Thursday, September 29, 2022

batas psikologis kita

Pada suatu masa berlari sejauh 1 mil dibawah empat menit adalah kemustahilan, tidak cuma itu mencoba berlari secepat ini dianggap membahayakan kesehatan. Namun demikian Roger Bannister membuktikan bahwa kemustahilan ini hanyalah ilusi. Ia tempuh 1 mil dalam tempo 3:59 menit dan sejak itu sudah lebih dari 1500 orang mengikuti jejaknya.  Impossible is nothing !

Yang masih belum berhasil ditembus diantaranta adalah berlari marathon dibawah tempo dua jam.  Eliud Kipchoge, pelari dari Kenya, sudah berhasil memecahkan rekor ini namun catatan waktuya tidak resmi diakui karena dilakukan dalam setting macam laboratorium. Kipchoge berlari dibelakang sekumpulan pacer yang berlari dibelakang truk yang memancarkan sinar laser demi membantu para pelari tetap pada pace mereka. 

Pada Marathon Berlin baru-baru ini Kipchoge berhasil mendekati batas psikologis 2 jam itu dengan finish 2:01:09 atau 30 detik lebih cepat dari rekor sebelumnya yang ia sendiri cetak empat tahun yang lalu. Secara statistik sebuah blog memperkirakan bahwa rekor dibawah dua jam akan berhasil dipecahkan sebelum 2032. Sepuluh tahu lagi. Namun rekor Kipchoge di Berlin kemarin memungkinkan bahwa -secara statistik- rekor dibawah 2 jam akan pecah tahun depan.

Kiranya bukan soal mungkin atau tidak melain soal kapan. Dan sekali lagi kita diingatkan bahwa impossible is nothing! Potensi kita adalah diluar batas yang kita sangkakan. Bahkan batas-batas itu bisa jadi tempurung yang membuat kita bahkan tidak mau mencoba dobrak.

   




Friday, September 9, 2022

'Mencari' Tuhan di zaman new normal

Pada sebuah pertemuan kring saya dengar warga membahas plus minus nya misa streaming. Yang plus tentu hal kemudahan. Dari rumah orang bisa ikut misa virtual dari paroki mana saja, jam berapa saja. Disisi minus ada orang yang malas datang misa ke paroki secara fisik. Kalau ada streaming misa mengapa perlu repot datang secara fisik ? Warga kring ini mengatakan orang-orang yang malas datang misa offline sudah menyalah-gunakan fasilitas ini.  

Warga lain menimpali bagaimana ia dimasa pandemi memutuskan menjadi anggota Legio Maria - karena ia sangat merindukan pertemuan offline dan kebetulan Legio Maria seturut aturan organisasi mengharuskan pertemuan secara offline, secara fisik. Bisa dipertimbangkan bahwa gerakan  kerasulan ini didirikan tahun 1921, jauh sebelum era internet.

Warga lain mengenangkan bahwa dari kecil ia diajari bahwa tidak ada alasan untuk tidak datang misa gara-gara orang merasa sedikit pilek atau flu. Ikut  misa justru bisa menyembuhkan sakit ringan macam ini. Di masa pandemi tentu saja sedikit pilek bisa berarti positif covid dan menjadi lebih bijak kalau orang tinggal di rumah dari pada berisiko menulari orang lain. Argumen bahwa ikut misa bisa menyembuhkan bisa dipertanyakan, karena yang bisa terjadi justru ikut misa bisa membuat orang lain sakit, dan bahkan sakit berat.

Warga lain mengingatkan andai kita mengalami pandemi disaat kita tidak punya fasilitas online seperti sekarang. Isoman dizaman lampau bisa menjadi sungguh berat. Sekarang paling tidak orang bisa tetap ikut misa, meski virtual.

Pandemi membuka era 'new normal' yang mengajak orang untuk mengolah iman secara baru. Kalau dimasa lampau 'hadir secara fisik ke misa' adalah bukti bahwa orang sungguh mencari Tuhan - mestinya kriteria itu boleh dipertanyakan dizaman internet ini. 

Kalau persatuan dengan Kristus bisa dialami mana kala kita menyantap roti dan minum anggur secara jasmani Covid membuat kita melihat sisi lain, bahwa persatuan ini bisa pula dialami secara rohani. Pilek sedikit justru membuat orang harus waspada akan kemungkinan menulari orang lain. Maka lebih baik tinggal di rumah. 

Satu hal lagi yang perlu digaris-bawahi bagaimana mencari Tuhan lebih sering dipahami sebagai ibadah. Padahal ada sisi lain yang sama sahnya. Misalnya mencari Tuhan lewat perbuatan, lewat tapa asketis, lewat pertobatan pribadi. Hal-hal yang bisa dilakukan online atau bahkan dalam keheningan isolasi diri.