Friday, August 2, 2013

Terima Kasih, Mauliate, Kamsia

Seorang teman mengatakan bahwa konon disurga sana kotak berisi doa ucapan "terima kasih" cukup jarang dijumpai, sementara kotak doa "permohonan" berserak-serak dimana-mana.
Sebuah satire yang menarik. Kalau mau sejenak dihitung sepertinya kita memang lebih cenderung meminta-minta ketimbang berterima kasih.

Pernah dikatakan bahwa salah satu ciri orang yang tidak mengenal Allah alias atheis adalah bahwa ybs tidak pernah berdoa meminta. Kita bisa saja berdebat soal ini, tetapi satu hal sudah jelas bahwa manakala kita meminta kita berfokus pada diri kita, kepentingan kita, kesejahteraan diri kita, kita,kita dan kita. Kita sibuk memandang pada apa yang belum ada, pada apa yang kita sangka kita perlukan.

Sementara manakala berterima kasih kita pun memang memandang kedalam tetapi memusatkan pada apa yang sudah ada, yang sudah diterima, entah apapun itu kita terima dengan syukur dan amen. Kita tidak sok tahu seolah ada yang masih kurang pada diri kita, seakan masih ada yang terlewat dianugerahkan pada kita. Saat berterima kasih kita memandang keatas dengan penuh syukur, alih-alih sibuk merengek dan ingat diri. Berterima kasih juga membuat kita ingin berbagi pada mereka yang memerlukan. Hati yang penuh syukur memandang hidup dari sisi yang berbeda, dibandingkan dengan mereka yang meratap dan memohon. Boleh ditanya apa mereka yang merasa kekurangan sedia berbagi pada sesama? Apa yang hendak dibagikan kalau kita sendiri masih merasa berkekurangan?

Sudah tentu kita memerlukan banyak hal dalam kehidupan kita. Kita perlu sandang, papan dan pangan. Tapi boleh sebentar ditanya seberapa banyakkah yang kita perlukan dalam hidup? Adakah batas keinginan? Pernahkan manusia menjadi puas? Tidakkah kita selalu ingin yang baru, yang lebih besar, lebih mewah, dsb? Jika batas keinginan adalah langit maka siang-malam kita tidak akan berhenti dalam permintaan. Lalu bagaimana dengan ajaran bahwa kita disuruh untuk meminta. Mintalah maka engkau akan diberi. Ketuklah maka pintu akan dibukakan. Kiranya yang menjadi soal bukan meminta atau tidak meminta. Namun memahami bahwa yang kita perlukan untuk hidup kiranya tidak sebanyak yang kita mintakan. Bahwa penyelenggaraan Ilahi sesungguhnya sudah cukup. Bahwa kita semua sudah dianugerahi berkah melimpah.

Dan yang juga penting adalah bahwa kita tidak sungguh tahu apa yang kita perlukan dalam hidup ini. Keperluan kita mungkin hanyalah hasrat sesaat, ikut2an mode, bahkan keinginan untuk lari dari salib hidup kita. Salib yang sesungguhnya menjadi sumber pendewasaan dan pematangan iman.
Maka lain kali naluri minta terbersit dihati boleh sebentar durenungkan sudah cukupkah kita berterima kasih? Lagipula, omong-omong sebenarnya  kita ini anak Raja atau peminta-minta?
(Kredit buat Agnes B untuk cerita tentang  kotak terima kasih disurga)

1 comment:

  1. Untuk mengurangi keinginan untuk mendahulukan diri sendiri, kita harus melepas ego. Ketika kita melepas ego, antara kepentingan kita dan sesama menjadi setara. Tidak penting lagi ini untukku atau untukmu. Keputusan hanya berdasarkan siapa yg lebih membutuhkan saat ini.
    Pemikiran bahwa hanya ketika kebutuhan kita sudah terpenuhi baru bisa berbagi adalah ilusi. Penyebab sebenarnya adalah ketidak setaraan pandangan kita dalam memperjuangkan antara kepentingan kita dengan kepentingan sesama. Makin tinggi ego kita makin banyak yg harus untuk kepentingan kita dibandingkan untuk kepentingan orang lain.

    ReplyDelete