Thursday, April 30, 2009

Are we doing a cabaret or are we actually celebrating the Eucharist?

Menurut berita ini, pastor-pastor di Inggris diminta untuk menyapa "selamat pagi" pada umat sebelum memulai misa. Pasalnya, ucap salam ini melutur kehormatan misa sebagai sebuah ritus nan agung. Orang memang lantas bertanya pula: Apakah kita hadir untuk merayakan misa atau hadir untuk memeragakan ritus ?

Pada mulanya ekaristi mestinya adalah sebuah pertemuan umat biasa. Dimana peristiwa Yesus dirayakan, dimana iman dialami dalam kebersamaan. Namun waktu kumpulan informal menjadi menyebar, formal dan hirarkik - perjamuan menjadi upacara yang rigid dan resmi. Mungkin sekali Yesus pun bisa merasa asing manakala hadir dalam ekaristi.

Tetapi haraplah maklum adanya, bahwa ekaristi adalah perayaan resmi. Menyapa Tuhan sebagai komunitas jelas bukan main-main, begitu dalihnya. Tatacara, protokol, aturan mesti dihormati. After kita berhuhungan dengan Allah semesta langit dan bumi.

Namun jika manusia yang hadir disana dilupakan dan dianggap jadi ornamen orang bisa kebablasan pula. Karena Allah semesta ini telah jadi manusia. Sama dengan kita semua. Siapatah kita yang berpretensi tahu apa mauny kita Allah ? sementara Sang Agung malah menjadi salah satu diantara kita ?

Yang mengajarkan memanggilNya dengan sebutan amat akrab Abba. Jangan-jangan kita malah menjauhkan diri dari Nya yang sesungguhnya mau dekat akrab dengan kita. 

Wednesday, April 29, 2009

if its impossible to play beautiful football

Tentu sulit sekali menembak kapal selam dari udara kalau ia menyelam dan tidak pernah muncul kepermukaan. Semalam Chelsea yang berseragam kuning - bak yellow submarine yang asyik menyelam dan menolak untuk bermain terbuka. Alhasil pertandingan menjadi sama sekali tidak menarik - karena satu team menolak untuk bermain dan mengandalkan taktik sepanyol (separo nyolong) tukang beling yang menyabet jemuran jins kalau tidak ada yang melihat.

Guus amat bangga atas "permainan" anak didiknya. Mereka adalah pahlawan. Mungkin perasaan bangga ini juga dimiliki fans Chelsea. Demi tiket difinal maka sepakbola indah yang konon menjadi cita-cita sang pemilik klub harus sejenak dilupakan. Apa boleh buat, tujuan menghalalkan cara.

Guus tidak punya pilihan lain, sebagaimana pendahulunya Felipao pernah berujar : "I want to say something to Chelsea fans we play beautiful football but we need three points every game. Sometimes, if its impossible to play beautiful football, well follow the three points."

Kemenangan (dalam hal pertandingan semalam - hasil seri) adalah lebih penting dari permainan. Mungkin kalau boleh tidak usah main tapi menang.

Jelek sekali memang. Tapi Guus mungkin tidak sempat berdebat soal etika, ia sibuk menggodok strategi bagaimana menghadapi Barcelona di London. After all, bermain dikandang Chelsea harus memaksakan menyerang, karena satu gol dari Barcelona bernilai lebih tinggi jika dibuat dikandang lawan. Jurus menyelam tidak bisa lagi diandalkan. Mereka harus bermain lebih terbuka, dan Barcelona mungkin punya peluang untuk menang disana.

Tapi prinsip dasar sepakbola modern mungkin tetap sama: tujuan menghalalkan cara. Mungkin skor test MACH-IV pasukan Chelsea semalam amat tinggi. Tes ini menghitung skala Machiavellianism seseorang. Mereka yang berskor tinggi kiranya terisnpirasi Machiavelli yang mengajarkan bahwa jalan apa saja boleh ditempuh demi tujuan.

Tuesday, April 28, 2009

The power of words

Ini kiranya soal citra dan informasi. Sekelompok pengusaha babi rupanya khawatir penghasilannya menurun kalau orang ogah makan daging babi gara-gara berita flu babi merebak kemana-mana. Berbeda dengan peristiwa flu burung dimana orang tetap makan daging ayam. Burung tokh bukan ayam dan ayam bukan burung, mungkin begitu logikanya.

Shakespeare jelas salah kalau meremehkan arti sebuah nama. Bunga mawar memang tetap bunga mawar meski dipanggil dengan nama berbeda. Tetapi flu babi berpotensi menghentikan orang untuk mengkonsumsi daging babi (dan mungkin segala hal yang berkait dengan babi)

Dari sisi sini kita bisa lihat bagaimana berkuasanya "kata-kata" itu. Juga kita lihat bahwa kita kerap "tidak berpikir" melainkan bereaksi spontan berdasar khazanah makna yang sudah kita simpan dibenak kita.

Kita gunakan kata penghalus untuk menyamarkan keadaan - bensin tidak naik, cuma "disesuaikan". Bukan bekas pejabat tetapi mantan pejabat. Dsb. Sudah tentu bensin naik dan bekas pejabat bukan menjabat lagi, tetapi kenyataan mungkin terlalu keras dihadapi sehingga seolah penghaluskan dapat menyelesaikan masalah.

Sudah tentu, istilah bisa salah kaprah. Misal Iklan Indosat di harian Kompas tertanggal 26 April 2009 hal 17 yang berbunyi: "Sejak memakai Blackberry saya jadi suka autis. Namun ternyata menjadi 'autis' itu sangat menyenangkan. Terima kasih kepada PT Indosat yang telah memberikan saya kesempatan menikmati BlackBerry Storm" --Marcel (artist). Marcel jelas tidak paham apa makna kata autis (dan lantas mengundang protes)

Pendeknya - kata-kata berkuasa melukis kenyataan - dan kita selalu bereaksi terhadap kata-kata, never mind the reality. Dalam domain pribadi tentu kita perlu mawas diri - aware - terhadap apa sebenarnya yang hendak disembunyikan atau disamarkan oleh kata-kata. Tetapi menyangkut ranah publik tentu perlul bergiat pula untuk meluruskan dan mencerahkan (misal kasus komentar Marcel yang dikutip diatas)

(support puterakembara http://puterakembara.org/archives9/00000070.shtml)

Monday, April 27, 2009

dipastikan tidak akan lulus

Dua tahanan yang mengikuti ujian nasional konon dipastikan tidak akan lulus, pasalnya : "secara kepribadian atau emotional quotient (EQ) mereka sudah gagal"


Apakah mereka memang produk gagal?

Kata de Mello SJ perbedaan kita dengan mereka adalah "in what we do and don't do but not in what we are". Konon Yesus merasa kerasan diantara pendosa karena Ia tidak merasa berbeda dengan para pendosa ini. Bedanya : pendosa berdosa; Yesus tidak, tetapi ya cuma itu saja bedanya.

Tentu sikap Yesus sama sekali tidak umum. Kita tentu cenderung memandang diri lebih baik dari mereka yang apes menjadi "sampah masyrakat" (wahai gelar yang amat tidak sedap didengar). Tetapi Yesus memang spesialis melihat yang tidak umum. Ia mencari Zakeus dan sedia menginap dirumahnya, Ia obrol dengan perempuan yang dipandang minor oleh para tetangganya. Yesus cuek dan melihat manusia sebagaimana manusia adanya, dan bukan dalam kacamata masyrakat yang kerap tidak obyektif.

Maka sudah pasti Yesus tidak suka dengan mereka yang munafik, pura-pura bersih padahal busuk didalam. Prinsip Yesus : jangan suka main kritik, coba tengok kedalam. Siapa yang tidak pernah berdosa - boleh melempar batu yang pertama.

Well, tentu saja tidak ada yang 100% murni. KIta semua manusia yang bisa salah dan malah bisa jadi amat jahat. Tetapi siapa punya keberanian melihat jujur demikian ? Kita terlalu rapuh untuk melihat manusia sebagaimana adanya.

Thursday, April 23, 2009

konselebrasi

Seorang teman melaporkan bahwa dikotanya baru-baru ini " ...ada Paskah bersama 3 paroki sekota itu dan kira-kira ada enam ribu orang dengan misa selebrasi oleh sang Uskup dan pastor dari berbagai paroki..." satu kata : Meriah. Sambungnya lagi : " yang terlihat dari misa mingguan ... kian membludak, jalan salib juga sangat diminati, terlebih Trihari suci ... luar biasa. Dan dengan koor yang menggema ruang ... sepertinnya Pujian itu bersatu dengan nafiri para malaikat dengan lagu Alleluya ... luar biasa". Dua kata : Luar Biasa

Saya tidak terlalu berminat pada liturgi, meski konon liturgi adalah inti-sari Iman. Kalau mau melihat iman dipanggungkan lihatlah liturgi. Dalam liturgi iman di"tari"kan. Umat hendaknya serta-merta terlibat dan sama mengalami tarian itu. Sarat simbol dan pesan bawah sadar.

Kalau ada enam ribu orang berkumpul dan bersama-sama menari apa tidak heboh ? Dalam komunitas iman menjadi macam digemakan dan terasa lebih menggigit. Macam dalam trans kita bisa jadi terhipnotis dan mengalami macam keluar dari badan kita. Dan batas-batas macam diretaskan - kita menjadi satu dengan semesta.

Pengalaman lepas batas ini pula yang konon dialami manakala orang bermeditasi atau khusuk berdoa. Aku yang kecil menjadi larut dalam kebesaran kosmik. Dan orang menjadi hilang dalam larutan semesta yang disebut Allah, Tuhan atau apalah lagi namanya.

Namun pengalaman "religius" ini tidak cuma dialami ditempat diibadah. Tetapi juga distadion sepakbola. Kita simak disana orang bersorak, bernyanyi, menari dan bersatu hati. Disana harapan dan kekecewaan melarutkan penonton dan meruntuhkan individualitas. Dan pengalaman berasa ditengah kerumunan yang tengah beribadah memang bisa mendirikan bulu roma.

Dan pada kesempatan ini mari kita kutip seorang Perancis bernama Wenger: "I have big respect for the Anfield crowd. I will never forget the day when we were leading 5-1 there [in the League Cup in 2007] and they were chanting 'You'll never walk alone' like one man. When you are a manager and you know what you usually get when you are 5-1 down, you have only respect for the city. That would be a bit more difficult at the Emirates."

Saat orang beribadah bersama - tentu mereka tidak berjalan sendiri


Mathematically, there may still be a chance

Hiddink melempar handuk tanda menyerah manakala tim Biru London ditahan tanpa goal oleh tim biru dari Merseyside. Katanya : “Mathematically, there may still be a chance. But we have to be realistic".

Ada saat menjadi optimis, kadang kita harus pesimis, tapi yang konstan adalah menjadi reliatis. Realitis tetap harus dijaga, entah kita memilih optimis atau pesimis. Tentu asumsinya adalah bahwa pilihan-pilihan ini kita lakukan dengan sadar.

Yang kerap terjadi adalah tanpa sadar kita bias pada satu pilihan - kita cenderung pesimis melulu atau optimis membuta. Lupa bahwa menjadi bias macam ini adalah jelas tidak selalu menguntungkan. After all, pesimis atau optimis adalah sekadar cara memandang belaka. Kenyataan tidak pernah telanjang kita lihat, kenyataan selalu terbungkus lapisan khayal yang kita tempelkan tanpa sadar.

Misal sebuah gelas bervolume 100 ml yang berisi 50 ml cecair bisa disebut setengah kosong (pesimis) atau setengah penuh (optimis), tetapi yang pasti benar adalah 50 ml. Baik pesimis ataupun optimis gagal mengisolasi kenyataan pada kini dan disini, karena keduanya memberi interpretasi lanjutan yang belum tentu benar. Yang pesimis (setengah kosong) memprediksi bahwa sebentar lagi isinya menguap habis, sementara sang optimistis (setengah penuh) menyangka bahwa sebentar lagi akan ada isi ulang. Keduanya gagal mengisolasi kenyataan pada kini dan disini (50 ml).

Menjadi pesimis diperlukan kalau resiko kegagalan adalah maut. Misal : pilot perlu melakukan cek dan ricek sebelum menerbangkan pesawat. Ia tidak boleh optimis bahwa semuanya berjalan lancar. Tetap perlu di ricek lagi. Optimisme perlu manakala orang mengalami kegagalan. Optimisme mendorong kita untuk mencoba lagi dan tidak menyerah. Namun demikian keduanya perlu ditemani dengan semangat menjadi realistis.

Realistis yang hendak melihat realita sebagaimana adanya tentu tidak mudah. Lagi-lagi karena kita gemar memberi interpetasi pada kenyataan. Kuncinya kiranya adalah awareness. Kesadaran. Tiap kali kita menilai sesuatu coba perhatikan apakah kita mengatakan itu "setengah kosong"atau "setengah penuh"? Nah, kalau kita sempat berkata salah satu dari kedua pilihan itu segera ambil gelas ukur !

Wednesday, April 22, 2009

The enemy of my enemy is my friend

Menonton pertandingan Liverpool akhir-akhir ini mungkin dapat berakibat buruk bagi kesehatan kita. Yang pertama kita bangun dini hari, yang lebih fatal lagi adalah pertandingan yang menegangkan. Semalam lagi-lagi kita disuguhi extravaganza pesta gol (Liverpool 4 - Arsenal 4), dan Liverpool yang jelas membutuhkan kemenangan harus puas dengan hasil seri yang itupun diperoleh di injury time. Sport Jantung !

Benitez dan pasukannya hanya berhasil meraih satu angka, dan mimpi kejayaan Anfield jadi terasa menjauh. Memang masih tersisa beberapa pertandingan (yang mestinya lebih mudah dibandingkan pertandingan semalam), tetapi Setan Merah boleh bernafas lebih lega.

Yang mau dicatat disini adalah komentar menejer perancis bernama Wenger itu: "Liverpool should not worry," katanya, "because we will try to win at United too." Memang repot menggantungkan nasib pada tangan orang lain, tetapi apa hendak dikata, itulah keadaannya. Wenger tidak main-main kiranya, karena mereka akan berhadapan dengan sang Setan dalam laga Champion. Pertandingan semalam dapat dipandang macam ajang latihan bagi mereka, dan hasil positif semalam menjadi bekal mereka menjajal peruntungan di liga akbar eropa ini. Mereka kiranya menjadi lebih percaya diri. Karena meski tampil tanpa sederet nama utama, mereka berhasil mencuri angka vital dari Sang Merah.

Liverpool hanya bisa berusaha memenangi sisa pertandingan dan berharap bahwa segenap team calon lawan United bersatu hati untuk berkelahi habis-habisan menumpas Sang Setan. Pepatah lama mungkin berlaku disini "The enemy of my enemy is my friend".

Walk On

Monday, April 20, 2009

Tidak Siap Gagal

Konon ada ratusan ribu orang akan mengalami gangguan jiwa. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak berhasil mengumpulkan dukungan pemilih dalam Pemilu baru-baru ini. Sesungguhnya mereka ini tidak siap mengalami kekalahan. Setelah menginvestasikan dana, tenaga dan harapan yang tidak sedikit tidak heran kalau kegagalan ibarat bunyi lonceng kematian.

Kesuksesan dan kegagalan kiranya adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Kalau mau sukses maka kita perlu bersiap menghadapi kegagalan. Konon orang yang sukses adalah mereka yang bangkit satu kali lebih banyak dari pecundang. Pencundang menjadi jerih dan malas mencoba lagi, sementara pemenang berupaya bangkit lagi dari kejatuhan. Kalau kamu sepuluh kali jatuh bangunlah sebelas kali.

Maka yang selalu perlu dikerjakan adalah langkah manejemen resiko. Apa yang kita lakukan jika kita menghadapi kegagalan ? Bagaimana meminimalkan resiko? dan seterusnya. Kegagalan tidak perlu jadi kata akhir kalau kita selalu menyimpan plan B. Kecuali kalau semua sudah dipertaruhkan dan menjadi hangus - mungkin kita bisa terguncang dan sakit jiwa. Dan jelas tindakan pertaruhan mencerminkan ketidak-bijakan kita.

Mungkin karakter bondo nekat adalah salah satu kekayaan bangsa ini. Mungkin kalau tidak nekat kita tidak pernah merdeka. Namun demikian asal seruduk bonek tidak selalu pas untuk setiap keadaan. Ada saatnya kita perlu duduk dan berhitung.






Tuesday, April 14, 2009

I always felt we tried to take it a bridge too far

Film "A Bridge Too Far" mengisahkan satu episode kegagalan misi ambisius pasukan sekutu menembus pertahanan pasukan Jerman dengan cara menguasai jembatan-jembatan strategis diwilayah Belanda. Ada berbagai sebab kegagalan misi ini, dan boleh dibilang sesungguhnya pasukan sekutu telah 90% berhasil menjalankan siasatnya. Namun 10% yang tersisa tetap berarti kegagalan. Dan kita dengar kalimat itu: "I always felt we tried to take it a bridge too far"

Malam tadi Liverpool disingkirkan saingan birunya untuk kedua kalinya dalam dua tahun berturut-turut. Laga klasik yang heroik ditampilkan Sang Merah. Setelah sempat unggul Kop harus menelan kekalahan. Malam tadi, Stamford bridge is a bridge too far bagi Liverpool.

Yang mungkin bisa dicatat bahwa pasukan Benitez datang untuk berkelahi habis-habisan. Ketinggalan 1-3 agregat setelah kalah di Anfield tidak membuat Sang Merah menyerah. Liverpool seolah meyakini bahwa bagi mereka yang ada cuma kerja keras 100% dan tidak boleh kurang dari itu.

Mungkin begitu pula hidup harus dijalani. Masa depan tidak selalu bisa kita kontrol sekehendak hati kita. Akan selalu ada faktor yang lepas dari pengamatan, entah seteliti apapun kita. We're all human. Tetapi apa yang bisa kita kendalikan seyogyanya kita upayakan supaya memberi hasil yang baik.

Orang bilang : pray as if it is 100% up to God but work as if it is 100% up to you! Biarkan Tuhan mengurus hasil masa depan kita, tetapi kepada kita telah diberikan kemampuan untuk mengatur sejauh kita bisa. Dan itu berarti kerja keras 100% dan tidak boleh kurang dari itu.

Walk On !


Monday, April 13, 2009

Was that a smile Rafa ?

Benitez nampak tersenyum menyaksikan anak asuhnya, Torres, mencetak gol ke-2 nya dipertandingan berat sebelah melawan Black Burn. Kesebelasan papan bawah itu digilas 4-0 dengan mudah. Big Sam sang pelatih yang malang itu mengaku bahwa kesebelasannya sudah duluan jerih bermain di Anfield, kandang Sang Merah siang itu.

Kemenangan Liverpool bukan hal langka, yang langka adalah senyum Benitez. Sikap baku Benitez yang kita lihat selama ini adalah dingin dan penuh catatan (dia membawa pulpen dan kertas dan kerap nampak mencatat sembari menyaksikan pertandingan). Terlalu serius dan mungkin tidak manusiawi. After all football is supposed to be fun. Or isn't it ?

Bukan rahasia bahwa sebelum pertandingan dimulai ada ribuan tiket dijual, ribuan souvenir, kontrak dengan sponsor, dsb yang ujung-ujungnya adalah uang. Diperkirakan sekitar 1.8 juta euro akan masuk kantung ke-20 kesebalasan yang berlaga di Premier League. Uang yang kurang lebih sama banyak dengan pemasukan negara macam Afganistan. Dan tidak heran kalau klub-klub berjuang untuk menjadi tim papan atas dan ikut kompetisi bergengsi macam Champions League. After all football is all about money.

Maka tidak ada tempat untuk canda dan main-main. Yang ada adalah kerja keras dan wajah-wajah serius. Keceriaan mencetak gol adalah keceriaan tukang dagang yang mendapat keuntungan besar. Harap maklum -meski ini disebut main bola- ini bukan main-main, ada duit dibelakang semua ini.

Saya jadi teringat permain kata-kata Nicolaus Driyarkara sbb: “Bermainlah dalam permainan tetapi janganlah main-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak dalam ketidaksungguhannya, sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi. Mainlah dengan eros, tetapi janganlah mau dipermainkan eros. Mainlah dengan agon tetapi jangan mau dipermainkan agon. Barang siapa mempermainkan permainan, akan menjadi permainan permainan. Bermainlah untuk bahagia tetapi janganlah mempermainkan bahagia”

Permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi. Dan pertandingan sepakbola yang diper"tanding"kan lebih sungguh-sungguh seolah menjadi kehilangan spiritnya. Disatu sisi pertandingan membuat kita jadi lebih "baik". Kita menjadi berlatih lebih banyak, belajar taktik untuk berhasil, dsb. Sport membuat "humanity as a whole" menjadi lebih unggul. Namun demikian unggul disini ternyata kerap diterjemahkan dalam rupa materi (uang, gelar) dan bukan spiritualitas (peningkatan mutu pribadi, kelompok)

Tapi dizaman sekarang ini siapa punya waktu untuk sungguh menjadi atlet dan sungguh menjadi manusia ? Pemusik besar zaman baheula macam Bach dsb mestinya tidak perlu bekerja diladang untuk hidup. Kalau tidak mana ada waktu untuk menulis komposisi musik yang elegan. Musik mereka bukan musik rakyat yang sederhana dan riuh rendah didengar dimasa panenan. Dengan kata lain selalu perlu ada sponsor - entah orang kaya (klub) atau negara.

Tetapi tentu sang sponsor punya kepentingan masing-masing yang juga tidak terlalu mengherankan kalau yang ujung-ujungnya adalah uang. After all it is money that makes the world go around.

Tidak perlu lantas berbalik melecehkan dan sok suci. Dibagian manakah hidup kita ini yang tidak bersentuhan dengan uang ? Siapa dari kita yang tidak matre boleh melemparkan batu yang pertama. We're all matre and that's okay.

Wednesday, April 8, 2009

Forget Rome ! Walk On, Walk On

Malam itu Benitez dan anak buahnya seperti kehilangan akal menembus tembok biru yang tiga kali menyengat tanpa balas. Dan mungkin (final di) Roma harus dilupakan. Di Stadion masih dinyanyikan lagu kesayangan Kop (You will never walk alone) tetapi yang terbayang adalah hari-hari kelabu di Liverpool. Same old same old.

Apakah hidup merupakan serial hari-hari kelabu dengan percikan letupan disana-sini? Kiranya asal-usul Hari Natal bisa dipahami sebagai upaya menghidupkan suasana monoton musim dingin eropa. Bayangkan bagaimana sendunya melewati hari-hari dingin yang suram?

Kata de Mello SJ jika hidupmu adalah penantian akan excitement, rush of adrenalin maka harap maklum kalau hari-harimu menjadi macam roller coaster. Karena setiap puncak akan diikuti lembah. Get ready for your next depression anytime you get thrill coming your way

Disisi lain kegundahan (macam yang dialami pendukung Liverpool malam ini) mengandaikan bahwa hidup cuma satu sisi saja. Padahal hidup jelas lebih luas dari daun kelor. Nasihat orang bijak 2000 tahun lalu boleh kita dengar lagi - lihatlah burung-burung diudara, dan bunga Bakung di kebun. Look around, take a deep breath. Life is one hell of a blessing, if you know where to set your view.

Kiranya ini soal keluasan perspektif belaka. Orang bilang - masih ada hari esok (well paling tidak itu yang juga kita dengar kalau PSSI lagi-lagi gagal meraih prestasi). Bukan hanya untuk bebenah dan merapatkan barisan, tetapi juga bahwa esok ada permutasi lain yang bisa jadi merupakan titik penting lain dalam hidup kita.

walk on, walk on
with hope in your heart

Walk on indeed karena esok menanti dengan fajarnya yang baru dan segar

*) Liverpool 1 Chelsea 3 di Anfield

When I'm Sixty Four

Kapan engkau menjadi tua ? Mungkin bukan kalau engkau sudah ubanan, pikun atau malah botak. Tapi waktu engkau menyadari bahwa "waktu"mu sudah lewat. Bahwa mimpimu ternyata harus kau akui akan tetap tinggal jadi mimpi. Bahwa "cara"mu sudah usang dan ketinggalan kereta api. Waktu tiba-tiba zaman melewati engkau begitu saja.

Malam tadi Ferguson kiranya tersadar bahwa ia bukan Ferguson yang kemarin dulu. Pasukannya seperti kehilangan inspirasi, letih dan nampak usang. Dalam empat laga terakhir kemarin United macam jago tua yang terengah-engah berupaya berjalan sok gagah sembari menenteng emblem juara masa lalu yang lapuk.

Tidak hendak dikatakan bahwa Ferguson (nama ini berarti pilihan unggul) adalah kegagalan. Sama sekali tidak. Tetapi mungkin zaman Ferguson yang sudah aki-aki (kelahiran sebelum PD II) sudah mulai memudar. Dan Ferguson sendiri sadar bahwa ia bisa dan telah salah ambil keputusan. Sebuah pengakuan yang bersahaja sekaligus juga pernyataan bahwa mungkin saja waktu lengser sudah dekat

Menjadi tua berarti kehilangan kekuatan fisik. Endurance tidak tersisa banyak lagi. Yang tersisa adalah uban dan kebijaksanaan karena belajar dari banyak pengalaman. Namun demikian pengalaman yang adalah terikat pada masa lalu dan bahwa masa depan tidak selalu dapat diselesaikan dengan pengalaman masa lalu. Yang sering jadi soal adalah banyak orang (tua) menjadi terlalu gegabah dan menyangka bahwa semua masa adalah sama saja. Masa depan tidak lain dari perulangan masa lalu. Jelas ini salah kaprah yang parah

Ferguson tidak hendak menggantung sepatu atau berhenti mengunyah permen karetnya. Masih ada sisa masa bermimpi. Kita lihat saja - apakah sungguh waktunya telah tiba. Atau masih tersisa segenggam mimpi untuk dikunyah.

Will you still need me
Will you still feed me
When I'm sixty-four
(Lagu the Beatles - ditulis Mc Cartney waktu berusia 16 tahun)

Tuesday, April 7, 2009

for a few dollars more

Suatu ketika salah satu orang yang paling kaya didunia ini pernah ditanya : apa yang membuat dia bahagia. Apa jawabnya ? One dollar more! Harap maklum dia bukan cuma orang kaya biasa, dia salah satu orang paling kaya, namun ia masih menantikan kehadiran tambahan satu dollar lagi dan lagi sebelum dia memandang diri bahagia.

Jika demikian kebahagiaan kiranya adalah sebuah fatamorgana, sebuah ilusi, semacam penantian sesuatu yang tak kunjung selesai.
Tapi jika demikian adanya - jangan-jangan kita tidak sungguh tahu apa sebenarnya kebahagiaan itu. Dalam kasus si orang kaya tadi - setiap dollar yang datang tidak menambah apa-apa selain kehausan akan lebih banyak dollar lagi. Lagi lagi dan tambah lagi. Ibarat minum air laut - semakin banyak diminum semakin bertambah rasa dahaga.

Cerita lain soal bahagia datang dari India. Pada suatu masa radio transistor adalah sebuah keperluan mutlak. Tanpa itu orang lantas merasa memiliki kekurangan yang amat sangat. Yang menjadi ganjil adalah bahwa sebelum mode ini mewabah tidak ada orang merasa gelisah kalau tidak memiliki radio transistor. Lantas siapa sebenarnya yang tahu apa yang membuat dirinya bahagia ? Karena setelah beberapa saat akan muncul mode lain, dan radio transistor menjadi semacam mesias yang usang. Janji kebahagiaan yang ia bawa ternyata tidak lebih dari derauan radio butut belaka.

Mungkin hal kebahagiaan itu bukan soal another dollar atau radio transistor. Mungkin bahagia itu soal menikmati apa yang kita punya sekarang ini. Mengutip sebuah buku: It is not to have what we desire but to desire what we (already) have.



Monday, April 6, 2009

something that money can't buy

Konon setelah peristiwa memilukan 9-11 konon orang-orang amerika sempat hanyut dalam kesedihan sedemikian sehingga ekonomi ikut mandek. Bukan apa-apa karena semangat shopping banyak orang jatuh ketitik nadir. Maka sang presiden mendorong rakyatnya untuk kembali berbelanja demi melupakan peristiwa yiang mengerikan ini.
Mungkin ini cuma anekdot, tetapi tidak bisa disangkal bahwa banyak orang akan mendadak sontak berbalik bergembira ria jika mendapat hadiah voucer belanja jutaan rupiah. Entah bagaimana tiba-tiba banyak barang menjadi menarik untuk dibeli, dimiliki, dikonsumsi. Dan diam-diam malah ada asumsi tersembunyi disana bahwa kebahagiaan adalah berbelanja dan bahwa berbelanja adalah kebahagiaan.
Tidak hendak menjadi anti akan uang - tetapi premis dasar bahwa berbelanja adalah kebahagiaan hendak dipertanyakan disini. Mungkin moyang kita yang bersaudara dekat dengan kera hidup dizaman yang sulit - sehingga setiap ada kesempatan menimbun maka tanpa pikir panjang mereka menimbunnya dengan naluriah. Lihat saja anggota masyarakat negara maju yang obese. Zamannya sudah modern, tetapi naluri masih bak kera purba yang menyantap apa saja selagi ada. Hanya saja - dizaman purba orang perlu berlari kesana kemari demi sesuap nasi, sementara kera modern cukup berjalan lima langkah ke lemari es yang penuh makanan siap santap.
Apa yang benar untuk badan mungkin benar juga untuk jiwa - maka jiwa yang berbelanja menyangka bahwa itulah cara yang benar untuk mencapai kepenuhannya. Hanya saja, yang berlaku adalah kebalikannya. Kalau kebanyakan makan menimbulkan kegemukan maka kebanyakan belanja memiskan jiwa. Pasalnya: kita cenderung menjadi dangkal karena sibuk dengan barang-barang belanjaan itu tadi - yang sesungguhnya cuma superfisial dan palsu belaka.
Jiwa konon diperkaya dengan melepas, dan bukan menambah. Tengok saja sejarah panjang kaum pertapa - yang pergi ke gurun bukan hendak menghukum badan tetapi untuk mencari keheningan. Dalam hening kiranya ditemukan simponi sejati yang dicari-cari jiwa dahaga. Bahwa hidup itu sungguh melimpah. Dan kali ini uang tidak bisa membantu banyak.
Sering dikatakan bahwa uang memang tidak bisa membeli tidur nyenyak- tetapi ia bisa memberikan kasur yang empuk dan kamar yang sejuk. Tetapi saat jiwa menemukan kepenuhannya - semuanya menjadi nisbi dan seonggok uang tidak lebih dari setumpuk daun kering

Saturday, April 4, 2009

Not a liar

Menurut pembalap juara dunia bertahan dia bukan pendusta. Sulit untuk mempercayai perkataannya. Kita bisa berkata bahwa ini cuma silat lidah, karena sudah kepergok, dsb. Kata orang : sekali lancung ke ujian - seumur hidup tak dipercaya.
Konon anjing tidak bisa berbohong. Ia tidak bisa menyalak galak sembari menggoyangkan ekor dengan ceria. Bagi anjing pilihan sudah jelas - atau galak atau jadi manis. Tetapi manusia pandai menyamarkan tujuan sebenar dengan berbagai cara. Kata-kata manis, wajah simpatis, dsb. Trick yang sama digunakan juga kaum peminta-minta. Semakin dramatik penderitaan dijajakan, semakin besar peluang meraup recehan.
Menjadi jelas bahwa berbohong atau bersaksi dusta membusukan masyarakat. Maka sepuluh perintah ALLAH pun mencantumkan larangan ini. Tanpa kejujuran masyarakat tidak mungkin bertahan dan menjadi maju. Apa lagi yang hendak dipegang kalau bukan perkataan kita?
Yang kadang kurang jelas adalah bahwa : kita dan sang juara yang ketahuan curang ini sesungguhnya tidak jauh berbeda. Yang membedakan kita dengan dia adalah :what we do and NOT what we are. Kita pun punya kemampuan untuk berdusta demi kepentingan kita (bohongnya sang juara menambah satu poin - tetapi ketahuan bohong membuat poin jadi kosong). Jangan keburu merasa lebih putih suci dari sang juara bohong ini.