It is better in prayer to have a heart without words than words without a heart.” Menurut Ghandi doa adalah kerinduan. Arahnya bukan pada diriku tetapi pada Dia. Bukan soal kata-kata (polusi kata-kata), tetapi soal hati.

Bicara soal hati - mungkin bisa dibayangkan sekejap bagaimana -dipuncak asmara- dua sejoli sudah puas berjalan berdua bergandeng tangan ditengah hujan rintik-rintik...dua hati berpaut dalam diam. Kata-kata tidak diperlukan lagi, apalagi deklamasi meriah.

Mungkin bisa dicoba, lain kali berdoa tidak karena kebiasaan, atau suruhan. Tetapi karena dorongan hati. Dan hening saja dalam doamu. Tidak perlu lagi kata-kata. Hadir saja. Resapi dan alami kehadiran mu itu. Disini dan kini

Friday, April 2, 2010

Tanpa rasa bersalah

Mel Gibson sudah menyumbangkan sebuah tradisi baru : nonton DVD Passion menjelang jumat agung. Tidak ada yang salah disana kecuali bahwa Passion menurut Mel adalah sebuah peristiwa yang kelewat berdarah. Nyaris sepanjang film kita disuguhi satu menu saja - darah. Bagi saya Mel seperti hendak menekankan betapa dahsyatnya penderitaan manusia Yesus. Memang demikianlah konteks Perjanjian Baru - hamba Allah yang menderita, yang mengosongkan diri demi menyelamatkan manusia. Tidak ada yang baru disana. Begitulah dua ribu tahun isi iman kristen.
Yang menjadi produk ikutan -bagi saya- perlu sebentar dicermati. Yesus yang memanggul salib jelas menderita. Tetapi bukankah itu misi yang Ia emban? Tidak ada jalan lain selain lewat salib. Ibarat operasi usus buntu. Tidak ada jalan lain selain bius total dan membelah perut. Mungkin saya terdengar mengecilkan makna pengorbanan Yesus, tetapi dalam skala besar memang demikianlah rencana penyelamatan Allah sejak semula bukan?
Hal lain adalah orang bisa lupa sebentar bahwa yang pernah disalib bukan cuma Yesus. Bersama Dia ada dua orang lain yang sama-sama disalib. Salib bukan diciptakan untuk Yesus secara khusus. Itu adalah hukuman gaya Romawi (yang konon dipinjam dari budaya lain juga) bagi kriminil. Yesus bukan yang pertama atau yang terakhir yang disalib.
Alhasil yang mungkin jadi perkara adalah bahwa Allah mau menderita lewat salib. Itu yang istimewa. Dan bersama ini bisa tumbuh rasa bersalah yang dalam. Oh dosa saya demikian besar sehingga Ia harus mati. Kalau berhenti disitu saya pikir kristianitas jadi rada tidak sehat. Rasa bersalah bisa jadi belenggu yang mematikan.
Kira saya lebih positip kalau orang -alih-alih tenggelam dalam rasa bersalah - memusatkan pada hal ini: kita yang diperdamaikan dengan Allah mesti berbuat apa ? Dengan kata lain - apa yang hendak dibuat setelah urusan dosa beres? Sepertinya hal ini tidak banyak dibahas. Karena orang sibuk mengenangkan penderitaan salib (plus rasa bersalah ikutannya). Rasa bersalah tidak selalu jelek. Rasa bersalah mencegah kita untuk mengulang perbuatan yang jelek. Tetapi kalau kebabablasan bisa-bisa kita malah tidak mau berbuat apa-apa : karena takut salah.
Tetapi saya bertanya: agama yang tanpa rasa bersalah (yang tidak proporsional), tanpa neraka dan tanpa dosa apa mungkin? Saya kira hal ini mungkin saja. Alih-alih memukul diri karena rasa bersalah orang bisa merayakan betapa berharganya kita ini - betapa kita sudah diselamatkan - betapa indahnya hidup - betapa besarnya peluang untuk menuju sesuatu yang lebih baik. 
Bagi saya ini kok lebih 'waras'


Thursday, April 1, 2010

P.U.S.H

PUSH disini adalah kependekan dari Pray Until Something Happen. Singkatan yang cukup cerdik - tetapi apa doa itu macam unjuk rasa mogok makan sampai petisi kita dikabulkan? Bagi saya PUSH ini rada ganjil lantaran Allah diminta untuk mempertimbangkan kembali apa yang Dia sudah putuskan. Mari kita beri contoh kasus: katakan seseorang berdoa minta kesembuhan. Jika Allah tidak menghendaki ia sakit maka ia tidak akan sakit, bahwa ia sakit sudah tentu dalam sepengetahuan Allah (bandingkan kisah Ayub dalam perjanjian lama). Petisi untuk disembuhkan mengandaikan kita (a) tidak tahan menderita (b) tidak sepakat dengan apa yang sudah terjadi i.e. diketahui (dan diizinkan to some extent) Allah. Allah yang maha mengetahui. Rada problematik.

IMHO kalaupun PUSH hendak dijalankan maka yang perlu disadari adalah yang terutama diharapkan untuk 'happen' adalah perubahan diri sendiri. Contohnya Yesus di Getsemani berdoa semalaman. Dia minta diluputkan -kalau boleh. Hal 'kalau boleh' ini mungkin luput ditangkap nuansa dalam konsep PUSH ini.

Akhirnya the future is not ours to see. Yang empunya panggung bukan kita. Bukan kita yang membagi kartu - apa yang sudah ditangan mari kita mainkan sebaik-baiknya. Kalau boleh tukar kartu, tetapi alih-alih berpeluh dan mati-raga meminta ini mengapa tidak belajar seperti Yesus: bukan kehendakKU. KehendakMU jadilah.

Maka PUSH tadi sebenarnya lebih mirip sebuah perjalan bathin menemukan diri sendiri ditengah dunia yang tidak selalu sesuai dengan apa yang kita mau. Menghadapi dunia macam ini kita perlu belajar mengerti dan menerima.

Lalu apakah perlu berdoa kalau akhirnya tidak meminta? Jika doa diidentikan dengan minta maka Allah terancam dipandang tidak becus membagi berkat. Masak saya diberi 1 talenta ? Padahal 1 talenta lebih bagus dari kosong melompong. Dan ini jelas perlakuan tidak adil pada Allah. Kita lewatkan begitu saja semua berkat dan ingin yang tidak kita punya

Kembali -dari sisi sini- kira saya doa mestinya lebih dipandang macam penyadaran diri akan segenap anugerah, melihat lebih dalam lagi siapa kita dan siapa Dia. Dalam konteks ini doa yang cuma minta bisa terasa amat dangkal dan kurang sopan. Bagaimana kita berhak meminta jika yang sudah diberikan tidak dihargai - dan berapa kita mau hargai segunung berkatyang kita sudah terima ini? Mungkin tidak selesai kita hitung - kok mau minta lagi ?

Tuesday, March 23, 2010

konotasi generalisasi

Mendengar kata 'bujangan' ada kecenderungan yang teringiang adalah lagu ciptaan Muri (drummer koes plus). Katanya :

Begini nasib jadi bujangan
Ke mana mana asalkan suka
Tiada orang yang melarang

Hati senang walaupun tak punya uang
Hati senang walaupun tak punya uang

Apa susahnya hidup bujangan
Setiap hari hanya bernyanyi
Tak pernah hatinya bersedih 


Sudah tentu yang menulis lirik lagu ini punya gambaran tertentu tentang bujangan. Padahal semua pastor, kardinal dan Paus sendiri adalah bujangan juga (kaul selibat). Tetapi mana kita bayangkan Paus "Setiap hari hanya bernyanyi" seperti bujangan yang dibayangkan Muri.

Kiranya yang kita amati adalah sebuah fenomena generalisasi. Rata-rata bujangan yang lumrah ya berbentuk seorang pemuda hijau yang tidak punya uang meski bebas kemana saja sambil bernyanyi.

Wahai tetapi apakah rata-rata itu ? 'Rata-rata' selalu adalah fungsi dari semesta pembicaraan. Rata-rata orang di desa cuma lulusan SMA - tetapi generalisasi 'rata-rata' ini tidak selalu valid kalau dilepas dari konteks semesta pembicaraan. Kiranya konteks cerita kerap dilewatkan saja, dan perhatian lebih sering diarahkan pada detail. Padahal tanpa konteks detail bisa menyesatkan

Kesesatan yang lebih parah bisa terjadi kalau "konotasi" dibiarkan liar kemana-mana. Konotasi kita maknai disini sebagai  subjective cultural and/or emotional coloration in addition to the explicit or denotative meaning of any specific word or phrase in a language, i.e. emotional association with a word. Cukuplah dari sini kita lihat bahwa konotasi memerlukan pemahamanan akan konteks semesta pembicaraan. Tanpa konteks generalisasi yang konotatif bisa menyesatkan.

Friday, February 12, 2010

the lunacy of confirmation bias

Judul diatas saya pinjam dari buku G Marcus berjudul Kluge (buku yang cakep dan mengasikan). Konon terjemahan bebasnya adalah : kita yakin kita ini selalu benar atau paling sedikit tidak salah. Buruk muka cermin dibelah, begitulah kurang lebih. Hal ini dikatakan Marcus sebuah ke-edanan karena dunia bukan selalu seperti yang kita sangka dan intrumen yang kita miliki kerap tidak cukup untuk membuat kita terbang lurus. Demi menjaga keyakinan bahwa diri kita ini benar kita menutup mata dan akibatnya mungkin saja fatal.
Ilustrasi yang bagus tentang hal ini saya temukan dalam buku M Gladwell  (yang tidak kalah ganteng dan asoy-nya). Gladwell cerita bagaimana Kennedy yang terbang malam hari tidak sadar bahwa pesawat yang ia kendalikan sedang terbang memuntir menukik menuju laut dan kematian. Kennedy merasa bahwa ia sedang terbang horisontal menuju tujuan. Ia benar dan kenyataan itu soal lain.
Kita ini apa hidup didunia nyata atau awang-awang khayal ciptaan imajinasi ? Mungkin kita tidak pernah tahu. Mengapa ? karena kita bukan pengindra yang obyektif. Satu menit itu lama kalau kita terbakar api, tetapi sekejap kalau sedang jumpa kekasih. Satu menit tetap 60 detik, tetapi 60 detik tidak berarti apa-apa tanpa konteks. Dan kita adalah makhluk yang selalu memerlukan konteks. Tanpa konteks kita gelisah. 
Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud konteks ? Bisa apa saja - namun kerap kali kita meminjam konteks dari orang lain, dari komunitas, dari agama. Akal sehat mungkin bicara mungkin tidak - tetapi jarang kita berani mencipta konteks sendiri (kita terancam dibilang gila).
In any case, sekali kita anut konteks itu kita 'jatuh' pada ke-edan-an yang disebut Marcus tadi: bahwa konteks kita itu selalu benar, atau paling sedikit tidak salah. Tanpa identitas ini kita nyaris tidak kuasa untuk hidup tenang, ibarat tidak punya tempat berpijak.
Omong-omong apa yang salah dari kelekatan pada 'identitas' ini? Tidak banyak, mungkin satu saja: kurasa ke-edan-an muncul kalau kita lupa bahwa 'konteks' yang kita anut tadi adalah juga sekadar konteks belaka - sesekali perlu diuji dan diukur kebenarannya dengan obyektif - dimurnikan dan ditala ulang. 
Tanpa itu kita seperti Kennedy yang terbang menukik tanpa sadar. Seperti bermain gitar sumbang. Seperti edan.

Thursday, February 11, 2010

Let It Be… Naked

Menurut blog ini the Beatles menciptakan hit "Let it be" dengan inspirasi dari Injil Luk. Sementara link lain bercerita bahwa Mother Mary dalam bait lagu itu sama sekali tidak mengacu pada Bunda Maria dalam gereja Katolik, melainkan ibunda Paul McCartney sang pencipta lagu. Demikianlah - kita melihat apa yang kita ingin lihat - forget about the 'truth'.

Lihat batang pohon disebelah ini - sebagian orang melihat 'Bunda Maria' disana - sehingga mereka memandang benda ini sebagai sesuatu yang istimewa. What about the 'truth' ? jawabnya : “It’s doing no harm and it’s bringing people together from young and old to black and white, Protestant and Catholic, to say a few prayers, so what’s wrong with that? There’s enough violence and intolerance going on in the world,”

Konon evolusi membuat kita cenderung melihat apa yang ingin kita lihat - lebih baik kadang salah lihat tetapi selamat - misal- seonggok batu mirip macan membuat leluhur kita lari terbirit-birit. Ia selamat, tentu saja - lha wong cuma batu - karena ia lari, meski salah lihat. Tetapi kalau ternyata ia benar dan itu macan, maka ia gagal mewariskan gennya dan keturunannya tidak mewarisi bumi.
Yang mewarisi bumi ini adalah orang-orang yang punya kecenderungan salah lihat (asal selamat). Dan kecenderungan ini inherent dalam otak kita. Kalau dikaitkan dengan agama (dimana orang tidak terlalu di encourage untuk bertanya, tetapi untuk mengimani dan mengamini - banyak tanya mah pamali) kecenderungan ini bisa-bisa kebabablasan. Lagi pula fokus agama adalah yang tidak nampak - jelas-2 bukan hal yang mudah dan gamblang.

Menyambung cerita diatas pastor setempat berkata “While we do not wish in any way to detract from devotion to Our Lady, we would also wish to avoid anything which might lead to superstition,” Tetapi bisa terjadi klenik menurut kita adalah agama bagi orang lain. Coba simak cerita tentang Cargo Cult. Di kawasan lautan pasifik dijumpai kepercayaan orang-orang asli bahwa mereka bisa mendapatkan "..the material wealth (the "cargo") of the advanced culture through magic and religious rituals and practices, believing that the wealth was intended for them by their deities and ancestors. ...". Mereka melihat orang-orang bule menikmati benda-benda modern dan lantas mereka percaya bahwa lewat ritus religius mereka bisa mendapatkan hal yang sama. Lalu mereka membuat landasan pesawat, membuat tower dari bambu, membuat tiruan pesawat supaya para dewa mengirim 'cargo' seperti yang diterima orang-orang bule ini. Tahayul ? mungkin demikian kata kita, tetapi mereka sungguh beriman pada agama mereka. Jangan-jangan agamaku juga tahayul (atau pernah merupakan tahayul) bagi orang lain

Who knows ? Kita mungkin tidak pernah bisa melihat segala sesuatu seperti apa adanya, Naked. Maklumlah survival kita -konon- dipengaruhi kemampuan kita melihat apa yang kita ingin lihat.



Tuesday, February 2, 2010

tiger in the rain

kita simak sekejap larik tembang Michael Franks

Tiger In The Rain :
Most of the time
He's the lord of the jungle
Everyone grins while he gripes
Usually he's found just
Lounging around in his stripes

His tiger lady's
A superfine feline
Just what his highness deserves
A sweet purring pussycat
Proud of her pussycat curves

He's a tiger in the rain
It's the thunder and lightnin'
He can't explain
A tiger in the rain
Who's frightened

Caught in the storm he came
Searching for shelter
Right up to me and my spouse
Both stroked his chin and
Invited him into the house

He's a tiger in the rain
It's the thunder and lightnin'
He can't explain
A tiger in the rain
Who's frightened

He's a tiger in the rain
It's the thunder and lightnin'
He can't explain
A tiger in the rain
Who's frightened 


Tentu saja kita bicara tentang Tiger Woods. Menurut BBC Woods disarankan untuk pindah agama. Kenapa pindah ? karena agama yang ia konon anut tidak menawarkan fasilitas yang dimiliki agama lain. Kata orang : 
"I don't think that faith offers the kind of forgiveness and redemption that is offered by the Christian faith."

Rasa bersalah -seperti yang dialami Woods- konon adalah hal yang demikian mendasar. Ada yang menerangkan ini sebagai warisan kisah di taman eden (mitos?). Apapun asalnya dari segi pandang Darwinian, rasa bersalah tentu ada gunanya sedemikian sehingga ia diwariskan (genetik? atau kultural?). Rasa bersalah membuat orang menavigasi diri kearah yang -well- positif. 

Yang terlalu gemuk mungkin punya rasa bersalah kalau makan terlalu banyak, yang ingin berhenti merokok mungkin dicekam tekanan kalau curi2 merokok. In any case, rasa bersalah bisa digunakan sebagai mekanisme koreksi.

Dari sisi lain, rasa bersalah mengandaikan keinginan untuk berdamai atau didamaikan atau dimaafkan. Siapa yang bisa memberi maaf? siapa yang mau berdamai kembali? Yang ini rada rumit, karena manusia mungkin sulit memberi maaf, mungkin karena kelewat benci, simply tidak mungkin (misal : pihak terkait keburu meninggal dunia) atau hampir tidak mungkin (misal:  anak2 kecil yang rusak masa depannya). Sorry doesn't make it anymore.

Hal ini lah yang didaku dalam statemen diatas (the kind of forgiveness and redemption that is offered by the Christian faith). Disini tidak hendak diiklankan isi iman kristen tetapi inheren dalam teologi kristen adalah konsep dosa. Tanpa konsep ini tentu teologi kristen tidak 'valid' lagi. Agama yang konon sekarang diimani Woods tidak kenal konsep dosa, maka Woods tidak perlu dihantui rasa itu, alih-alih ia perlu sadar bahwa yang ia kerjakan (skandal) adalah hal yang jelek dan tidak lain dari menambahkan lapisan penderitaan.

Woods konon sedang mencari bantuan dalam kasus kecanduannya ini. Ia tidak nampak lagi seperkasa dulu. Ia mirip kucing yang kecemplung got.

He's a tiger in the rain
It's the thunder and lightnin'
He can't explain
A tiger in the rain
Who's frightened