Thursday, September 3, 2009

blurr

Kalau benar bahwa kitab suci itu sungguh ditulis dua kali : yang pertama tidak menggunakan abjad apapun - karena ia berupa alam semesta raya (yang kedua : kita sudah tahu semua, berupa buku dari jaman kuna yang memuat cerita Allah yang personal). Apakah ke-2 kitab suci ini bicara hal yang sama ? Apakah dari alam kita bisa menemukan Tuhan personal? Tuhan yang cemburu, yang marah dan yang mengasihi ? yang menggugat dosa dan menjawab doa.

Tuhan personal terutama kita jumpai dalam agama samawi (judaisme, kristiantias dan islam). Agama-2 ini meyakini bahwa ada kalanya dimasa lampau Tuhan "berbicara" dengan manusia. Paling tidak begitulah kita baca dalam kitab suci. Apakah mungkin ini cuma simbolisme belaka ? Bukan wewenang saya untuk menjawab - tetapi sebentar kita amini saja bahwa - somehow - begitulah yang terjadi - bahwa Allah berinteraksi secara eksplisit dengan manusia. Eksplisit dalam arti - tidak diragukan bahwa yang diseberang sana itu (kalau dianalogikan manusia sedang bicara lewat telpon) adalah Allah dan bukan pihak lain.

Saya tidak pernah tidak bicara dengan manusia sehingga belum dapat saya bayangkan bagaimana kalau saya dapat berwawancara dengan makhluk lain (apalagi Tuhan). Tetapi untuk melanjutkan diskursus kali mari telaah obrolan dengan sesama manusia tetapi dari lain budaya. Yang kerap terjadi kiranya adalah terutama dua hal prasangka dan "lost in translation". Prasangka karena : saya tidak paham persis sistem makna kawan bicara - apakah bicara keras itu sopan ? atau harus bicara lembut-2 saja ? Bagaimana saya menerka sistem makna lawan bicara kalau saya belum pernah berjumpa sebelumnya dengan yang serupa dengan dia ? Hal lain adalah : lost in translation. Segenap naskah terjemahan boleh dibilang macam penghianatan pada teks asli. Apa boleh buat - setiap bahasa punya cara khas untuk mendeskripsikan sebuah gejala. Misal : Nasi, beras dan padi adalah rice. Maka untuk menterjemahkan "rice" perlu dilihat konteks dan konteks adalah sistem makna yang juga tidak semudah membalik tangan untuk memahaminya

Lalu bagaimana kasus pembicaraan dengan Tuhan ? Sudah tentu agama-agama mendaku (to claim) bahwa hal ini sungguh terjadi dan tidak hendak saya debat iman mereka. Hanya saja ini sungguh merupakan lompatan yang luar biasa. Sama sekali tidak intuitif. Dari alam paling-paling kita bisa sampai pada pemahaman macam: bagaimana manusia ini kecil, bahwa keteraturan alam sungguh menakjubkan, dsb - tetapi dari titik itu ke pemahaman akan Tuhan personal adalah -lagi-lagi- a leap of faith.

Baik kita kembali ke pertanyaan semula: dari alam, apakah kita bisa menemukan Tuhan personal? Kira saya - saya akan menjawab - tidak. Karena saat kita memaknai sesuatu kita berangkat dari sistem makna kita. Sistem makna kita adalah kaca mata kita - sebuah benda menjadi hijau jika ia hijau tetapi juga kalau kaca mata kita hijau. Dan jika kaca mata kita lekat dilensa mata maka kita tidak tahu lagi apa ia sungguh hijau atau karena mata kita diset untuk melihat segala sesuatu sebagai hijau

Interpretasi akan alam pun bisa macam-macam, tergantung kaca mata kita. Alam bisa dipahami sebagai materi dan energi - dan tidak lebih dari itu. Atau ia diber persona (dewa hujan, dsb). Mana yang benar ? Tidak bisa dijawab dengan mudah kecuali disepakati dulu asumsi-asumsi yang kadang tersembunyi.

Maka Galileo dan Darwin menjadi skandal manakala mereka dikatakan mencampakan manusia dan bumi dari tempat terhormat (pusat semesta dan citra Allah) ketempat banal (bagian renik semesta dan hasil evolusi buta). Tetapi mereka sebenarnya cuma menunjukan interpretasi lain dari kenyataan yang sama.

Mungkin orang beragama tidak suka jika agamanya dikatakan sebagai interpretasi semata. Agama saya tentu yang paling benar! Tetapi tidak boleh mereka lupakan adalah - apakah saya tahu saya bisa menemukan kebenaran ? Tidakkah mungkin bahwa yang terjadi adalah saya meneguhkan interpretasi saya dengan melulu melihat segala sesuatu dengan kaca mata saya. Lain kaca mata adalah tidak mungkin.Dan karena hanya mungkin ada satu kacamata yang benar - kita berkelahi demi interpretasi. Ironis.

1 comment: