Monday, February 16, 2009

Bourne Supremacy

Matt Damon is Bourne again. Ini film ke-2 dari Damon sebagai Jason Bourne. Masih dengan tema yang sama. Bourne adalah agen CIA yang lupa identitas. Ada mimpi buruk dari masa lalu yang menghantui. Namun ia tidak sampai paham siapa dia, kenapa dan mau kemana. Bourne dan pacarnya menyepi disatu pojok dunia yang obscure, namun operasi rahasia komplotan misterius menyeret Bourne untuk tampil dilayar. Dan selebihnya adalah jumpalitan, kebut2an dan baku tembak. 

Film yang cukup menarik bagi anda yang gemar film action. Entah mana lebih bagus dibanding “Bourne Identity”, tapi Damon memerankan jagoan pendiam yang hilang ingatan ini dengan apik

Bourne yang tidak tahu « sangkan paran » nya menjadi mesin pembunuh yang efisien namun ia tokh tetap manusia yang bisa rindu dan haru. Tapi tanpa tahu siapa dia dan mau kemana, hidupnya menjadi bulan-bulanan kiprah orang lain. Tanpa identitas, supremasi Bourne menjadi berkat yang sia-sia.

Anda dan saya juga boleh bertanya tentang sangkan-paran kita, dari manakah kita datang, kemanakah kita pergi. Dan kenapa kita berjumpa ? Orang beragama mengatakan bahwa semua ada maknanya, dan bahwa hidup ini adalah untuk mengabdi. Orang agnostik mengatakan kalaupun ada tujuan, kita tidak pernah bisa paham apa itu. Lalu apa yang kita buat untuk mengisi waktu hidup ? Lagi, orang mengambil inspirasi dari apa yang dianutnya. Kaum hedonis praktis mengambil semboyan: Carpe Diem dan apres moi la deluge ! Kaum agamis dengan repot bermusuhan dengan dunia, dunai ini jahat, badan itu maunya sesat, yang lain sibuk nonton AFI atau bergunjing soal artis itu atau itu. Hendak kemanakah engkau dan aku ? Apakah hidup semata hanya merentang waktu diantara dua lubang (well, orang cina mungkin dibakar) ? 

Mata Bourne berbinar manakala sejumput identitasnya terungkap dipenghujung film. Begitu juga kiranya kita. Deep down inside, kita rindu tahu siapakah kita, dan mau kemana kita ini. Tidak heran kalau orang mau jadi bom bunuh diri demi identitas, demi arah, demi horison. Ini kerinduan yang terdalam yang rela dibayar mahal. 

Macam musafir yang yang berkelana dari stasiun ke stasiun, dari perhentian ke perhentian, tapi dimanakah rumah ? Dimanakah kediaman ? 

Kita datang untuk mencari jalan pulang. Dan jalan pulang ini anehnya tidak mudah ditemukan. Engkau harus menjadi bening untuk melihat kemanakah hendaknya engkau berangkat. Sayangnya hidup quotidien kita terlalu ramai untuk ini. Terlalu hiruk pikuk sehingga sinyal dari dalam tidak bagus diterima. Terlalu gaduh oleh interferensi. Maka baik kalau tempo-tempo sejenak kita merenung. Tidak usah terlalu sistematik. Cukup bertanya: siapakah aku ? kemana aku hendak pulang ? 

2004 09 10


No comments:

Post a Comment