Saturday, June 12, 2010

Iman dewasa : sebuah pertanyaan

Konon St Paulus pernah berkata bahwa waktu kita bayi kita berkata-kata seperti bayi dan setelah dewasa kita berlaku sebagaimana orang dewasa pula. Mestinya sebuah kutipan yang bagus untuk topik buku (atau apapun ini nanti jadinya) ini. Iman dewasa itu yang seperti  apa ?
Belakangan ini saya macam dibangunkan dari tidur yang lelap oleh Dawkins. Buku populernya "The God Delusion" membuat saya bercermin dan bertanya: iman seperti apakah yang sebenarnya saya miliki? Iman itu apa ? Mengapa saya beriman ? Buku Nassim Nicholas Taleb yang berjudul "The Black Swan" mengajak saya untuk curiga - jangan-jangan iman adalah sebentuk pembenaran belaka. Bukankah iman itu tidak lain sebuah Narrative Fallacy yang dengan pandai mencocok-cocokan peristiwa dengan skema yang kita ingin percaya. Kita petik sana-sini sehingga cerita menjadi lingkaran yang lengkap. Mosaik yang membuat bentuk jadi amorf kita pinggirkan dan dengan khusyuk kita tenggelamkan diri dalam narasi yang menenangkan hati. Siapa yang mampu bertahan menghadapi semesta yang random dan tanpa pola?
Iman memampukan kita untuk menatap hari esok dengan lebih optimis - karena somehow everything will be okay, esok akan lebih baik, karena kita sedang dalam perjalanan menuju taman sari yang indah, penuh bunga dan kesejukan. Siapa yang tidak mau kedamaian ? Siapa yang betah tinggal dalam derau yang menyesakkan jiwa?
Persis dititik sini saya berontak. Saya bertanya : apakah sungguh hidup itu harus ada maknanya ? Bagaimana kalau hidup ini tidak ada maknanya ? Kita simply lahir, besar, ber-reproduksi dan meluruh? Tidakkah ini cukup untuk membuat kita melangkah setiap hari ? Atau kita memerlukan dendang yang lebih merdu untuk mengerjakan sawah dengan lebih giat ?
Saya lalu bertanya pada Sang Budha yang konon tidak merepotkan dengan Tuhan. Saya berbincang dengan kaum Atheist yang mungkin sinis macam Dawkins, Harris (The End of Faith) atau yang simpatik macam Comte-Sponville (The Little Book of Atheist Spirituality). Saya membaca Erhman (Misquoting Jesus) dan bertanya: mana yang lebih dulu ada Kitab Suci atau Narasi ?
Pertanyaan saya jadi macam pusaran puting beliung yang makin melebar dan menghisap apa saja yang ia lalui. Saya tidak bisa lagi kembali pada masa "lelap" saya dengan Hore-luya dan tepuk tangan (no offense). Apa boleh buat pertanyaan itu sudah menempati sebagian besar ruang benak saya (maka benarlah pepatah: ignorance is a bliss - omong kosong dengan Sokrates yang berkata : The unquestioned life is not worth living - too much questioning is a darn hard work).
Saya jadi memandang segenap ritus, doa, lagu, dupa dan bahasa gerak dengan mata yang berbeda. Tidakkah kita hanya sedang mendendangkan nina bobo kita sendiri ? Tidak kah ini semacam peniduran kesadaran secara kolektif?
Orang suka berbagi cerita (entah gossip atau fakta), tetapi belum saya dengar orang berbagi tanya. Bagaimana mungkin pertanyaan hendak dibagikan? Bukankah kita akan nampak bodoh ? atau paling sedikit kelihatan macam mahasiswa yang pandai demonstrasi tanpa bisa memberi solusi (dan belakangan setelah menjabat malah korupsi pula). Jadi saya cenderung diam saja (well kecuali diforum ini)
Saya tidak hendak mengajak keluarga saya "pindah iman" atau membujuk anak-anak saya untuk melihat dari sisi lain ini. Saya jadi ingat Comte-Sponville yang menulis: seorang ayah -ditengah santap malam bersama- berkata pada keluarganya bahwa ia telah menjadi Atheist namun demikian ia tetap mencintai mereka semua seperti selama ini ia lakukan. Menjadi atheist atau sibuk bertanya tentang Iman kira saya adalah perjalanan pribadi saya. Kegelisahan dan gumam pribadi belaka.
Jadi apa itu Iman dewasa?Apakah Iman yang sibuk bertanya (dan malah men-dekonstruksi diri sendiri?) atau soalan makin hafal kitab suci, makin banyak berdoa dan beramal? Saya tidak tahu pula apa jawabnya. Saya ini tengah bertanya.
Mungkin saya ini tengah berada dalam terowongan gelap dan mungkin diseberang sana saya akan memahami yang sungguh apa itu iman dewasa.

Thursday, June 3, 2010

too much ego, too much narcissism

Ada teguran Andre Comte-Sponville yang mungkin perlu disimak kaum beragama. Kok kaum beragama ? demikianlah Comte-Sponville ini adalah seorang atheis, Dia bilang doa orang beragama itu kerap "...too much ego, too much narcissism..."

Mungkin dia ada benarnya juga. Kerap doa adalah litani permintaan - minta sana, minta sini, panjang lebar, komprehensif. Sebuah monolog yang entah mekanistis (rapalan doa hafalan yang sudah diulang-ulang ribuan kali), atau kalaupun spontan tokh mengikuti pola tertentu (apalagi kalau dideklarasikan didepan publik dalam persekutuan doa). In any case, pusat monolog kita adalah kerap kali : diriku, keselamatanku, kesehatanku, aku, keluargaku, anak-ku, isteri-ku, ku ku ku ...narsis ? mungkin tidak sengaja (tapi narsis kan? ah tidak...tapi memang narsis ya ?....)

Demikianlah: pusat semesta adalah diri kita. Maka kita berdoa untuk diri kita. Bukan hanya berdoa - persisnya meminta. Tidak ada yang lebih dekat dengan hati kita daripada diri kita sendiri. Normal bukan ? Siapa yang mau celaka ? Siapa yang mau kena malapetaka? Sudah tentu tidak ada. Tetapi apakah ini soal celaka dan malapetaka ?

Kiranya kritik Comte-Sponville lebih kearah sikap hati kita. Kita ulang kritiknya : doa orang beragama itu kerap "...too much ego, too much narcissism..." Dengan kata lain - kita mungkin luput dari esensi utama doa itu sendiri.

Apa itu esensi doa ? Mari mengutip lagi, kali ini dari Ghandi:  “Prayer is not asking. It is a longing of the soul. It is daily admission of one's weakness. It is better in prayer to have a heart without words than words without a heart.” Menurut Ghandi doa adalah kerinduan. Arahnya bukan pada diriku tetapi pada Dia. Bukan soal kata-kata (polusi kata-kata), tetapi soal hati.

Bicara soal hati - mungkin bisa dibayangkan sekejap bagaimana -dipuncak asmara- dua sejoli sudah puas berjalan berdua bergandeng tangan ditengah hujan rintik-rintik...dua hati berpaut dalam diam. Kata-kata tidak diperlukan lagi, apalagi deklamasi meriah.

Mungkin bisa dicoba, lain kali berdoa tidak karena kebiasaan, atau suruhan. Tetapi karena dorongan hati. Dan hening saja dalam doamu. Tidak perlu lagi kata-kata. Hadir saja. Resapi dan alami kehadiran mu itu. Disini dan kini