Saturday, March 30, 2013

I will tell you how he lived.

Kalau anda pernah nonton filem Tom Cruise bertitel "The Last Samurai" mestinya anda ingat adegan dipenghujung filem waktu Cruise bersembah pada sang kaisar seraya menyerahkan pedang samurai milik mendiang Katsumoto. 

Emperor: The Samurai is gone. The spirit of samurai lives forever. Tell me how he died.
Algren: I will tell you how he lived.


Bait ini mengingatkan saya pada peristiwa Paska Yesus Kristus. Terutama kata-kata Cruise diatas.  I will tell you how he lived. Pasalnya - kesan saya (saya tidak sendirian nampaknya, baca buku "Saving Jesus from the Church: How to Stop Worshiping Christ and Start Following Jesus" besutan Robin Meyers) orang kristen cenderung terlalu menekankan pada salib, kematian, penderitaan. Syahadat Nicea -dogma iman gereja- pun melewatkan begitu saja cerita kehidupan Yesus. Yang dikenang adalah sengsara, salib, wafat dan bangkit. Apa yang terjadi sebelumnya seperti tidak terlalu penting untuk disebutkan. Rasul Paulus pun tidak banyak (tidak sama sekali?) mengutip ajaran Yesus dalam banyak suratnya. Fokusnya adalah salib, kematian, kebangkitan.

Tidak ada yang salah dalam mengenang puncak-2 peristiwa Yesus itu, tetapi Yesus bukan sekadar tampil di panggung dalam tiga hari itu saja (well, di hari kedua Ia wafat, jadi tidak nampak dipanggung). Ia berjalan, berkeliling dan berbuat baik (Kis 10:38), yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan (Luk 24: 19). Yesus sebagai guru, nabi, penyembuh adalah sungguh Ia yang hadir ditengah kita, Imanuel (Mat 1:23), seperti yang dikatakan malaikat dalam mimpi Yusuf. Ia meyentuh pendosa, wanita yang sakit pendarahan, anak-anak, orang kusta bahkan mayat, makan bersama pemungut cukai, solider pada wanita yang dikatakan penzinah. Ia menyentuh kita dari sisi kerinduan kita yang paling dalam. Sois avec moi - be with me. Hidup kadang berat dan tidak terpahami, tidak adil dan penuh onak duri. Sois avec moi Seigneur.

Di Getsemani Yesus yang tercekik kengerian salib berkata "berjaga-jaga dengan Aku" (Mat 26: 38). Be with Me. Kiranya itulah kerinduan terdalam hidup manusia. Kita masing-masing -suatu saat- menghadapi suatu kesendiran yang senyap. Disaat-saat kesendirian ini lah kita rindu akan kehadiran dan penyertaan, akan solidaritas dan bela rasa. Penderitaan atau apapun yang sedang dihadapi mungkin tidak dengan sendirinya lenyap, tetapi kita bisa lebih teduh menghadapinya

Paska -kata Paus Fransikus- adalah suatu kebaruan yang Tuhan hadirkan dalam hidup kita. Yesus yang kemarin berdarah-darah, berteriak-teriak dan wafat kini sudah hidup baru. Kiranya tanpa Paska kristianitas tidak pernah ada. KematianNya mungkin heroik, dramatik dan traumatik (karena dosaku yang Ia tanggung), tetapi mungkin kita perlu lebih banyak bicarakan tentang bagaimana Ia hidup dulu (sebelum Kalvari) dan kini (setelah Paska). Karena bukankah kita adalah "saksi dari segala sesuatu yang diperbuatNya" (Kis 10:39)

Selamat Paska

Tuesday, March 26, 2013

Kereta Malam Dari Vatikan

Kiranya bagi sebagian orang konklaf alias pemilihan Paus itu macam menunggu datangnya kereta malam tak berjendela yang setelah melaju tidak tahu kapan akan berhenti atau mau langsir dimana. Sekali "Habemus Papam" dikumandangkan orang-orang ini lantas sibuk menganalisa, hendak kemana kereta akan melaju, apakah lewat jalur selatan atau utara? lewat lembah atau bukit?

Maklumlah lokomotif kepausan ini menarik gerbong yang dimuati 1.2 miliar umat dengan segenap permasalahannya. Roma locuta, causa finita. Roma bicara habis perkara. Paus dalam kapasitas ex cathedranya tidak mungkin salah (infalibel). Apakah Paus baru akan mengambil keputusan atas polemik dan kontraversi macam pernikahan sesama jenis, kontrasepsi dan hal pelecehan seksual? Atau Ia ,alih-alih, menjaga benteng idealis konservatif ?

Maka sebagian orang sibuk mereka-reka dan menebak-terka - dari warna sepatu, pilihan desain cincin kepausan dan salib, pilihan nama. Digali juga foto-foto lama, girl-friend masa kecil, kebiasaan naik kendaraan umum, menjinjing tas nya sendiri, membayar kamar hotelnya sendiri, dsb. The future is not ours to see, tetapi orang tokh tak sabar mencari isyarat - hendak kemana lokomotif ini hendak melaju?

Siapa menarik kereta bermuatan 1.2 miliar umat manusia tentu tidak bisa gegabah, grusa-grusu, sekadar mau beda apalagi ikut-ikutan mode. Apalagi ini soal hidup sesudah kehidupan ini. Soal keselamatan. Soal Surga dan Neraka. Lagipula ia mendapat mandat dari Sang Penyelamat sendiri. Tentu tidak main-main. Maka tidak heran kalau ada kesan lamban. Konsili Ekumenis terakhir kali digelar hampir 50 tahun yang lalu (dan yang sebelumnya hampir 100 tahun sebelumnya). Kalau dibandingkan produk teknologi- dalam 50 tahun komputer sudah diringkas dari mainframe sebesar kamar kontrakan menjadi setipis buku tulis.

Disisi lain yang disebut sebagai karya Roh Kudus memang tidak terduga-duga. Waktu alm. Angelo Giuseppe Roncalli terpilih sebagai Yohanes ke-23 (1881-1963) diusianya yang ke 77 (persis seusia Paus Fransiskus yang incumbent) banyak orang memandang bahwa jabatannya sekadar untuk menghangatkan kursi bagi Giovanni Battista Enrico Antonio Maria Montini (alias Paulus VI) belaka. Namun siapa nyana Yohanes ke-23 ini mencetuskan untuk membuka jendela gereja dan membersih atap bumbungan lewat Konsili Vatikan ke2. Aggiornamento (bringing up to date)! katanya

Namun akhirnya mayoritas 1.2 miliar umat boleh merayakan hari-hari triduum dengan khusuk. Habemus Papam. Business as usual bukan? Mungkin tidak. Kiranya kita tidak boleh lalai untuk tetap menjaga semangat Yohanes ke-23 nun setengah abad yang lalu. Gereja itu bagai bahtera yang mengarungi zaman. Hidupnya penuh tantangan, penuh perjuangan. Zaman yang menantang kita setiap kali menjadi tetap baru namun sekaligus setia pada arah yang sudah dua ribu tahun jadi pedoman

Habemus Papam !