Friday, December 18, 2009
Tiger Would
Saturday, November 21, 2009
dreaming of a white Christmas
Just like the ones I used to know
Where the treetops glisten,
and children listen
To hear sleigh bells in the snow
Friday, November 20, 2009
Dalam lautan bisa diduga, dalam Thierry siapa tahu?
Thursday, November 12, 2009
mencintai orang asing
konon manusia punya kecenderungan mencintai yang mirip dengan dia
konteksnya adalah etnis
jadi kita mencintai yang punya genetika mirip dengan kita
itu manusiawi dan biologis normal
pertanyaan : kecenderungan mencintai spt ini konon dibarengi dengan kecenderungan membenci mereka yang berbeda
yang asing
xenophobia
mungkin ini juga biologis
karena yang berbeda dengan kita punya gen yang tidak sama
hence mereka adalah saingan atas resource yang terbatas
maka, ukuran cinta humanisme adalah
bukan mencintai sesama
tetapi lebih2 mencintai orang asing
mencintai sesama - kita cuma mengikuti naluri biologis yang juga dimiliki makhluk lain
tetapi mencintai orang asing - jelas unik manusia
maka sebuah buku kuna menulis :
ketika aku lapar engkau memberi aku makan
ketika aku orang asing engkau memberi aku tumpangan
persis karena kasih itu -teorinya- justru yang melewati batas naluri
kalau mencintai orang yang baik pada kita - apakah upahmu (kata buku kuna itu lagi)
orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian
(aah teoriiiii)
Saturday, November 7, 2009
satu lilin saja
Saya yang asing dengan segenap hiruk pikuk ini menjadi terheran-heran lebih lagi. Jadi siapakah ALLAH ini ? Apakah semacam ATM yang -jika kita tahu passwordnya akan serta merta memuntahkan uang tunai sekehendak hati kita ? Jika memang demikian adanya maka ALLAH sungguh tidak lagi independen. Ia tidak kurang dari jin dalam botol yang patuh pada sang majikan pemilik botol - siapapun dia, apapun permintaannya.
Sudah tentu kita ingat ada pepatah klasik : terjadilah kehendakMU dan bukan kehendakKU - dalam kasus panitia tempatan kita kali ini kita boleh sekejap bertanya: siapa sebenarnya yang punya kehendak disini ? Saya kira panitia tidak segan untuk mengklaim bahwa apa yang mereka putuskan adalah kehendakNYA - lha sudah didoakan kok. Bagaimana tidak : kita mau merayakan kelahiran Anak TunggalNYA dengan meriah semampu kita - masak ini hal yang jelek? Dan lihatlah bahwa IA akan turun tangan membantu kami - karena bukankah yang mengetuk bagiNYA pintu dibukakan ?
Natal bukan jelek jika hendak dirayakan, tetapi mungkin pertanyaannya : dirayakan seperti bagaimana ? Jika Natal dirayakan macam 'tukang dagang' merayakannya maka yang terjadi adalah pesta bru-ha-ha extravaganza yang meriah tetapi mungkin hampa.
Kalau saya ditanya bagaimana hendak merayakan Natal ? Mungkin saya jawab begini : alangkah baiknya jika natal dirayakan dengan menyalakan lilin simbolik. Lilin simbolik teh naon? Dunia ini masih perlu lilin disana-sini, ditengah kemiskinan, korupsi, buta huruf dan putus asa. Menyalakan lilin artinya berbuat sesuatu -meski kecil dan mungkin sporadis- sebagai pernyataan bahwa harapan itu masih ada dan sungguh nyata. Bahwa kegelapan bukanlah kata final.
Apa boleh dibuat ? apa saja - mengirim buku, mengirim obat batuk, uang sekolah - apa saja. Sebatang lilin kan bisa macam-macam. Lantas kita sama-sama nyalakan - dipojok sana, sini dan dimana saja kita berada. Niscaya kegelapan akan pecah dan cahaya harapan akan muncul diufuk sana
bring on the candle
Thursday, November 5, 2009
heboh natal
Mungkin kristianitas telah ber-evolusi menjadi agama perayaan - dimana ketaatan beragama diukur dengan meriahnya lagu dan tarian, dengan khotbah yang meledak-ledak dan parade artis-artis. Bagiku kristianitas macam begini adalah sebuah kehampaan yang sia-sia. Jika ini sungguh yang dicari maka mari kita menjadi event organizer semua. Yang pandai merancang acara extravaganza dan hura-hura.
Mungkin setiap zaman punya marker yang berbeda. Kristianitas abad awal ditandai dengan martir dan pengorbanan, dengan pengkhotbah keliling dan pertobatan. Setelah menjadi agama negara kristianitas menjadi kekuatan politik yang haus kekuasaan dan atribut. Abad pertengahan kristianitas (di barat) sibuk berkelahi satu sama lain dan skisma (dibarat) meliberalisasi interprestasi. Abad mutakhir ini kristen macam apa yang tampil dipanggung dunia? Apakah karitas ala Teresa Kalkuta atau gereja pentas 'bru-ha-ha' ala amerika? Apakah kristianitas masih punya semangat hidup yang menarik manusia ? atau sekadar relik masa lalu yang kehilangan daya hidupnya ?
well, pertanyaan macam ini seperti 'jauh dari panggang dari api' - karena panitias bergegas-2 merencanakan perayaan yang super meriah. Untuk apa ? Oh tidak ada yang punya waktu untuk bertanya - lagi pula mereka sudah terbiasa untuk tidak bertanya-tanya. Natal itu artinya perayaan bukan ? semakin meriah tentu semakian menyenangkan Allah ! Iya kah ?
As if we do really know what He/She thinks
Sapere aude
Saturday, October 31, 2009
How Could Hell Be Any Worse?
Is this Hell ? Benitez masih berhasil main sulap waktu ManUtd digulung sempurna di Anfield minggu lalu, tetapi kalah dari Fulham jelas tidak membuat situasi jadi lebih baik.
If this is not hell, what could be worse than this ? Sudah tentu orang akan jerih jika sebentar-sebentar mengutuki diri manakala terpeleset kerikil. Hidup memang bukan soal berapa kali jatuh, tetapi berapa kali bangkit. Tidak ada persoalan dengan filosofi ini, hanya saja dalam kancah liga dimana prestasi (dan uang) jadi panglima, orang kerap tidak banyak diberi kesempatan untuk bangkit setelah jatuh 7 kali.
Benitez mungkin cuma punya 1 nyawa lagi. Yang 8 (katakan ia semacam kucing bernyawa 9) sudah pupus. Apakah nyawa semata wayang ini putus dikandang singa Lyon ? Kita tunggu saja. Namun kita tidak akan heran kalau Benitez di'pensiun muda' oleh klub si merah ini. Apa boleh buat, bisnis adalah bisnis bung !
Jika ramalan ini berlaku - kita ucapkan selamat jalan Benitez. Walk On !
Monday, October 26, 2009
Zen Anfield
Liverpool tiga kali berturut-turut mengandaskan MU. Kali ini di Anfield 2-0. Liverpool sekaligus menghentikan rekor 4 kali kalah berturut-turut di EPL dan Champion League. Benitez bisa bernafas lega setelah menghadapi hujan cercaan atas kinerja team asuhannya.
Pendukung Liverpool tentu dengan mudah melupakan empat kekalahan lantaran mabuk merayakan kemenangan dari sang musuh bebuyutan. Tetapi Benitez sempat berkata pula sebelum pertandingan berlangsung:
It's really important to stay calm and think about one game at a time. That has always been the message and always has to be
Semangat “think about one game at a time” adalah semangat zen. Yang selalu ingin hadir kini dan disini. Menerima setiap saat apa adanya – baik atau buruk. Tidak ada keinginan untuk melarikan diri (jika kini dan disini adalah sebuah hal yang menyakitkan) ataupun melekat (jika tengah mabuk kesukaan). Saat ini (kini dan disini) adalah yang nyata – lainnya adalah pelarian atau kelekatan.
Ingat tentang dongeng Sisipus yang mendorong batu bundar kepuncak bukit hanya untuk kemudian digelindingkan balik ? di barat dongeng ini kerap digunakan untuk menggambarkan hukuman dan kesia-siaan. Tetapi disisi Zen pandangan ini keliru. Karena ia memandang seluruh rangkain makro dalam perspektif yang bias. Yang memandang bahwa hidup tanpa kesenangan adalah sia-sia dan seolah hidup mesti diarahkan pada kesukaan belaka.
Zen kiranya memandang bahwa pelarian/kelekatakan adalah sebuah kesesatan. Jika Sisipus mengalami hanya saat ini, kini dan disini maka ia cuma melihat kegiatan jalan-jalan kepuncak bersama batu. Tidak ada bayangan akan masa lalu atau masa depan. Semuanya adalah sekadar bayangan hampa. Tidak usah dipikirkan karena tidak ada gunanya selain meracuni benak semata. Hadapi piring nasimu yang kini dan disini. Esok cuma bayangan, kemarin sudah berlalu.
Benitez yang melihat mikro membebaskan dirinya dari beban yang tidak perla disandang. Mereka memang sudah kalah empat kali berturutan, tetapi mereka punya kapacitas untuk menang (sudah dibuktikan berulang kali pula). Lalu mengana tidak memusatkan pada pertandingan yang dihadapi?
Lagipula –kembali ke Sisipus- Albert Camus pernah memberikan sisi lain dari cerita. Bahwa diam-diam Sisipus pelan-pelan berubah menjadi lebih kuat setiap kali kembali mendorong batu kembali ke puncak. Dan mungkin batu itupun aus dan menjadi lebih ringan setiap kali cerita di-reset. Sudah tentu Sisipus bisa menjadi tertekan jika manakala memusatkan pikiran pada gambaran kesia-sia-an, tetapi jika ia melihat mikro ia bisa melihat sisi lain – misal: menikmati pemandangan alam – buat apa terlalu sibuk mendorong sang batu yang nanti pun turun lagi? Sediakan waktu untuk memandang alam sekitar, menghirup udara segar. Mengalami “sekarang” – saat ini, kini dan disini
think about one game at a time. That has always been the message and always has to be
Thursday, October 22, 2009
natalan jangkrik genggong
adegan 1:
Herodes masuk
setting prajurit Jepang Tenno Heika masuk ke pelabuhan Tuban (Tu Ping Suh dalam bahasa Tionghoa) kumendan pasukan adalah seorang pendek yang bengis bernama Nang Ka Rana
ia gemar memamerkan pedang panjangnya
karena kurang percaya diri - banzai
adegan 2:
Maryam gadis dari Madiun
Maryam masih muda putus sekolah
ia gemar meronce kembang melati setaman disore hari
(lagu : rangkaian melati yang kuronce...)
adegan desa Madiun kelahiran wan Abed
lengkap dengan bebek angsa dikuali ...hehehehe
adegan 3: Yusuf
Yusuf pemuda harapan mbahnya
sejak kecil ia yatim piatu karna ortu dibedil kumpeni
Yusuf sudah cukup umur untuk menikah - tapi ia lebih suka berbakti pada si mBah nya
yang nyaris buta itu
adegan 4: gonjang-ganjing dikampung wan abed
entah siapa yang mulai itu berita
tapi dikabarkan Maryam mengandung diluar nikah
aib mengarak disekeliling rumah wan abed
bebek angsa tak bernyanyi lagi
adegan 5: maryam mengunjungi mbah buta nya Yusuf
mBah buta ini bijaksana
ia suka menasehati sesama
nDuk, jangan kau gugurkan jabang bayimu
mBah melihat tanda2 dilangit, orokmu ini akan jadi juru selamat
adegan 6: Yusuf mengantar Maryam sembari menuntun pit (sepeda)
Yusuf memang sudah ada hati pada Maryam
mereka berdua putuskan untuk pergi saja ke Malang
tempat yang sejuk dikaki gunung Arjuna
tempat lambing dan domba diangon beas
adegan 7: gembaka mbek di prigen
Prigen tempat yang sejuk
gembala suka menjaga mbek sambil dangdutan
adengan 8: kelahiran di Prigen
Stille nacht (heheh maksa)
adegan 9: pasukan Nang Ka Rana mengamuk
ada kawat dari Tenno Heika di Tokio
ada inlander yang bakal jadi raja baru
tak bisa - Tenno Heika lah sang raja
Nang Ka dengan pedang panjang plok plok mengamuk
adengan 10: lari ke Kediri
Maryam dan Yusuf lari ketempat kerabat di kediri
Yusuf diberi tahu lewat mimpi
kediri tempat mengungsi
si jabang bayi
dibawa pergi
kediri kami datang
adengan 11: Nang Ka Rana Harakiri
gagal mengemban misi teno heika
Nang Ka Rana menghabisi diri
Haik banzai
adegan 12: uwis
kok ra bar bar
iki piye...
penutup: jangkrik geng gong
SULIT UNTUK TIDAK MENCINTAI
AKU TETAP MENCINTAI LIVERPOOL APAPUN YANG TERJADI DENGAN TIM INI, BAHKAN ANDAIPUN....ANDAIPUN SAMPAI TERSISIH DARI LIGA
CHAMPION, BAHKAN JIKA SAMPAI MEROSOT KE DASAR KLASMEN DI LIGA PUN, AKU SULIT UNTUK TIDAK MENCINTAI LIVERPOOL.
MENCINTAI TIM LIVERPOOL GAMPANG KOK.....JIKA ANDA SUDAH BISA MENERIMA SETIAP KEKALAHAN, SETIAP KETERPURUKANNYA DENGAN
IKHLAS DAN SABAR, SERTA DAPAT MENYIMPAN SEMUA UMPATAN DAN MAKIAN DENGAN TEGUH, MAKA ITULAH MAKNA DASAR MENCINTAI LIVERPOOL.
ANDA, SECARA PRIBADI PUN, TAK SELALU MENERIMA KEMENANGAN TERUS MENERUS DALAM HIDUP ANDA, SUATU SAAT ANDA AKAN MENEMUI
KEKALAHAN. LALU APAKAH LANTAS KITA MEMAKI2 KEHIDUPAN INI??
AKU TAK PERDULI, APAKAH AKU SEORANG FAN ATAU SEORANG SUPPORTER....AKU TAK MENGENAL ISTILAH ITU....YANG AKU KENAL DALAM
JIWAKU CUMA SATU KATA :
AKU MENCINTAI LIVERPOOL APA ADANYA.....!!!!!
DAN SAMPAI HARI INI, AKU SUDAH MENCINTAI LIVERPOOL SELAMA 31 TAHUN......BAHKAN MUNGKIN SEBAGIAN DARI ANGGOTA MILIS INI
BELUM PADA LAHIR. TAPI AKU TAK PERNAH MENGELUARKAN MAKIAN DAN UMPATAN, AKU PERNAH KECEWA DENGAN LIVERPOOL, TAPI TIDAK
PERNAH MERUSAK SEDIKITPUN CINTA YANG AKU MILIKI UNTUK LIVERPOOL.
Rupa-rupanya ada pendukung (Liverpool) yang kecewa kalau tim dukungannya menderita kekalahan. Mereka mengumpat, memaki dan mungkin memutuskan untuk mengalihkan dukungan ke team lain. Boleh ditanya apakah mereka tidak sesungguhnya memproyeksikan citra diri pada team dukungan mereka. Kalau team mereka menang mereka mengalami "feeling good" sementara kalau kalah mereka "depresi" dan lantas protes. Ganjilnya. mereka bukan pemilik klub Liverpool, pemain Liverpool bukan sanak-saudara mereka. Tapi mereka demikian "care" dengan nasib klub ini. Demikianlah definisi "fan", alias penggila.
Menjadi fan macam begini jelas berisiko - karena kita pertaruhkan 'mood" kita pada sesuatu yang diluar diri kita. Kita menolak bergembira kalau team kita kalah dan kita bersuka cita -apapun yang terjadi di sisi lain hidup kita - kalau team kita jadi juara. Kita tidak mengontrol 'mood" kita tetapi kita macam boneka marionete yang dipermainkan sesuatu diluar diri kita.
Sekarang mari kita bahas soal surat kawan kita ini - katanya kunci mencintai adalah menerima apa adanya. Mau kalah, mau menang, biarpun degradasi sekalipun - pejah gesang nderek Liverpool. Karena itu saja yang ia kenal : AKU MENCINTAI LIVERPOOL APA ADANYA.....!!!!! Cinta yang tanpa syarat begini mungkin langka - karena orang cenderung jadi dingin - menang boleh, kalah apa boleh buat - you are my Liverpool - saecula saeculorum.
Mencintai seperti ini mengandaikan penguasaan diri. Saya memutuskan untuk mencintai engkau - apapun engkau, bagaimanapun engkau. Cinta seperti ini mensyaratkan kita sadar diri dan aktif berperan - 'mood' kita tidak diombang-ambingkan sesautu diluar diri kita - karena yang punya kendali adalah diri kita sendiri. Mencintai seperti ini mungkin kedengaran rumit dan menuntut kita keluar dari lingkaran ego kita - Tapi kata kawan kita lagi "MENCINTAI TIM LIVERPOOL GAMPANG KOK....."...well it seems it is easier said than done
walk on
Wednesday, October 21, 2009
sibuk menyembah
Sudah tentu masing-masing orang dipersilakan bersibuk dengan minat masing-masing (well minat saya adalah “menjadi heran”) tetapi izinkan saya untuk bertanya disini :apakah sebenarnya yang terjadi dalam sebuah ritual penyembahan?
Jika ditabrakan dengan omongan Yesus diatas maka kesibukan seputar ritus penyembahan menjadi pucat. Apa perlunya berlatih menyanyi, main band, menari jika kita masing-masing belum penuh damai ? Jika kita belum diubahkan (“berdamai”) maka ritus kita tinggal menjadi klise – yang kosong dan jauh. Kita mungkin saja berhasil menampilkan “pertunjukan yang dahsyat, yang riuh rendah dan penuh lampu. Tapi terus apa ? Apa bedanya dengan pertunjukan musik rock ? Yang membedakan mungkin cuma isi lirik, pakaian dan potongan rambut. Deep down inside ? I doubt it.
Boleh ditanya: jika memang demikian kapan kah kita akan menyembahNya ? Kita kan manusia – mana mungkin menjadi sempurna. Kalau disuruh sempurna dulu (“berdamai”) baru boleh menyembah ya bisa-bisa kita tidak pernah menyembah dong.
Tetapi tidakkah persembahan kita menjadi artificial jika hanya merupakan pertunjukan karnaval ? Siapa yang hendak kita pameri?
Friday, October 9, 2009
apakah ini kebetulan atau memang kehendakNya
Allah yang peduli pada patung dan "lupa" pada korban manusia yang jumlahnya ratusan kok rada ganjil dibenak saya. Manakah yang lebih bernilai ? patung atau manusia?
Allah yang memilih "membela" patung juga bisa ditanya apakah Ia menjadi netral atau memihak sekelompok kecil tertentu? Mengutip web ini solidaritas Allah kiranya adalah sebuah solidaritas yang inklusif - semua saja dirangkulNya, bukan cuma segelintir saja. Memang kedatangan Mesias tidak dapat dilepaskan dari garis perjanjian Allah dengan bangsa Israel, namun tidaklah berarti bahwa penyelamatan Allah berakhir hanya pada bangsa Israel. Bangsa Israel dalam hal ini adalah instrumen dari visi dan Missi Allah untuk pembaharuan seluruh ciptaan .
Kalaupun hendak dipertahankan bahwa Allah sungguh memihak maka Ia memihak yang malang, miskin dan dilupakan. Cukup jelas bahwa Ia tidak melihat lebih jauh - apakah yang miskin itu beragama A atau B, dsb. Allah yang macam ini kiranya akan cukup sibuk karena orang miskin - seperti kata Yesus - selalu ada padamu (hence ada dimana-mana). Saya kira dari sisi sini Allah seperti ini tidak punya waktu untuk memusingkan patung dan akan bergegas mendapatkan mereka yang kena bencana di Padang sana
Thursday, September 24, 2009
It punches us straight in our optimism
Skandal ‘crashgate’ Renault menambah daftar panjang kecurangan dalam dunia olah-raga. Kata majalah Time kecurangan macam itu menohok optimisme kita. Pertandingan olah-raga adalah semacam pementasan dambaan manusia untuk melebihi batas-batas alaminya. Citius-Altius-Fortius yang jadi semboyan olimpiade menunjukan kerinduan ini.
Sudah tentu didalamnya ada asumsi bahwa kemenangan dicapai dengan upaya yang jujur. Karena apa maknanya jika kemenangan (atau progress) diraih dengan cara yang kotor ? Apa artinya memenangi lomba lari sprint jika engkau memakai sepatu roda berpropeler roket?
Sayang dunia olah-raga modern berkait erat dengan uang (dan politik) dan tujuan jadi menghalalkan cara. Maradona menggunakan tangannya (dan malah menyebutnya sebagai “tangan Tuhan”) manakala
Apa boleh buat uang (dan politik) tidak mengenal “moral” – Pecunia non olet, kata orang. Uang tidak berbau. Uang dari hasil penjualan barang busuk sama harum dengan uang hasil kerja keras. Maka persekutuan antara olah-raga dengan uang memang rawan penyelewengan.
Disisi lain, olah raga amatir (yang by definition nir laba) kalah diminati akibat kalah kualitas dengan yang professional. Olah-raga professional (baca : uang) jelas lebih menarik atlet berkualitas. Siapa yang punya kesempatan berlatih keras kalau juga masih harus mencari nafkah hidup sehari-hari ? Nyaris tidak mungkin.
Maka olah-raga professional –apa boleh buat- memang tidak 100% fair, dan memang tidak mungkin juga. Manusia bisa salah (misal : wasit tidak melihat kecurangan Maradona dan sepakbola tidak mengenal video instant replay) dan lebih-lebih manusia bisa curang. Maka, kembali ke topik awal soal optimisme dan keinginan manusia untuk menembus batas, kiranya batas tetap perlu. Batas moralitas, batas mana yang fair dan curang. Batas ini harus tetap dijaga kalau optimisme sejati ingin ditegakkan. Kalau tidak piala kemenangan kita tinggal jadi bukti bagaimana kita sudah lebih pandai menipu diri sendiri.
Monday, September 14, 2009
You should never take emotion out of sport
Hughes ada benarnya juga. Kalau emosi dilarang dalam sport maka orang menonton seperti menonton demo masak atau belajar senam pagi, dingin saja dan mungkin sambil lalu. Emosi membuat game jadi menarik, adrenalin dipompa dan hidup terasa lebih hidup.
Sudah tentu Hughes bukan guru spirituliatas macam Eckhart Tolle yang berkata bahwa emosi adalah pe-raga-an dari pikiran. Dan perasaan (negatif) yang dialami akan meninggal jejak/residu dalam tubuh kita. Residu ini akan bertumpuk dan menjadi apa yang dia sebut sebagai pain-body. Kalau residu ini dibiarkan maka ia akan menguasai diri kita dan membuat kita malah ketagihan mengalami emosi itu lagi dan lagi. Maka perseteruan (antar klub atau apa saja) bisa mendarah daging dan umumnya meningkat – kalau tidak terkendali bisa menjadi tawuran. Karena yang bicara bukan benak yang jernih tetapi emosi yang keruh.
“Dosa” Manu malam itu bukan cuma itu. Ia juga mencederai Van Persie. Van Persie mengatakan Manu sudah menodai sepakbola yang “we all love”.
Kembali ke Tolle. Menurut Tolle cinta bukan emosi. Emosi positif macam cinta dan kebahagian bukanlah emosi. Cinta katanya adalah saat-saat dimana kita mengalami seolah segala sesuatu berhenti bergerak (stillness). Bayangkan kita mengalami sekian sekon keheningan ditengah badai yang gaduh. Tiba-tiba kontras yang sangat ini membuat kita mengalami damai yang membuat kita speechless
Dalam sepakbola momen-momen seperti itu sungguh terjadi. (sebagai misal Ronaldinho yang mendapat salut dari pendukung Real Madrid). Saat orang bertepuk tangan bagi pemain lawan yang luar biasa kita tergetar dan terharu. Sepakbola macam itu menjadi macam momen keagamaan dimana manusia melampaui naluri egoistiknya dan tenggelam dalam kekaguman akan keindahan tarian yang kita sebut sepakbola.
Sepakbola macam itu yang kita dan Van Persie cintai. Disana kita tidak bicara soal menang atau kalah, tetapi soal fair play, soal kekuatan mental, soal kematangan strategi, kepala dingin dan determinasi. Soal rise above ourself.
You should never take emotion out of sport, baiklah. Tetapi jangan pula berhenti disana.
Wednesday, September 9, 2009
Pewartaan Tanpa kata-kata?
Kembali ke topik kita : Mungkin kah membagikan pengalaman akan Allah melulu dengan perbuatan? Bisa saja, tetapi Allah yang disimpulkan oleh mereka yang mengalami perbuatan kita belum tentu sama dengan Allah yang hendak kita wartakan.
Sebagai makhluk yang dikutuk untuk selalu mencari makna akan segala hal yang terjadi kita akan tergoda untuk mencantelkan makna dan makna adalah kata-kata. Ingat pula bahwa kita tidak menilai dunia dengan lensa yang jernih. Kita mulai dengan asumsi dan syak wasangka.
Misal Beata Teresa dari Kalkuta. Dia menyentuh yang dibuang orang, merawat yang disepak masyarakat. Jika ia tidak memakai baju susternya, tidak pernah terlihat berdoa, tidak sowan ke Vatikan – apakah orang akan sampai pada Tuhan Yesus ? saya ragu. Paling-paling orang akan menyimpulkan Beata Teresa sebagai seorang yang baik. Orang memang bisa bertanya : dari mana dia punya semangat yang luar biasa ini ? Nah – disini kata-kata terpaksa diucapkan. Kecuali jika orang hendak dibiarkan untuk mengambil kesimpulannya sendiri-sendiri
Gereja katolik konon disebut mater et magistra (ibu dan guru). Sebagai guru ia adalah penerjemah tunggal perihal wahyu Ilahi. Dan Ia berbuat demikian lebih-lebih dengan kata-kata. Gereja Katolik bukan macam guru senam yang berdiri didepan memberi contoh gerekan aerobik, ia lebih macam komentator yang menterjemahkan makna lukisan abstrak. Dan hanya ada satu terjemahan yang benar atas lukisan abstrak tadi. Pengalaman akan Allah oleh gereja diterangkan, dijabarkan, diberi ilustrasi dengan kata-kata.
Yang kerap terjadi saya kira adalah orang lebih sibuk dengan kata-kata. Orang berdebat, berpolemik dan menghabiskan banyak waktu dan energi demi kata-kata (termasuk blog ini). Apa boleh buat, orang ingin menjamin bahwa interpretasi sebuah peristiwa tidak sesat. Supaya tidak terjadi macam peristiwa gugatan lawan-lawan Yesus.
Andaikan kesibukan akan kata-kata ini boleh kita hentikan. Andaikan ada masa puasa berkata-kata. Andai pewarta itu lebih-lebih berarti orang yang berbuat. Mestinya dunia akan lebih indah lagi bagi saya dan anda. Karena perbuatan ternyata lebih mudah dipahami daripada kata-kata. Karena action speaks louder than words
Restless Till We Rest in You
Maka orang beragama kiranya meyakini bahwa orang Atheis dan Agnotis akan selalu gelisah dan disaat terpojok mereka akan serta merta mencari perlindungan. Ungkapan yang kita dengar adalah “There are no atheists in foxholes” (terjemahan bebas: tidak ada yang kuasa tetap menjadi atheis saat ia berlindung dari desingan hujan peluru)
Mungkin benang merahnya demikian : disatu sisi Allah adalah kerinduan, disisi lain Ia adalah kebutuhan mutlak. Kalau kita ingat (lagi-lagi) Maslow sepertinya kedua hal ini adalah bagian continuum dari hirarki kebutuhan. Allah adalah kebutuhan mutlak yang dalam tingkat tinggi menjadi kerinduan.
Allah yang sebagai kebutuhan adalah Allah yang kita minta memenuhi keperluan sehari-hari, kelulusan ujian, kesembuhan penyakit, enteng jodoh dan menang undian. IA bak ATM yang provided kita tahu passwordnya (doanya bener, sajennya pas, puasanya penuh) akan serta merta memberi kita apa yang kita mau. Dan kita tentu percaya Dia Maha Kaya dan Maha Pengasih. Ia memberi hidup dan ia mengasihi umat (baca : mereka yang memeluk agama saya saja) dengan teristimewa. Haleluya !
Dalam level yang lebih canggih Ia menjadi kerinduan. Dalam level itu kita kurang peduli lagi dengan hal-hal material, maklumlah kita mencari yang hakiki. Yang esensi. Anehnya dalam dimensi ini Allah yang tegas sosoknya dalam paradigma Allah sebagai kebutuhan kerap menjadi
sebuah misteri. Santo Yohanes dari salib yang juga kudus mengatakan bahwa Allah itu macam malam gelap. Mungkin sedemikian gelap sehingga kita tidak bisa melihat jari kita sendiri. Jari yang sebelumnya kita gunakan untuk menunjuk itu Allah kebutuhan yang jelas terang benderang.
Seorang Aquinas yang tidak kurang pula kudusnya memutuskan berhenti menulis. Opus Magnumnya (Summa Theologia) konon tidak tuntas selesai. Mendadak saja ia memutuskan untuk berhenti menulis. Orang bilang ia melihat buku tebal yang kini jadi panutan banyak teolog adalah macam jerami belaka. Tentang Allah kita tidak tahu apa-apa. Orang yang berkata tentang Allah tidak tahu siapa Allah. Orang yang tahu Allah tidak berkata-kata.
Lantas siapa itu yang didamba Santu Agustinus sebagai kerinduan hatinya ? Siapa itu yang digambarkan Santu Yohanis dari salib ? Mungkin orang yang telah menemukan tidak kuasa lagi memerikan nya. Dan sebaliknya mereka yang belum berjumpa justru sibuk berkelahi tentang hal yang masih berupa angan-angan belaka. Angan-angan mu tentulah salah, karena tidak sama dengan angan-anganku ! Allah itu seperti ini dan sama sekali tidak seperti itu!
Cerita de Mello : seorang yang bepergian jauh ditanya apa yang ia lihat dinegeri yang jauh. Orang itu menjawab : oh saya melihat taman yang indah. Bagaimana rupanya ? Bunga apa ditanam disana ? Orang itu menjawab lagi : saya tidak sempat memperhatikan ini atau itu – saya mengalami keteduhan yang amat sangat.
Pengalaman akan Allah yang sungguh kiranya melebihi kemampuan bahasa untuk memerikannya. Allah yang diperikan dalam kata apakah sungguh Allah ? (sibodoh sibuk melihat jari yang menunjuk pada bulan – dan melupakan bahwa itu bukan bulan)
KL 08 Sep 09
Thursday, September 3, 2009
blurr
Wednesday, September 2, 2009
leap of faith
Pada kerangka Maslow ini kita bisa pertanyakan : lalu bagaimana dengan agama ? Apakah pada agama bisa pula ditempelkan label "survival" atau "aktualiasasi diri" ? Sepintas bisa kita setujui thesis ini. Jika agama dialami sebagai bagian dari identitas sosial (orang sekampung agama sama semua, masak saya tidak?), atau demi keamanan (pemerintah hanya mengakui agama A,B,C,D,E dan lain tidak) maka agama direduksi jadi ritus yang mestinya tidak mendalam, tidak mendarah daging. Macam sampiran yang bisa dilepas mana kala angin bertiup kearah yang berlawanan.
Harap ingat bahwa kita semua mestinya mulai dengan level ini. Waktu kita kecil agama disandangkan begitu saja pada diri kita. Kita yang dibaptis waktu bayi tidak punya pemahaman lebih dari sekadar hadir dan kena ciptratan air dingin. Ritus tidak berarti apa-apa selain keramaian yang samar-samar kita ingat.
Terpulang pada kita masing-masing untuk menaikan level agama dalam hirarki kebutuhan kita. Sebagian mungkin memilih menyibukkan diri dengan hal-hal dalam hidup dan membiarkan agama tetap pada tingkatan dasar. Yang lain mungkin serius dan mencoba memahami lebih jauh dan lebih dalam. Tetapi -apapun pilihan kita- yang kerap terjadi adalah kita tetap tinggal dalam asumsi yang tidak kita pertanyakan lagi: bahwa beragama itu perlu - bahwa keadaan "tanpa agama" adalah sebuah pilihan pula.
Dawkins saya kira menulis ini dalam best seller nya "God Delusion" - Atheisme adalah sebuah pilihan pula dan adalah pilihan yang valid. Tetapi disisi lain - Atheisme mengandaikan sebuah kesibukan intelektual pula - karena ia mengandaikan kita tahu bahwa sesuatu itu tidak ada. Tetapi siapa boleh memberi kepastian ini tanpa sepotong pun keraguan ? Jika Allah tidak ada karena doa saya tidak terkabul maka semua orang beragama dengan cepat dapat memberi argumen balasan atas nama Allah.
Kiranya yang jadi soal adalah Allah (entah ada atau tidak) berada dalam dimensi yang lain dengan kita. Segenap diskursus tentang Allah bisa dikategorikan sebagai monolog semata. Entah ada atau tidak -tidak bisa dibuktikan dengan eskperimen atau logika (kitab suci jelas out of question karena ia tidak mungkin menegasi keberadaan dirinya sendiri - tanpa Allah kitab suci jelas tidak mungkin). Tidak bisa kita adakan eksperimen (entah dengan laboratorium atau logika) yang hasilnya entah menguatkan atau menegasi Allah. Kira saya semua pembuktian atau negasi selalu mulai dengan kesimpulan (either Allah ada atau tidak) yang sebenarnya mau dibuktikan.
Pilihan yang kerap diambil mungkin adalah agnotisisme yang rada malas. Allah ada atau tidak - entahlah, agnotis tidak merasa bahwa hal ini bisa dibuktikan atau dinegasikan. Lebih sering lagi orang tidak peduli - dalam tingkah polahnya dia menganggap bahwa hidup itu cuma kini dan disini. tetapi hidup yang tidak kini dan disini memang hal yang dibahas agama. Agama A mengatakan hidup setelah kematian adalah pengadilan. Agama B bilang hidup adalah siklik yang tidak ada habisnya kecuali engkau melompat keluar lingkaran.
Klaim A atau B jelas diluar domain pengamatan sehari-hari kita. Maka dalam agama ada hal yang disebut iman dan iman adalah sebuah lompatan tanpa bukti. Kalaupun ada bukti tetap merupakan bagian dari kesimpulan yang sebenarnya mau dibuktikan. Pengandaian terbesar dari segenap lompatan iman ini kiranya adalah bahwa dunia ini lebih luas dari apa yang nampak dimata, lebih jauh dari seupil pengalaman kita sehari-hari.
Entah kita putuskan untuk melompat atau tidak tetap ada kenyataan hidup sehari-hari yang kita perlu sikapi. Dan entah manapun pilihan anda: entah agama A atau B, entah atheis atau agnostik: memilih perdamaian dan kesejahteraan bersama adalah jelas pilihan yang paling waras. Entah ada atau tidak hidup diseberang nanti, hidup yang sekarang ini lebih indah kalau kita jalani dalam kedamaian
KL 02 Sep 2009
Friday, July 17, 2009
soal doa
Thursday, July 9, 2009
Salib Seneca
Thursday, July 2, 2009
it's only rock 'n roll
Friday, June 26, 2009
Wacko Jacko Sio-sio
reunion
Tuesday, June 23, 2009
apakah ini cuma soal intern belaka?
Anyway- manusia yang tidak bebas tidak mungkin mencintai - karena mencinta dalam paksa atau demi imbalan adalah cinta yang palsu. Maka Allah yang adalah cinta sejati tidak bisa tidak selaian mendesain manusia bebas yang bisa berdosa.
Lha manusia yang berdosa ini tidak selamat dan oleh sebab itu ia perlu diselamatkan. Maka juru selamatpun dijadikan bagian rencana keselamatan. Sejak semula, sejak selama-lamanya.
Kalau logika ini benar maka the whole bussiness of keselamatan bisa dipahami macam soal intern Allah menghadapi desainnya sendiri i.e. manusia yang bebas.
Satu langkah lanjutan dari logika ini adalah : hal keselamatan adalah given. Allah yang tidak bergegas menyelamatkan adalah bukan Allah -karena Deus Est Caritas. Oleh sebab itu tidak perlu terlalu merasa bersalah kalau berdosa - tokh itu bagian dari desain.Lebih bagus mrencanakan untuk menjadi lebih baik -alih-alih menenggelamkan diri pada rasa bersalah ("karena dosaku IA mati"- not necessarily true)
Aku kok merasa logikaku ini tidak sejalan dengan katekismus. Disisi lain kupikir agama yang menekankan pada pasal "rasa bersalah" atau "hutang" kok bikin kerdil juga