Friday, November 1, 2013

context, perception, priorities and public taste

Disebuah stasiun metro di ibu kota Amerika, pada suatu pagi yang sibuk, seorang pemusik berdiri memainkan biolanya. Terhitung seribu orang lebih lalu lalang diseputarnya selama "konser"nya berlangsung. Tidak banyak orang memperhatikan, seperti sudah bisa diduga. Siapa punya waktu buat pemusik jalanan? Siapa mau berbagi recehan buat pengamen? Dan demikianlah peristiwa ini terpinggirkan dan lenyap dari ingatan, masuk dalam kategori "tidak penting" dan dilupakan.
Yang berbeda pada hari itu adalah biola yang dimainkannya bernilai sedikitnya 3.5 juta dolar, sebuah masterpiece karya Antonio Stradivari. Dan sang "pemusik jalanan" adalah virtuoso bernama Bell. "Konser" tersebut digelar sebagai eksperimen oleh The Washington Post tentang context, perception, priorities and public taste.
Jika pemusik tiba-tiba muncul saat kita berhenti dilampu merah, memainkan sebuah lagu jazz  dengan penuh kecanggihan apakah anda bisa dengan cepat mengenali bahwa sesungguhnya dia ini pemusik papan atas? Mestinya tidak. Perhentian lampu merah terhitung dalam bilangan detik, kita mungkin sedang kesal menunggu dan mana ada pemusik handal mau menyamar jadi pengamen? Konteks peristiwa menumpulkan kemampuan apresiatif kita
Kiranya Natal pun adalah sebuah pertanyaan tentang context, perception, priorities and public taste. Dalam Injil Matius (Mat 2:2-6) kita baca raja Herodes heran setengah bingung manakala ditanya: dimana Raja orang Yahudi lahir? Raja yang mana lagi ? Bagaimana mungkin dia tidak tahu ada Raja lahir ? Dari kalangan mana ? Tidak mungkin ia tidak tahu? Tidak mungkin pula Raja lahir di kota bernama Betlehem? Kota kecil yang tidak penting itu!
Bagi kita yang sudah tahu persis bahwa Sang Raja memang lahir di Betlehem mungkin yang jadi soal adalah bagaimana meletakkan peristiwa Yesus itu dalam skala prioritas hidup kita masing-masing. Apakah ia kita letakkan sebagai pusat? sebagai rutinitas mingguan (bahkan mungkin lebih jarang lagi: 2 kali setahun saja?) Sebagai apakah Ia bagi hidup kita? Sebagai teladan dan teman perjalanan? Sebagai hakim dan wasit yang tidak pernah berhenti mendelik pada kita? Sebagai ban serep yang dirindukan saat krisis?
Yang terakhir Natal adalah soal public taste. Apakah Natal kita hargai sebagai festival tahunan dimana kita menyanyikan jingle bells dan berbagi kado belaka? Atau kesempatan kontemplasi tentang solidaritas - Immanuel, Allah beserta kita?
Sebelum kita sibuk menyiapkan (liburan) Natal (dan ..ehh...pesta tahun baru), mari sejenak kita renungan dimanakah gema Natal kita dengar dalam hati kita ?

Selamat Natal