'This is war, and I have to kill and not be killed.' - demikian kata Felipao. Felipao melihat dunia dengan sederhana - nyaris hitam - putih malah. Well, one's white and the other's black.'
Felipao yang pragmatis pun mengalami pragmatisme dalam praktek manakala karirnya dipangkas demikian singkat di Stamford Bridge. Meski mengaku uang bukan satu-satunya alasan, dia tokh bilang : "Yes, that is one of the reasons". But he added "I'm 59 and I don't want to work as a coach until I'm 70. I want to retire in four or five years, so it was a financial matter but there are other things". Dari sisi lain, pragmatisme pulalah yang membawa Felipao memboyong piala dunia ke Brazil untuk kelima kalinya.
Felipao lahir dari keluarga migran Italia, tepatnya dari wilayah Veneto. Orang-orang Veneto tidak merasa diri orang Itali. Mereka orang Veneto. I am moved, not because I think of Italy, but rather because I think of Veneto. Terasa macam right or wrong my country. Jauh dari pragmatisme.
Sejatinya -isme dalam kata pragmatisme mengandaikan sebuah faham yang murni. Mungkin tidak terlalu banyak orang yang bisa disebut sebagai pragmatis murni. Pragmatis juga manusia. Ada batas-batasnya, dimana kategori "guna" menjadi kebablasan, Manusia tokh tidak bisa ditakar melulu dari sisi "kegunaan" belaka. Benda mati mungkin bisa, meski benda mati pun kadang bernilai lebih dari sisi sentimental, dan bukan "guna". Misal: jaket himpunan zaman kuliah dulu. Mungkin masih disimpan baik-baik, bukan karena hendak dipakai kapan-kapan, tetapi lebih-lebih karena ia mewakili sebuah masa yang mestinya asyik untuk dikenang.
Felipao yang pragmatis pernah dihujat massa Brazil ,pasalnya ia menolak memasukan pemain bintang Romario dari skuad Brazil. Untunglah Brazil jadi juara dunia. Kalau tidak hujatan akan terus mengalir. Disini pragmatisme Felipao menang.
Tetapi ada pragmatisme adalah sebuah keniscayaan ? Alam Darwinian sepertinya menganut sistem "guna" ini. Predator bertugas memangkas yang lemah dan yang tua. Yang tidak bernas dibabat saja. Lain alam, lain manusia. konon manusia purba peduli akan anggota kelompok yang sakit dan lemah. Bagi mereka "guna" bukan kategori yang niscaya.
Namun dari sisi lain, pragmatis kerap diperlukan. Mungkin Cina bisa dijadikan contoh. Kerepotan mengurus bangsa yang jumlahnya luar biasa besar dengan tantangan yang majemuk jelas tidak kecil. Pemimpin-pemimpin bangsa ini sadar bahwa lompatan besar memerlukan pengorbanan dan mimpi mereka bukan isapan jempol. Cina modern adalah kekuatan dunia yang
serius dicermati negara-negara berkembang.
Bicara pragmatisme dalam skala negara mengundang orang untuk bersoal: siapa boleh menjadi korban? Siapa boleh menentukan skala prioritas ? Siapa memutuskan nasib para pengambil keputusan? Soalan pelik.
Kembali pada Felipao. Ia mungkin sudah mendapatkan apa yang ia mau. Pensiun lebih muda dengan kantung yang tebal. Dia sudah mengambil keputusan yang tepat. Katanya: You only get this kind of opportunity once so you take it or leave it. Mungkin bicara pragmatisme dalam skala pribadi bukan soalan pelik. Paling tidak bagi Felipao.
Adeus Felipao.
Felipao yang pragmatis pun mengalami pragmatisme dalam praktek manakala karirnya dipangkas demikian singkat di Stamford Bridge. Meski mengaku uang bukan satu-satunya alasan, dia tokh bilang : "Yes, that is one of the reasons". But he added "I'm 59 and I don't want to work as a coach until I'm 70. I want to retire in four or five years, so it was a financial matter but there are other things". Dari sisi lain, pragmatisme pulalah yang membawa Felipao memboyong piala dunia ke Brazil untuk kelima kalinya.
Felipao lahir dari keluarga migran Italia, tepatnya dari wilayah Veneto. Orang-orang Veneto tidak merasa diri orang Itali. Mereka orang Veneto. I am moved, not because I think of Italy, but rather because I think of Veneto. Terasa macam right or wrong my country. Jauh dari pragmatisme.
Sejatinya -isme dalam kata pragmatisme mengandaikan sebuah faham yang murni. Mungkin tidak terlalu banyak orang yang bisa disebut sebagai pragmatis murni. Pragmatis juga manusia. Ada batas-batasnya, dimana kategori "guna" menjadi kebablasan, Manusia tokh tidak bisa ditakar melulu dari sisi "kegunaan" belaka. Benda mati mungkin bisa, meski benda mati pun kadang bernilai lebih dari sisi sentimental, dan bukan "guna". Misal: jaket himpunan zaman kuliah dulu. Mungkin masih disimpan baik-baik, bukan karena hendak dipakai kapan-kapan, tetapi lebih-lebih karena ia mewakili sebuah masa yang mestinya asyik untuk dikenang.
Felipao yang pragmatis pernah dihujat massa Brazil ,pasalnya ia menolak memasukan pemain bintang Romario dari skuad Brazil. Untunglah Brazil jadi juara dunia. Kalau tidak hujatan akan terus mengalir. Disini pragmatisme Felipao menang.
Tetapi ada pragmatisme adalah sebuah keniscayaan ? Alam Darwinian sepertinya menganut sistem "guna" ini. Predator bertugas memangkas yang lemah dan yang tua. Yang tidak bernas dibabat saja. Lain alam, lain manusia. konon manusia purba peduli akan anggota kelompok yang sakit dan lemah. Bagi mereka "guna" bukan kategori yang niscaya.
Namun dari sisi lain, pragmatis kerap diperlukan. Mungkin Cina bisa dijadikan contoh. Kerepotan mengurus bangsa yang jumlahnya luar biasa besar dengan tantangan yang majemuk jelas tidak kecil. Pemimpin-pemimpin bangsa ini sadar bahwa lompatan besar memerlukan pengorbanan dan mimpi mereka bukan isapan jempol. Cina modern adalah kekuatan dunia yang
serius dicermati negara-negara berkembang.
Bicara pragmatisme dalam skala negara mengundang orang untuk bersoal: siapa boleh menjadi korban? Siapa boleh menentukan skala prioritas ? Siapa memutuskan nasib para pengambil keputusan? Soalan pelik.
Kembali pada Felipao. Ia mungkin sudah mendapatkan apa yang ia mau. Pensiun lebih muda dengan kantung yang tebal. Dia sudah mengambil keputusan yang tepat. Katanya: You only get this kind of opportunity once so you take it or leave it. Mungkin bicara pragmatisme dalam skala pribadi bukan soalan pelik. Paling tidak bagi Felipao.
Adeus Felipao.
No comments:
Post a Comment