Pernah merasa bahwa pengemis yang datang pada kita tidak cukup professional dalam mengemis ? berdiri tegak, badan sehat, kelihatan tidak kelaparan. Pagi ini saya berikan selembar uang padanya – saya pikir kita layak berbelas kasih karena Tuhan sudah berbelas kasi pada kita
Tapi saat pengemis ke-2 dan ke-3 (yang sama-2 tidak kelihatan professional juga) datang. saya putuskan untuk tidak mengeluarkan lagi dompet saya. Tidak enak rasanya dieksploitasi. Saya yakin si ibu (BTW ke-3nya perempuan semua) mungkin bisa dapat makan dengan jadi tenaga cuci atau sterika, dsb – dan bukan lewat cara yang gampang – menengadahkan tangannya
Saya berpretensi tahu keadaan orang(-orang) ini dan lantas main hakim mana yang saya beri mana tidak. Saya tidak mau dibohongi dengan guratan muka sedih dan suara memelas. Minta dikasihani dan selembar uang.
Lalu bagaimana dengan doa permohonan saya pada Tuhan ? Jika Ia tahu saya menipu adakah Dia mau memberi ? Well. Mungkin saya tidak menipu Dia, tapi mungkin yang saya minta tidak sungguh2 saya perlukan sehingga biar pintu saya ketok sampai tangan kapalan ya tidak bakal dibukakan.
Tapi darimana saya tahu bahwa yang saya minta tidak benar2 saya perlukan? Adakah minta sehat- mohon sejahtera dsb tidak sungguh saya perlukan? Well mungkin yang ini layak dimintakan, tapi minta naik pangkat ? minta tabungan superjoss 3 milyar ?
Tapi disisi lain, konon Tuhan kita sungguh kuasa dan masakan anak minta telor diberi uler, Bapak rampok saja tidak berbuat begitu
Kiranya merepotkan memahami Tuhan dengan bertanya: bagaimana sih teknik memohon yang efektif sedemikan supaya permintaan kita terkabul kobal-kabul ? Sebab dengan berpikir macam begini kita menjadi macam ibu-ibu yang memacak wajah semuram dan semengharukan mungkin supaya orang menarik kocek dan merogoh lembaran tsodakoh. Tuhan yang dipertanyakan macam begini adalah Tuhan yang dirampok.
Bayangkan Tuhan macam gudang harta dan agama adalah soal merumuskan rapalan supaya pintu gudang terbuka dan kita tikus-tikus menyeruak masuk untuk berpesta pora. Supaya gudang tetap terbuka kita ganjal pintunya dengan amalan dan ibadah – dan lagi-lagfi agama menyibukan diri dengan mendefinisikan jurus-rumus-hafalan bagaimana supaya pintu tetap terbuka sehingga kita leluasa pesta pora berakah-nikmat-melimpah-ruah
Apa yang salah dari gambar ini ? Tuhan tidak lagi pribadi yang ber-relasi dengan kita sebagai pribadi lain. Sang pengemis berupaya mengeksplotasi kita dengan memicu urat belas kasihan dan tidak peduli dengan membina relasi personal dengan kita – begitu dompet dibukakan dan duit diserahkan dia menghilang (well mungkin sembari mengucap berkat, supaya skenario sinetron jadi klop)
Sejak Adam dan Hawa berkelayapan bugil di Taman Eden, Tuhan menyapa manusia sebagai pribadi. Mereka diajak ambil bagian dalam karyaNya (Adam memberi nama chewan-2), diberi tahu mana yang boleh dan tidak (chewan mungkin dicegah dengan pagarkawat duri, tapi menungso mah diajak omong)
Kata Yesus kamu bukan hamba tapi sahabatKu. Maka bertindaklah sebagai seorang sahabat, bukan macam aktor pengemis. Berlakulah sebagai seorang pribadi menyapa pribadi manakala kita berlutut berdoa. Doa bukan cuma soal minta membombong, membujuk, meluluhkan hati, beriba-iba. Melainkan menyapa seorang sahabat, bercerita berbagi suka dan duka, menyampaikan harapan, kerinduan
Lha wong akhirnya hidup bukan soal makan minum pakaian kekayaan, tapi teduh kembali pada Ia yang mengutus kita menjadi musafir didunia fana ini. Dan dimensi spritual ini tidak untuk nanti waktu badan berkalang tanah, tapi juga sekarang ini, setiap hari setiap saat – kita boleh hayati pelukan ini. Pelukan gembala yang meninggalkan 99 untuk 1, pelukan ayah yang melupakan harga diri dan berlari mendapatkan anak durhaka, pelukan soerang samaria yang kebetulan liwat dijalan dan berbelas kasih, pelukan Seorang Sahabat yang mati untuk sahabatNya
Kamu bukan pengemis, tapi sahabatKU
in memoriam – Matius Nasution – 21-05-2001/2005
No comments:
Post a Comment