Demikianlah -menurut bapak ini- umat agama lain juga perlu belajar tentang agama umat lain. Hal yang unik ditengah ketegangan laten antar agama. Bapak ini berangkat ke Roma untuk belajar agama Katolik. Ia dibiayai oleh sebuah lembaga yang mempromosikan ide dari Nostra Aetate. Nostra Aetate adalah salah satu dokumen hasil muktamar Vatikan II yang menggariskan pandangan gereja tentang agama lain. Sebuah terobosan gereja katolik yang jenial ditengah majemuknya dunia masa modern ini.
Namun perihal belajar agama lain, kira saya bukan cuma dilakukan orang katolik. Di web saya temukan bahwa di IAIN kita jumpai mata jurusan perbandingan agama. Tidak paham apa detail jurusan ini - apakah sekadar menyandingkan agama A versus agama B atau lebih lanjut lagi memberi penilaian: agama B ditinjau dalam sisi pandang agama A.
Dari sisi sini - yang dibandingkan disni sepertinya masih berupa kumpulan teori, dogma dan diskursus belaka. Padahal, dalam praktek agama dijalani dalam hidup sehari-hari oleh orang-orang yang mengaku memeluk agama tersebut. Dan belajar agama yang dijalani sehari-hari kiranya lebih bernas, karena disana kita melihat teori dalam praktek nyata. Bagaimanakah sikap orang katolik saat antri ? saat berkendaraan ? kalau waktu membayar pajak tiba ? dsb. Apakah iman katoliknya "berbunyi" manakala derita mendera hidupnya ? Apakah ia berdoa ? apa makna doa dalam hidupnya ? Bagaimana dengan kitab suci ? Apakah ia membaca dengan rajin ? dan yang lebih jauh lagi: apakah sabda itu ia praktekkan ?
Untuk ini sang bapak tadi malah jangan pergi ke Roma. Cukup berteman saja dengan orang-orang Katolik dikampungnya. Dan amati - apakah iman katolik menjadi sumber inspirasi hidup mereka? atau ia cuma menjadi Katolik saat di misa saja?
Teori boleh saja dipelajari, tetapi teori yang tinggal teori adalah benda mati.
No comments:
Post a Comment