Friday, January 30, 2009

Buta

Suatu hari -dalam perjalananku pulang- aku bersisian dengan seorang buta. Tahu dari mana ia buta? Well, kulihat ia memegang tongkat putih dan waktu ia menyeberang jalan tidak ia toleh kiri atau kanan, ia langsung saja berjalan. Akupun sempat sekejap mencuri memandang matanya,dan nampak ia buta. Memang tidak pakai kaca mata hitam, tapi pandangnya kosong melompong.

Hari itu aku melewati sebuah stasiun kereta bawah tanah. Ia terletak ditengah sebuah blok - kalau keterusan orang akan bertemu dengan ruas jalan lain, kalau kurang orang akan menumbuk jendela kaca tebal. Curious, kuperhatikan kawan buta kita, hendak kemana ia ? Rupanya ia setujuan dengan aku. Lantas ,tanya aku, bagaimana ia menemukan pintu masuk ke stasiun itu ? Harap jangan bayangkan pintu yang kecil, pintu nya lebar sangat, tetapi seperti kukatakan tadi, tetap orang tidak boleh kelebihan atau kekurangan berjalan.

Dalam keherananku, kawan buta kita ini berbelok pada saat yang tepat, bahkan tidak ia gunakan tongkatnya untuk memandu langkahnya. Ia berbelok seolah ia bisa melihat. 

Bukan hendak menonton bak menonton sirkus, tapi rasa keinginan-tahuku jadi bertambah: bagaimana ia menggunakan eskalator ? Terutama saat harus beranjak turun. Kalau kita perhatikan baik-baik, pada ujung bawah sebuah eskalator, empat tangga terakhir akan berjalan datar dan ini dapat menjadi penanda bagi kawan kita, ah sebut saja ia Stefi [dari Stevie Wonder dan BTW, ia wanita].  Stefi tinggal tinggal sedikit menjulurkan tongkatnya dan viola! dia akan tahu saat beranjak manakala tongkatnya menumbuk itu 4 tangga terakhir.

Kita berpisah disana, Stefi pergi naik kereta bawah tanah dan aku teruskan langkah pulang. Sudah tentu orang macam Stefi ada banyak. Mereka tidak memiliki satu indra yang kita take for granted, indra penglihatan. Tetapi dunia tidak lantas jadi gelap buat Stefi dan kawan-kawan. Mungkin dunia mereka tidak berwarna, tetapi jelas dunia mereka tidak menjadi  hampa hanya gara-gara mereka tidak punya mata.

Weh, darimana aku ambil kesimpulan ini ? Kulihat Stefie melangkah dengan sigap, berpakaian bak orang pulang dari kantor, dan kuingat ia membawa tas pula. Mestinya ada hal yang ia kerjakan. Dan lebih-lebih Stefi beranjak keluar dari rumah, menghadapi dunia. Ia memang terbatas, tapi ia tidak mau dibatasi. Begitu kurasa ungkapan yang pas

Aku pikir kita boleh belajar dari Stefi ini. Masing-masing dari kita tokh terbatas juga, namun yang jadi soal kiranya adalah : apakah kita mau terbatasi ? atau sebaliknya  kita siasati? Lebih-lebih lagi, jangan-jangan sebenarnya kita ini buta akan potensi kita yang sesungguhnya, alpa bahwa kita punya kebisaan yang menunggu kita kembangkan. 

Boleh coba sebentar tengok kedalam ?




No comments:

Post a Comment