Santo Thomas Aquinas adalah pujangga besar gereja Katolik. Buku akbarnya Summa Theologica menjadi semacam pilar teologi gereja. Hanya saja konon buku ini sebenarnya belum lagi tamat ditulis. Ditengah proses penulisan treatise on the Sacrament of Penance ("traktat sakramen pengakuan") ia tiba-tiba saja berhenti. Orang sempat menyangka ia mengalami gangguan bathin. Setelah rehat beberapa masa orang balik bertanya dan meminta ia meneruskan untuk menulis. Jawab Aquinas: Aku tidak bisa menulis lagi. Tidak ada lagi artinya bagiku. Semua yang sudah kutulis aku anggap sebagai jerami belaka. Dan St Thomas Aquinas lalu senyap. Membisu
Kiranya St Thomas mengalami semacam pencerahan yang unik. Ia seperti melihat sebersit terang yang tak terperikan. Diam-nya Thomas mengajarkan bahwa tentang Allah yang kita tahu adalah bahwa : kita tidak tahu Allah itu siapa.
Mungkin dari sini asal muasal hikayat tentang St Thomas yang konon pernah berjalan-jalan dipinggir laut sembari rumit memikirkan soalan pelik tentang Trinitas. Ia melihat seorang anak kecil yang menggali lubang kecik dengan sendoknya lantas berlari-lari kelaut, menyendok sejumput dan bergegas balik untuk mengisi lubang alit itu. Thomas lalu bertanya: hendak apa kau buat hai anak kecil ? Si anak menjawab dengan yakin: Aku ingin mengeringkan laut! Thomas tersenyum mendengar jawab konyol sianak. Bagaimana mungkin ? Laut demikian luas dan dalam hendak dijejalkan dalam lubang mini anak kecil ini? Dan -demikian syahibul hikayat- sadarlah Thomas bahwa upayanya memahami misteri trinitas pun sama sama dengan kesibukan sia-sia si anak yang hendak memindahkan lautan.
Kita semua diam-diam berteologi. Entah saat membaca kitab suci, entah saat menafsirkan kejadian, atau mengomentari cerita teman. Kita kerap berteologi. Kita mengupayakan menyandingkan pemahaman kita akan Allah vis a vis teks kitab suci ataupun interpretasi sebuah peristiwa. Allah itu Maha Kasih - apa artinya ya ? Bagaimana mendamaikan konsep ini dengan pengalamanku ? Allah itu Maha Adil - apa maknanya ya? Mengapa temanku itu mengalami kemalangan itu? Dst, dsb, dll. Memang selalu kita bisa bersandar pada ajaran umum agama. Mungkin agama dapat meemberikan jawaban yang menenangkan. And life goes on...
Tetapi ada kalanya pertanyaan itu demikian fundamental sehingga iman kita terguncang hebat. Misal saat seorang kehilangan pasangannya. Guncangan dapat demikian dahsyat sehingga bahkan jawaban saleh agama tidak lagi cukup. Dititik ini orang bisa lantas mengalami bahwa "misteri itu" (hidup, Allah, dsb) demikian akbar sehingga didepannya kita cuma bisa diam. Hening. Tepekur.
Dan -konon- setelah peristiwa eksistensial macam ini orang lantas terubahkan. Ia melihat apa yang sebelumnya tidak nampak baginya.
Dan Santo Aquinas pun membisu
No comments:
Post a Comment