
Mungkin Drogba datang dari kultur dimana orang boleh menumpahkan kekesalan secara fisik. Tidak perlu pikir panjang mari diselesaikan sekarang. Tetapi "selesai" yang seperti apa ? Yang jelas two wrongs do not make one right.
Amarah yang tidak dikendalikan bisa membakar apa saja seperti api ditengah sekam. Dan yang terjadi adalah kebinasaan. Belum lagi kalau pihak yang "dimarahi" membalas karena merasa diperlakukan melebihi "takaran". Dan "takaran" disini adalah sebuah hal yang nisbi pula. Alhasil tidak banyak hal positif yang dapat diharapkan dari amuk yang diumbar
Anger can be justified, the reaction may not be
Tapi sudah tentu dalam kultur populer (misal filem kung fu) hal kepala dingin mengadapi kemarahan adalah sebuah idealisme yang kosong. Kemarahan adalah manusiawi (bahkan Yesus diceritakan marah pada tukang dagang dibait Allah), masakan hendak kita atur pula. Sungguh tidak manusiawi. Tetapi apakah definisi manusiawi ?
Berbeda dengan hewan, kita dapat mengendalikan dorongan naluriah kita. Hewan akan melakukan apa yang dituntut alam sekarang juga, entah sedang dimana ia berada dan dalam keadaan apa. Manusia tentu tidak demikian bukan ? Dari sisi sini - kiranya masuk akal untuk menghukum Drogba sebagai pendidikan bahwa kemarahan mungkin sah tetapi ekpresinya perlu dikendalikan
Great anger is more destructive than the sword (Tamil proverb)
No comments:
Post a Comment