Nyaris semua taboo adalah soal konsensus. Dibelakang konsensus ada pengandaian yang dulu mungkin jelas (buat otoritas pembuat tabu), tapi dengan berlalunya waktu konsensus ini menyelam kebawah sadar, dan jadi tidak kasat mata lagi. Bersama taboo, dibuat juga adat/ tradisi/kebiasaan lain. Sekali lagi duluuu mungkin semua konsensus ini dengan mudah dapat diterangkan alasannya.
Dalam perspektif de Mello hidden asumsi ini adalah blind spot kita. Conditioning kita. Konsensus konvensional jaman baheula waktu aki-nini masih muda. Yang dilupakan adalah konteks aki-nini tidak sama dengan cucu-cucu.
Tentu aki-nini bisa berkilah: well, konsensus itu perlu untuk tetap memanusiakan kita. Hell! Berapa persen kah dari adat itu sungguh universal? Yang valid untuk semua komunitas? Orang cina meratapi kematian dengan berbaju putih, sementara orang bule pakai jas hitam kelam. Kematian tetap sama-interpretasi tidak.
Tapi siapa pula boleh mengklaim universalitas sebagai hakim? Bahwa semua orang makan Mac Do tidak lantas itu bagus, sebab ilmu alam bilang itu junk food dan tidak sehat. Oke, lalu yang jadi wasit adalah hukum alam? Well, tapi katanya manusia bukan hewan yang driven by instinct semata?
Saya (dan de Mello) tidak punya juga jawabnya (seolah segala sesuatu bisa diberikan resep obatnya). Tapi pesannya jelas: open your mind, sadari asumsi dasarnya, pahami akarnya. Setelah itu pilih, tentukan, kerjakan.
The worse thing in life adalah tidak sadar menjalani hidup. Kita tidur segera setelah kita bisa bicara, ikut saja tradisi, tabu buta, kebiasaan. Sampai kita mati nanti. Dan notice this, the older you are the rigid you would be! Too bad we are all going to die without ever aware of our fuckin' short life.
Wake up!
July 28, 2003
No comments:
Post a Comment