Thursday, September 24, 2009

It punches us straight in our optimism

Skandal ‘crashgate’ Renault menambah daftar panjang kecurangan dalam dunia olah-raga. Kata majalah Time kecurangan macam itu menohok optimisme kita. Pertandingan olah-raga adalah semacam pementasan dambaan manusia untuk melebihi batas-batas alaminya. Citius-Altius-Fortius yang jadi semboyan olimpiade menunjukan kerinduan ini.

Sudah tentu didalamnya ada asumsi bahwa kemenangan dicapai dengan upaya yang jujur. Karena apa maknanya jika kemenangan (atau progress) diraih dengan cara yang kotor ? Apa artinya memenangi lomba lari sprint jika engkau memakai sepatu roda berpropeler roket?

Sayang dunia olah-raga modern berkait erat dengan uang (dan politik) dan tujuan jadi menghalalkan cara. Maradona menggunakan tangannya (dan malah menyebutnya sebagai “tangan Tuhan”) manakala Argentina menyingkirkan Inggris dipiala dunia Mexico tahun 1986 (Argentina memenangi Piala Dunia tahun itu). Apakah Maradona lantas tidak bisa tidur karena telah berbuat tidak jujur ? Sebaliknya – katanya hal ini adalah pembalasan perbuatan Inggris di Falkland/Malvinas: “This was revenge..”

Apa boleh buat uang (dan politik) tidak mengenal “moral” – Pecunia non olet, kata orang. Uang tidak berbau. Uang dari hasil penjualan barang busuk sama harum dengan uang hasil kerja keras. Maka persekutuan antara olah-raga dengan uang memang rawan penyelewengan.

Disisi lain, olah raga amatir (yang by definition nir laba) kalah diminati akibat kalah kualitas dengan yang professional. Olah-raga professional (baca : uang) jelas lebih menarik atlet berkualitas. Siapa yang punya kesempatan berlatih keras kalau juga masih harus mencari nafkah hidup sehari-hari ? Nyaris tidak mungkin.

Maka olah-raga professional –apa boleh buat- memang tidak 100% fair, dan memang tidak mungkin juga. Manusia bisa salah (misal : wasit tidak melihat kecurangan Maradona dan sepakbola tidak mengenal video instant replay) dan lebih-lebih manusia bisa curang. Maka, kembali ke topik awal soal optimisme dan keinginan manusia untuk menembus batas, kiranya batas tetap perlu. Batas moralitas, batas mana yang fair dan curang. Batas ini harus tetap dijaga kalau optimisme sejati ingin ditegakkan. Kalau tidak piala kemenangan kita tinggal jadi bukti bagaimana kita sudah lebih pandai menipu diri sendiri.

Monday, September 14, 2009

You should never take emotion out of sport

Demikian manajer ManCity Mark Hughes membela tingkah anak asuhannya Manu Adebayor yang merayakan gol cetakannya ke gawang ex teamnya Arsenal dengan berlari dan ndlosor dihadapan gerombolan pendukung the Gunners. Katanya : Manu sudah minta maaf dan dia kan masih berada didalam lapangan, bukannya melompat ketengah-tengah kerumunan penonton – jadi harap maklum lah. Harap maklum juga karena minggu depan ManCity akan bertanding derby melawan ManUnited, Kalau Manu sampai kena ganjar hukuman tidak main, maka ManCiry bisa kerepotan.

Hughes ada benarnya juga. Kalau emosi dilarang dalam sport maka orang menonton seperti menonton demo masak atau belajar senam pagi, dingin saja dan mungkin sambil lalu. Emosi membuat game jadi menarik, adrenalin dipompa dan hidup terasa lebih hidup.

Sudah tentu Hughes bukan guru spirituliatas macam Eckhart Tolle yang berkata bahwa emosi adalah pe-raga-an dari pikiran. Dan perasaan (negatif) yang dialami akan meninggal jejak/residu dalam tubuh kita. Residu ini akan bertumpuk dan menjadi apa yang dia sebut sebagai pain-body. Kalau residu ini dibiarkan maka ia akan menguasai diri kita dan membuat kita malah ketagihan mengalami emosi itu lagi dan lagi. Maka perseteruan (antar klub atau apa saja) bisa mendarah daging dan umumnya meningkat – kalau tidak terkendali bisa menjadi tawuran. Karena yang bicara bukan benak yang jernih tetapi emosi yang keruh.

“Dosa” Manu malam itu bukan cuma itu. Ia juga mencederai Van Persie. Van Persie mengatakan Manu sudah menodai sepakbola yang “we all love”.

Kembali ke Tolle. Menurut Tolle cinta bukan emosi. Emosi positif macam cinta dan kebahagian bukanlah emosi. Cinta katanya adalah saat-saat dimana kita mengalami seolah segala sesuatu berhenti bergerak (stillness). Bayangkan kita mengalami sekian sekon keheningan ditengah badai yang gaduh. Tiba-tiba kontras yang sangat ini membuat kita mengalami damai yang membuat kita speechless

Dalam sepakbola momen-momen seperti itu sungguh terjadi. (sebagai misal Ronaldinho yang mendapat salut dari pendukung Real Madrid). Saat orang bertepuk tangan bagi pemain lawan yang luar biasa kita tergetar dan terharu. Sepakbola macam itu menjadi macam momen keagamaan dimana manusia melampaui naluri egoistiknya dan tenggelam dalam kekaguman akan keindahan tarian yang kita sebut sepakbola.

Sepakbola macam itu yang kita dan Van Persie cintai. Disana kita tidak bicara soal menang atau kalah, tetapi soal fair play, soal kekuatan mental, soal kematangan strategi, kepala dingin dan determinasi. Soal rise above ourself.

You should never take emotion out of sport, baiklah. Tetapi jangan pula berhenti disana.

Wednesday, September 9, 2009

Pewartaan Tanpa kata-kata?

Apakah Allah akan diwartakan secara berbeda jika orang dilarang menggunakan kata-kata ? Mungkinkah membagikan pengalaman akan Allah melulu dengan perbuatan ? Ingatlah saya akan tuduhan yang diarahkan pada Yesus yang dikatakan telah mengusir setan dengan kuasa kegelapan. Sudah tentu hal ini tidak logis kata Yesus, sebab iblis tidak mungkin melawan iblis. Oh tentu saja, kalau iblis main fair play – kalau iblis curang dengan bersedia rugi dulu (dengan cara mengorbankan pion iblis) untuk beruntung dibelakang hari – lalu bagaimana ? Sudah tentu tidak ada yang bisa kita tanyai soal ini

Kembali ke topik kita : Mungkin kah membagikan pengalaman akan Allah melulu dengan perbuatan? Bisa saja, tetapi Allah yang disimpulkan oleh mereka yang mengalami perbuatan kita belum tentu sama dengan Allah yang hendak kita wartakan.

Sebagai makhluk yang dikutuk untuk selalu mencari makna akan segala hal yang terjadi kita akan tergoda untuk mencantelkan makna dan makna adalah kata-kata. Ingat pula bahwa kita tidak menilai dunia dengan lensa yang jernih. Kita mulai dengan asumsi dan syak wasangka.

Misal Beata Teresa dari Kalkuta. Dia menyentuh yang dibuang orang, merawat yang disepak masyarakat. Jika ia tidak memakai baju susternya, tidak pernah terlihat berdoa, tidak sowan ke Vatikan – apakah orang akan sampai pada Tuhan Yesus ? saya ragu. Paling-paling orang akan menyimpulkan Beata Teresa sebagai seorang yang baik. Orang memang bisa bertanya : dari mana dia punya semangat yang luar biasa ini ? Nah – disini kata-kata terpaksa diucapkan. Kecuali jika orang hendak dibiarkan untuk mengambil kesimpulannya sendiri-sendiri

Gereja katolik konon disebut mater et magistra (ibu dan guru). Sebagai guru ia adalah penerjemah tunggal perihal wahyu Ilahi. Dan Ia berbuat  demikian lebih-lebih dengan kata-kata. Gereja Katolik bukan macam guru senam yang berdiri didepan memberi contoh gerekan aerobik, ia lebih macam komentator yang menterjemahkan makna lukisan abstrak. Dan hanya ada satu terjemahan yang benar atas lukisan abstrak tadi. Pengalaman akan Allah oleh gereja diterangkan, dijabarkan, diberi ilustrasi dengan kata-kata.

Yang kerap terjadi saya kira adalah orang lebih sibuk dengan kata-kata. Orang berdebat, berpolemik dan menghabiskan banyak waktu dan energi demi kata-kata (termasuk blog ini). Apa boleh buat, orang ingin menjamin bahwa interpretasi sebuah peristiwa tidak sesat. Supaya tidak terjadi macam peristiwa gugatan lawan-lawan Yesus.

Andaikan kesibukan akan kata-kata ini boleh kita hentikan. Andaikan ada masa puasa berkata-kata. Andai pewarta itu lebih-lebih berarti orang yang berbuat. Mestinya dunia akan lebih indah lagi bagi saya dan anda. Karena perbuatan ternyata lebih mudah dipahami daripada kata-kata. Karena action speaks louder than words

Restless Till We Rest in You

St Agustinus yang kudus kita kutip berkata bijak “Restless Till We Rest in You”. Orang beragama menyatakan bahwa entah bagaimana dalam hati manusia ada kerinduan yang dalam dan ia hanya bisa teduh setelah berjumpa dengan dengan Sang Agung. Apapun namanya.

Maka orang beragama kiranya meyakini bahwa orang Atheis dan Agnotis akan selalu gelisah dan disaat terpojok mereka akan serta merta mencari perlindungan. Ungkapan yang kita dengar adalah “There are no atheists in foxholes” (terjemahan bebas: tidak ada yang kuasa tetap menjadi atheis saat ia berlindung dari desingan hujan peluru)

Mungkin benang merahnya demikian : disatu sisi Allah adalah kerinduan, disisi lain Ia adalah kebutuhan mutlak. Kalau kita ingat (lagi-lagi) Maslow sepertinya kedua hal ini adalah bagian continuum dari hirarki kebutuhan. Allah adalah kebutuhan mutlak yang dalam tingkat tinggi menjadi kerinduan.

Allah yang sebagai kebutuhan adalah Allah yang kita minta memenuhi keperluan sehari-hari, kelulusan ujian, kesembuhan penyakit, enteng jodoh dan menang undian. IA bak ATM yang provided kita tahu passwordnya (doanya bener, sajennya pas, puasanya penuh) akan serta merta memberi kita apa yang kita mau. Dan kita tentu percaya Dia Maha Kaya dan Maha Pengasih. Ia memberi hidup dan ia mengasihi umat (baca : mereka yang memeluk agama saya saja) dengan teristimewa. Haleluya !

Dalam level yang lebih canggih Ia menjadi kerinduan. Dalam level itu kita kurang peduli lagi dengan hal-hal material, maklumlah kita mencari yang hakiki. Yang esensi. Anehnya dalam dimensi ini Allah yang tegas sosoknya dalam paradigma Allah sebagai kebutuhan kerap menjadi
sebuah misteri. Santo Yohanes dari salib yang juga kudus mengatakan bahwa Allah itu macam malam gelap. Mungkin sedemikian gelap sehingga kita tidak bisa melihat jari kita sendiri. Jari yang sebelumnya kita gunakan untuk menunjuk itu Allah kebutuhan yang jelas terang benderang.

Seorang Aquinas yang tidak kurang pula kudusnya memutuskan berhenti menulis. Opus Magnumnya (Summa Theologia) konon tidak tuntas selesai. Mendadak saja ia memutuskan untuk berhenti menulis. Orang bilang ia melihat buku tebal yang kini jadi panutan banyak teolog adalah macam jerami belaka. Tentang Allah kita tidak tahu apa-apa. Orang yang berkata tentang Allah tidak tahu siapa Allah. Orang yang tahu Allah tidak berkata-kata.

Lantas siapa itu yang didamba Santu Agustinus sebagai kerinduan hatinya ? Siapa itu yang digambarkan Santu Yohanis dari salib ? Mungkin orang yang telah menemukan tidak kuasa lagi memerikan nya. Dan sebaliknya mereka yang belum berjumpa justru sibuk berkelahi tentang hal yang masih berupa angan-angan belaka. Angan-angan mu tentulah salah, karena tidak sama dengan angan-anganku ! Allah itu seperti ini dan sama sekali tidak seperti itu!

Cerita de Mello : seorang yang bepergian jauh ditanya apa yang ia lihat dinegeri yang jauh. Orang itu menjawab : oh saya melihat taman yang indah. Bagaimana rupanya ? Bunga apa ditanam disana ? Orang itu menjawab lagi : saya tidak sempat memperhatikan ini atau itu – saya mengalami keteduhan yang amat sangat.

Pengalaman akan Allah yang sungguh kiranya melebihi kemampuan bahasa untuk memerikannya. Allah yang diperikan dalam kata apakah sungguh Allah ? (sibodoh sibuk melihat jari yang menunjuk pada bulan – dan melupakan bahwa itu bukan bulan)

KL 08 Sep 09

Thursday, September 3, 2009

blurr

Kalau benar bahwa kitab suci itu sungguh ditulis dua kali : yang pertama tidak menggunakan abjad apapun - karena ia berupa alam semesta raya (yang kedua : kita sudah tahu semua, berupa buku dari jaman kuna yang memuat cerita Allah yang personal). Apakah ke-2 kitab suci ini bicara hal yang sama ? Apakah dari alam kita bisa menemukan Tuhan personal? Tuhan yang cemburu, yang marah dan yang mengasihi ? yang menggugat dosa dan menjawab doa.

Tuhan personal terutama kita jumpai dalam agama samawi (judaisme, kristiantias dan islam). Agama-2 ini meyakini bahwa ada kalanya dimasa lampau Tuhan "berbicara" dengan manusia. Paling tidak begitulah kita baca dalam kitab suci. Apakah mungkin ini cuma simbolisme belaka ? Bukan wewenang saya untuk menjawab - tetapi sebentar kita amini saja bahwa - somehow - begitulah yang terjadi - bahwa Allah berinteraksi secara eksplisit dengan manusia. Eksplisit dalam arti - tidak diragukan bahwa yang diseberang sana itu (kalau dianalogikan manusia sedang bicara lewat telpon) adalah Allah dan bukan pihak lain.

Saya tidak pernah tidak bicara dengan manusia sehingga belum dapat saya bayangkan bagaimana kalau saya dapat berwawancara dengan makhluk lain (apalagi Tuhan). Tetapi untuk melanjutkan diskursus kali mari telaah obrolan dengan sesama manusia tetapi dari lain budaya. Yang kerap terjadi kiranya adalah terutama dua hal prasangka dan "lost in translation". Prasangka karena : saya tidak paham persis sistem makna kawan bicara - apakah bicara keras itu sopan ? atau harus bicara lembut-2 saja ? Bagaimana saya menerka sistem makna lawan bicara kalau saya belum pernah berjumpa sebelumnya dengan yang serupa dengan dia ? Hal lain adalah : lost in translation. Segenap naskah terjemahan boleh dibilang macam penghianatan pada teks asli. Apa boleh buat - setiap bahasa punya cara khas untuk mendeskripsikan sebuah gejala. Misal : Nasi, beras dan padi adalah rice. Maka untuk menterjemahkan "rice" perlu dilihat konteks dan konteks adalah sistem makna yang juga tidak semudah membalik tangan untuk memahaminya

Lalu bagaimana kasus pembicaraan dengan Tuhan ? Sudah tentu agama-agama mendaku (to claim) bahwa hal ini sungguh terjadi dan tidak hendak saya debat iman mereka. Hanya saja ini sungguh merupakan lompatan yang luar biasa. Sama sekali tidak intuitif. Dari alam paling-paling kita bisa sampai pada pemahaman macam: bagaimana manusia ini kecil, bahwa keteraturan alam sungguh menakjubkan, dsb - tetapi dari titik itu ke pemahaman akan Tuhan personal adalah -lagi-lagi- a leap of faith.

Baik kita kembali ke pertanyaan semula: dari alam, apakah kita bisa menemukan Tuhan personal? Kira saya - saya akan menjawab - tidak. Karena saat kita memaknai sesuatu kita berangkat dari sistem makna kita. Sistem makna kita adalah kaca mata kita - sebuah benda menjadi hijau jika ia hijau tetapi juga kalau kaca mata kita hijau. Dan jika kaca mata kita lekat dilensa mata maka kita tidak tahu lagi apa ia sungguh hijau atau karena mata kita diset untuk melihat segala sesuatu sebagai hijau

Interpretasi akan alam pun bisa macam-macam, tergantung kaca mata kita. Alam bisa dipahami sebagai materi dan energi - dan tidak lebih dari itu. Atau ia diber persona (dewa hujan, dsb). Mana yang benar ? Tidak bisa dijawab dengan mudah kecuali disepakati dulu asumsi-asumsi yang kadang tersembunyi.

Maka Galileo dan Darwin menjadi skandal manakala mereka dikatakan mencampakan manusia dan bumi dari tempat terhormat (pusat semesta dan citra Allah) ketempat banal (bagian renik semesta dan hasil evolusi buta). Tetapi mereka sebenarnya cuma menunjukan interpretasi lain dari kenyataan yang sama.

Mungkin orang beragama tidak suka jika agamanya dikatakan sebagai interpretasi semata. Agama saya tentu yang paling benar! Tetapi tidak boleh mereka lupakan adalah - apakah saya tahu saya bisa menemukan kebenaran ? Tidakkah mungkin bahwa yang terjadi adalah saya meneguhkan interpretasi saya dengan melulu melihat segala sesuatu dengan kaca mata saya. Lain kaca mata adalah tidak mungkin.Dan karena hanya mungkin ada satu kacamata yang benar - kita berkelahi demi interpretasi. Ironis.

Wednesday, September 2, 2009

leap of faith

Kata Maslow ada yang disebut "hirarki kebutuhan". Dari yang paling dasar (survival, biologik) sampai yang abstrak (aktualisasi diri). Kira saya Maslow mengandaikan juga (entah lah - saya pun belum membaca detail thesis dia) - pada kebutuhan yang sama bisa ditempelkan label yang berbeda. Misal : memasak bisa dimaknai bagian dari hal dasar (untuk makan) atau aktualisasi diri (koki terkenal).

Pada kerangka Maslow ini kita bisa pertanyakan : lalu bagaimana dengan agama ? Apakah pada agama bisa pula ditempelkan label "survival" atau "aktualiasasi diri" ? Sepintas bisa kita setujui thesis ini. Jika agama dialami sebagai bagian dari identitas sosial (orang sekampung agama sama semua, masak saya tidak?), atau demi keamanan (pemerintah hanya mengakui agama A,B,C,D,E dan lain tidak) maka agama direduksi jadi ritus yang mestinya tidak mendalam, tidak mendarah daging. Macam sampiran yang bisa dilepas mana kala angin bertiup kearah yang berlawanan.

Harap ingat bahwa kita semua mestinya mulai dengan level ini. Waktu kita kecil agama disandangkan begitu saja pada diri kita. Kita yang dibaptis waktu bayi tidak punya pemahaman lebih dari sekadar hadir dan kena ciptratan air dingin. Ritus tidak berarti apa-apa selain keramaian yang samar-samar kita ingat.

Terpulang pada kita masing-masing untuk menaikan level agama dalam hirarki kebutuhan kita. Sebagian mungkin memilih menyibukkan diri dengan hal-hal dalam hidup dan membiarkan agama tetap pada tingkatan dasar. Yang lain mungkin serius dan mencoba memahami lebih jauh dan lebih dalam. Tetapi -apapun pilihan kita- yang kerap terjadi adalah kita tetap tinggal dalam asumsi yang tidak kita pertanyakan lagi: bahwa beragama itu perlu - bahwa keadaan "tanpa agama" adalah sebuah pilihan pula.

Dawkins saya kira menulis ini dalam best seller nya "God Delusion" - Atheisme adalah sebuah pilihan pula dan adalah pilihan yang valid. Tetapi disisi lain - Atheisme mengandaikan sebuah kesibukan intelektual pula - karena ia mengandaikan kita tahu bahwa sesuatu itu tidak ada. Tetapi siapa boleh memberi kepastian ini tanpa sepotong pun keraguan ? Jika Allah tidak ada karena doa saya tidak terkabul maka semua orang beragama dengan cepat dapat memberi argumen balasan atas nama Allah.

Kiranya yang jadi soal adalah Allah (entah ada atau tidak) berada dalam dimensi yang lain dengan kita. Segenap diskursus tentang Allah bisa dikategorikan sebagai monolog semata. Entah ada atau tidak -tidak bisa dibuktikan dengan eskperimen atau logika (kitab suci jelas out of question karena ia tidak mungkin menegasi keberadaan dirinya sendiri - tanpa Allah kitab suci jelas tidak mungkin). Tidak bisa kita adakan eksperimen (entah dengan laboratorium atau logika) yang hasilnya entah menguatkan atau menegasi Allah. Kira saya semua pembuktian atau negasi selalu mulai dengan kesimpulan (either Allah ada atau tidak) yang sebenarnya mau dibuktikan.

Pilihan yang kerap diambil mungkin adalah agnotisisme yang rada malas. Allah ada atau tidak - entahlah, agnotis tidak merasa bahwa hal ini bisa dibuktikan atau dinegasikan. Lebih sering lagi orang tidak peduli - dalam tingkah polahnya dia menganggap bahwa hidup itu cuma kini dan disini. tetapi hidup yang tidak kini dan disini memang hal yang dibahas agama. Agama A mengatakan hidup setelah kematian adalah pengadilan. Agama B bilang hidup adalah siklik yang tidak ada habisnya kecuali engkau melompat keluar lingkaran.

Klaim A atau B jelas diluar domain pengamatan sehari-hari kita. Maka dalam agama ada hal yang disebut iman dan iman adalah sebuah lompatan tanpa bukti. Kalaupun ada bukti tetap merupakan bagian dari kesimpulan yang sebenarnya mau dibuktikan. Pengandaian terbesar dari segenap lompatan iman ini kiranya adalah bahwa dunia ini lebih luas dari apa yang nampak dimata, lebih jauh dari seupil pengalaman kita sehari-hari.

Entah kita putuskan untuk melompat atau tidak tetap ada kenyataan hidup sehari-hari yang kita perlu sikapi. Dan entah manapun pilihan anda: entah agama A atau B, entah atheis atau agnostik: memilih perdamaian dan kesejahteraan bersama adalah jelas pilihan yang paling waras. Entah ada atau tidak hidup diseberang nanti, hidup yang sekarang ini lebih indah kalau kita jalani dalam kedamaian

KL 02 Sep 2009