Seorang teman yang periang menceritakan cerita suka-duka bekerja disebuah periusahaan garmen. Well, sebenarnya lebih banyak duka dalam ceritanya ini: bagaimana gajinya tidak cukup, sering pulang lewat jam kantor tanpa uang lembur, sering harus mensubsidi kantornya kalau dinas luar, dsb..
Uniknya, cerita dikemas dengan tawa disana-sini. Hence derita tidak serta merta identik dengan muka muram. Orang bisa tetap bergembira meski dilanda hal2 yang tidak terlalu menyenangkan
Dialun2 sebuah kota besar terdengar seorang tukang botol obrol dgn orang sekitarnya. Dia bilang: punya uang bahagia, tidak punya uang harusnya tetap bahagia ! Well, amsal macam ini memang unik manakala diucapkan seorang yang hidupnya tidak mudah. Hidup memang jelas butuh uang, tapi soal bahagia disarankan dilepaskan dari soal punya uang atau tidak.
Orang bisa berdalih bahwa kedua orang ini bisa begitu karena memang punya dasar periang. Kalau orang punya dasar BT, pasti dia lewati hidupnya dengan merengut maksimum. Mungkin ini ada benarnya: dan bisa ditulis satu renungan lain tentang hubungan bahagia dengan susunan saraf dikepala orang, tapi kedua orang ini punya satu hal yang sama yaitu: mau menerima keadaan.
Derita yang diterima menjadi lain sifatnya dengan derita yang ditolak. Ini uniknya manusia, sang makhluk pemikir. Hidup manusia bukan soal makan-minum-hormonal, tapi soal pemaknaan.
Derita mungkin bisa diukur kadarnya (sakit, agak sakit, sakit sekali, dsb), tapi derita (seperti semua hal lain pun) adalah relatif sifatnya, tergantung bagaimana ybs me-makna-i nya. Dalam terminologi santo Paulus, derita yan dipeluk erat sudah *kehilangan sungutnya*. Dalam gaya de Mello SJ, derita yang *dipandang* berubah wujudnya: dari beban menjadi kekuatan.
Albert Camuslah yang kalau tidak salah merevisi dongeng Yunani kuna ttg Sisiphus (tahu bukan? itu lho Sisiphus yang mendorong batu kepuncak bukit, lalu dipuncak bukit dewa iseng membuat batu itu menggelinding balik dan Sisiphus mendorong ulang batu sial itu). Camus bilang setelah puluhan kali mendorong batu gelinding ini, ia akan jadi lebih kuat dan effortnya jadi lebih sedikit. Hence derita membawa nikmat (dapat juga ditanyakan apa tujuan Dewa yang iseng dalam dongeng ini...dan apa dia tidak punya kerja lain selain meng-iseng-i Sisiphus)
Maka marilah kita menutup tulisan ini dengan mengingat derita Tuhan kita Yesus Kristus. Dia memang sempat takut (Cawan yang ini...ya Abba?), tapi kemudian Dia peluk salibNya, dan salib menjadi lambang keselamatan bagi Kita. Bukan karena sesuatu yang ghaib (salib sebagai jimat), tapi sebagai suatu ajakan untuk *memandang* derita dan menggelutinya dan dengan demikian memnberi makna yang baru baginya.
Ave Crux, Spes Unica
October 27, 2003
No comments:
Post a Comment