Wednesday, August 11, 2010

sebentuk kemalasan yang kudus ...

Apa benar bahwa di kalangan umat K ada kegelisahan akan legalitas kelompok jika tidak ada "gembala" alias pastor.Tanpa pastor maka kelompok cenderung liar dan ilegal. Mestinya kecenderungan yang baik mengingat orang bisa sesat atau paling sedikit sibuta menuntut sibuta yang lain (dari gua hantu pula). Disisi lain tengoklah buku-buku terbitan Kanisius -kalau bicara soal iman pasti tercantum imprimatur (= boleh dicetak) dan nihil obstat (=tidak ada yang bertentangan dengan ajaran resmi) - coba bandingkan dengan buku2 terbitan BPK Gunung Mulia - meski soal iman, tidak kita jumpai "perizinan" macam ini. Maklumlah bunda gereja adalah mater et magistra (ibu dan guru) - mater et magistra mana yang membiarkan anak-anaknya kelayapan ndak jelas - amit-amit !
Dan lihatlah anak-anak Katolik yang manis tumbuh menjadi dewasa-dewasa yang manis - duduk tenang menanti...pastor. Tanpa pastor dewasa-dewasa ini ibarat lumpuh - takut salah, takut sesat dan segenap inisiatif dibuang jauh-jauh. Siapakah saya ini ? saya kan cuma awam, awam kan cuma semacam kasta pariah yang cuma trimo digembalakan saja - nderek rama kemana dia pergi.
Bagi saya kepatuhan macam ini kok pathetic ya. Kepatuhan yang melumpuhkan seperti ini kok terdengar macam orang yang menguburkan talentanya - karena takut dimarahi. Patuh is one thing tetapi tetap ingat bahwa kita bukan biri-biri yang lantas tidak tahu hendak kemana merumput. 
Saya jadi ingat orang yang kena bencana banjir - setelah hujan tiga hari dan tiga malam air mencapai bumbungan dan orang yang saleh ini berdoa rosario 3 salam maria. Selesai  doa yang pertama datang rakit - tetapi dia menolak: oh saya sudah berdoa dan Allah akan menolong saya. Selesai putaran ke-2 datang speed boat yang ditolak mentah2 pula dengan dalih yang sama. Diputaran ke-3 dia harus berdoa sambil teriak2 karena ad helikopter yang datang. Dia tetap menolak sampai akhirnya mati tenggelam. Disurga (so pasti masuk surga lah) da bertanya : Gusti mengapa Paduka tidak datang menolong. Dijawab: mau apa lagi engkau, aku sudah datang tiga kali.
Tentu saja cerita ini konyol - tetapi boleh sebentar kita tanya: apa sindrom legalitas yang berlebihan itu layak ? Bukankah dalam komunitas kita jumpai sesama kaum beriman yang secara bersama-2 kita percaya adalah gereja? Bukankah ada diterbitkan ratusan buku2 iman ? Yang terakhir bukankah dikatakan : jika ada kumpul2 demi namaNya maka Dia akan ikutan ?
 
Jangan2 sindrom legalitas adalah sebentuk kemalasan yang kudus ...