Saturday, February 28, 2009

Refomarmasi Protestantisme dan Reformasi Katolik: Pengantar diskusi D-KRIS/GEMAWARTA

Tulisan ini lebih merupakan montase literatur sana-sini yang hendak mengantar diskusi serius tapi santai. Setelah menengok latar munculnya reformasi dilihat kedepan – hendak kemana kita melangkah. Diskusi ini tidak berprentensi apa-apa selain awareness semata

I. Refomarmasi Protestantisme
1.1 Aspek-aspek pemicu Munculnya Reformasi Protestantisme
Aspek-aspek itu sangat kompleks dan oleh karena itu tidak dapat disederhanakan, misalnya hanya menyangkut kebejatan moral kepausan.
Alasan pertama : Nasionalisme dan bangkitnya negara-negara nasional.
Yang dimaksud¬kan dengan nasionalisme di sini adalah tumbuhnya kesadaran sebagai nasion dari sejumlah bangsa (yang berarti negara-negara) di benua Eropa. Hal ini berarti juga bahwa pemerintah lokal berkepentingan me¬mungut pelbagai macam pajak demi kepentingan dan tujuan kenegaraan. Milisi dan kekuatan pertahanan pun dibangun demi kepercayaan diri dan pada gilirannya demi pemekaran wilayah negara yang lebih luas. Dalam proses semacam ini, kepausan dipandang sebagai kekuatan ekstranasional yang merintangi terbentuknya bangsa dan negara. Semetara itu, perpajakan yang digalakkan waktu itu dianggap sebagai beban yang diletakkan diatas bahu negara-negara. Dalam arti tertentu, pemberian pajak/upeti berarti pengakuan atas supremasi kepausan atas negara-negara. Khususnya di Inggris dan Jerman, Reformasi berkembang dalam terminologi nasionalistis.

Alasan kedua: Ketidakpuasan dan kekacau¬an dibidang ekonomi.
Pada kurun waktu Reformasi sistem ekonomi yang berlaku adalah "kapitalisme". Tatanan perekonomian yang demikian menimbulkan sejumlah ketidakpuasan sekaligus kesenjangan dalam masyarakat. Bangsawan rendahan dan kaum tani sangat rentan terhadap tendensi revolusioner. Keduanya berperan bagi lajunya Reformasi.

Alasan ketiga: Kelemahan lembaga kepausan.
Penurunan kualitas lembaga kepausan. Misal : suatu saat Gereja dipimpin oleh 3 (tiga) paus secara serentak, 1378-1417; para Paus yang Berpola Hidup keduniawian 1455-1503. Para Paus sibuk mengurus barang-barang atau karya-karya seni, tetapi membiarkan lewat begitu saja pembaruan dalam -diri- pimpinan dan anggota Gereja meski sudah diserukan agar dilaksanakan (seruan Konsili Konstanz, 1414-1417).
Lebih buruk lagi adalah kualitas dan moral para prelat dan hierarki dalam tata pemerintahan Kuria Roma, kemewahan dan nepotisme (misalnya beberapa saudara dekat dari paus, kendati masih sangat muda dijadikan kardinal. Paus Sixtus IV mengangkat 6 (enam) saudara dekatnya untuk dijadikan kardinal, di antaranya Kardinal Petrus Riario yang mati karena tidak mengontrol diri dalam makan, minum, dan nafsu syahwatnya. Usianya hanya 28 tahun. Innocentius VIII sebelum dipilih jadi paus sudah mempunyai sejumlah anak haram yang diketahui umum).
Selain itu, Paus Alexander VI suka mengoleksi emas dan perempuan. Dari sejumlah wanita lahirlah tujuh anak (sewaktu Ia masih imam dan kardinal). Selama ia menjadi paus, beberapa wanita yang tidur dengannya melahirkan dua anak.
Di Vatikan berembus udara yang seluruhnya berbau maksiat dan mesum, dansa, alkohol, mabuk dan pesta pora yang tidak berkesudahan.
Dekadensi moral di Kuria merupakan salah satu tragedi sejarah kepausan. Situasi semacam ini de facto menyuburkan sikap berontak terhadap lembaga Gereja yang dipimpin orang-orang yang tidak becus dan bermoral bejat. Perlu diingat, bahwa dekadensi moral di Jerman kurang Iebih atau mungkin lebih berat daripada di Italia. Banyak di antara imam-imam kelas tinggi, seperti uskup dan pembantu terdekatnya, hidup dalam semangat duniawi semata-mata. Mereka gemar mengumpulkan harta kekayaan dan sangat jarang merayakan Ekaristi. Mereka juga melewatkan waktu dengan berburu dan bersenang-senang. Contoh yang sangat jelas diperlihatkan oleh gaya uskup Koln, Hermann von Wied. Dalam seluruh hidupnya ia hanya merayakan Ekaristi sebanyak 3 (tiga) kali saja.
Pada dasarnya dapat diringkas pemicu gerakan reformasi adalah krisis politik, ekonomi dan moral

1.2 Pilar-pilar Terpenting Teologi Martin Luther
Secara substansial doktrin teologis Martin Luther yang paling penting terdiri atas tiga hal, yakni:
1) Ajaran tentang yustifikasi (pembenaran yang radikal atas manusia melalui sola fide. Slogan yang paling terkenal dari gerakan pembaruan keagamaan yang dilancarkannya berbunyi "Pembenaran hanya oleh iman."
2) Ajaran tentang infalibilitas (ketidaksesatan) Alkitab, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
3) Ajaran tentang imamat umum dalam kaitannya dengan luas untuk menafsirkan Alkitab.
Semua proposisi teologis lainnya yang dimajukan Luther selalu merupakan konsekuensi dari prinsip-prinsip tersebut
Berikut ini dikemukakan penjabaran atas substansi doktriner tersebut di atas.
1. Sola Fide
Doktrin tradisional Gereja (Katolik) mengatakan, manusia diselamatkan oleh iman dan karya-karyanya. Iman menjadi nyata sungguh-sungguh ketika diwujudkan dan diungkapkan secara konkret dalam karya-karya. Karya manusia menjadi kesaksian otentik hidup Kristen, manakala digerakkan oleh iman yang benar. Jadi, karya insani itu mutlak perlu. Dengan gigih Luther menentang nilai karya manusia. Cukuplah beriman demi keselamatan. Imanlah –dan hanya Imanlah- yang menyelamatkan. Hanya karena iman (sola fide) manusia dibenarkan. Bukan karya-karya (sekalipun baik dan terpuji misalnya amal kasih; matiraga, dsb). Keselamatan itu bukan merupakan imbalan dan terjadi tanpa jasa dari pihak manusia.
Berpangkal pada ajaran sola-fides itu timbullah secara konsekwen ajaran Predestinasi. Predestinasi berasal dari bahasa Latin, destinatio: penentuan. Istilah ini lebih popular di kalangan pemakai bahasa Indonesia dengan sebutan takdir atau nasib. Predestinasi ini dibela dengan menggunakan otoritas Kitab Suci, misalnya Roma 8:28; 9:18-29. Konon, ada sekelompok orang yang disebut electio. Maksudnya ialah mereka yang dipilih oleh Allah untuk percaya dan karena itu juga diselamatkan (Lukas 10:20). Tetapi selain itu ada kelompok lain yang disebut reprobatio (cfr. 1Ptr 2:8). Disebut demikian, karena mereka itulah yang tidak ditakdirkan oleh Allah untuk diselamatkan. Mereka ini ditolakNya. Predestinasi ini dipandang sebagai sesuatu yang adil. Sebab siapa saja yang berdosa dengan melanggar hukum serta ketentuan yang ditetapkan oleh Allah sudah selayaknya menerima hukuman.
Semua orang itu pendosa. Allah sendiri memilih sebagian dari antara orang-orang yang sepantasnya dihukum (lantaran telah berbuat dosa selama hidup di dunia ini) untuk diselamatkan dengan mencurahkan secara cuma-cuma rahmat-Nya, yang berupa iman. Hanya orang-orang inilah yang akan diselamatkan. Predestinasi bertumpu pada kontradiksi yang dianggap ada antara kehendak manusia (untuk berbuat balk sesuai dengan kebebasannya) dengan kedaulatan Allah (yang menentukan segala-galanya).
Di kalangan Gereja Katolik Roma predestinasi dalam artian bahwa Allah menentukan orang untuk menjalani hukuman abadi, tanpa memperhitungkan dosa yang mereka lakukan dengan bebas, tidak pernah diterima. Mengapa demikian? Sebab hal itu langsung berlawanan dengan kemauan Yang Mahabaik untuk menyelamatkan semua orang (1 Tim 2:2-4). Selain itu, halnya juga bertentangan dengan Injil, yang adalah Kabar Baik yang telah diwartakan oleh Kristus Yesus. Dia rela mengorbankan Diri-Nya demi keselamatan semua manusia.
2. Sola Scriptura
Semua yang kita ketahui tentang Allah dan relasi manusia Allah sudah difirmankan-Nya sendiri dalam Alkitab. Semuanya ini begitu gamblang dan tanpa rasionalisasi yang bercorak metafisis-teologis. Hanya Alkitab sajalah otoritas yang infalibel (yang-luput -dari-kesesatan) yang manusia butuhkan. Sri paus, uskup, konsili-konsili dan seluruh tradisi insani bukan saja tidak berguna, tetapi juga dan malahan menghalangi manusia memahami Alkitab secara benar.
Sola sriptura (hanya Alkitab). Maksudnya, Alkitab yang merupakan asas tunggal hidup menggereja, berisi semua kebenaran yang diwahyukan Allah. tidak ada sumber kebenaran lain, misalnya tradisi. Tradisi tetap diakui Luther, tetapi tradisi sama sekali tidak disetarakan dengan Alkitab, sebab tradisi hanyalah ciptaan manusia. Oleh karena itu, tradisi idak dapat menjadi sumber kebenaran. Pada dirinya sendiri Alkitab cukup memberikan kepada Gereja kepastian tentang semua kebenaran Ilahi. Tentang Allah, manusia tidak dapat mengatakan sesuatu yang lain kecuali apa yang telah diwahyukan melalui Alkitab.
Sebelum Reformasi sedikit saja orang awam yang membaca Alkitab (Luther sendiri melihat Alkitab yang lengkap pada usia 20 thn) Tetapi kini firman Tuhan tersedia dimana-mana. Alkitab Perjanjian Baru terjemahan Luther sekarang masih digunakan di Jerrnan - terbit pada tahun 1522

3. Imamat semua orang beriman
Berkenaan dengan cara berpikir ajaran yang baru (antara manusia dan Allah, manusia dan Sabda Allah, tidak dibutuhkan samasekali pengantara) dan situasi historis yang terjadi pada akhir Zaman Pertengahan selama renaisans: klerus yang menjadi duniawi telah kehilangan kredibilitas dan semakin tidak terlihat distingsi efektif antara imam dan awam. Luther menolak Gereja yang hierarkis sebagaimana diperlihatkan oleh Roma. Manusia beriman tidak membutuhkan mediasi insani. Sebab kebebasan manusia beriman, yang adalah anak-anak Allah, telah memungkinkan Allah berhubungan langsung dengan masing-masing orang beriman. Akibatnya adalah ia menolak Ekaristi sebagai kurban. Kurban (salib) Yesus Kristus hanya terjadi sekali (di Kalvari), tidak terulang dan untuk selama-lamanya. Luther kemudian mereduksish sakramen dari 7 (tujuh) menjadi 2 (dua): Baptis dan Ekaristi. Ia juga mendevaluasi pengertian/pemahaman tradisional tentang sakramen. Dikuranginya tanda-tanda lahiriah dari rahmat (sakramentali) iman dan kebebasan yang sungguh kuat tentang kultus.
Berkaitan dengan penolakan terhadap hierarki Gereja, Luther menyangkal peran hierarki Gereja dalam membagi-bagikan indulgensi Pasalnya demikian: pada akhir 1507, Yulius II mengawali pembangunal basilika Santo Petrus. la menawarkan indulgensi bagi mereka yang bersedekah untuk bangunan sakral itu. Sistem indulgensi ini sudah lams dipraktikkan dan tersebar ke seluruh kekristenan. Dalam 1515 di Jerman situasinya semakin kompleks dengan adanya masalah yang lain. Albertus von Brandeburg, yang sudah membawahi dua keuskupan (Magdeburg dan Halberstadt), memperoleh lag satu keuskupan (Mainz), sehingga harus membayar sejumlah uan, kepada Kuria, tetapi ia tidak sanggup.
Keluarga Fugger, salah satu bankir terbesar di zamannya, menalangi pembayaran. Uskup memperoleh kesempatan untuk berkhotbah d keuskupannya tentang indulgensi: separo dari jumlah sedekah diberikal pada Fugger sebagai pembayaran utang, separo yang lain disetor ke Roma. Khotbah itu dijalankan oleh J. Tetzel OP (1465-1519), yang mengajarkan antara lain bahwa, untuk memperoleh indulgensi bagi para arwal tidak perlulah keadaan berahmat dan penitensi. Kata-kata Tetzel yang melegenda dan begitu kondang berbunyi demikian “begitu uang sedekah jatuh ke peti sumbangan, jiwa mereka melompat keluar dari azab (penderitaan) Api Penyucian”. Dengan kata lain, semua diringkaskan dalam proyek besar-besaran untuk mencari dan mengumpulkan Mammon.
Bereaksi terhadap penyalahgunaan yang berhubungan dengan khotbah, tetapi sambil menyerang doktrin tentang indulgensi, Luther pada vigili hari raya semua orang kudus (31 Oktober 1517) mengirimkan kepada beberapa uskup 95 dalil (dalam bahasa Latin) tesis-tesis tentan indulgensi. Hanya karena para uskup itu diam_ saja, maka ia mengirimkannya kepada para teolog. Luther tidak pernah memancangkan ke-95 dalil tentang indulgensi itu pada pintu kapel kaste Friedrich dari Saxonia, juga karena Luther tidak mau memberontak melawan Gereja. Hal ini baru ia putuskan hanya setelah lama berselang. Indulgensi kiranya hanya merupakan silih hukuman kanonik yang ditanggungkan oleh Gereja, dan tidak merupakan sesuatu yang diperhitungkan di dunia sana, tidak dapat diaplikasikan kepada para arwah, tiada apa yang disebut harta kekayaan Gereja, suatu kompleks jasa Kristus dan para kudus.

Konsekuensi Protestanisme
1. Subjektivisme dan individualisme
2. Awamisasi
3. Interpretasi atas Kitab Suci yang rasionalistis
4. Kultus (kebaktian) dan bacaan-bacaan Kitab Suci dipraktikkan lebih, sering serta mendapat porsi yang lebih banyak dibandingkan praktik yang sama dalam agama Katolik Roma.
5. Penolakan terhadap setiap jenis mediasi antara Allah dan manusia berakhir dengan tidak menghiraukan aspek sosial dan komuniter dari (setiap) agama, sambil memperkokoh paham individualisme.
6. Peran serta lebih aktif dan sadar dalam liturgi gerejawi. Sikap ini memperkembangkan makna liturgi yang lebih merakyat, dan kesadaran yang lebih jernih akan arti imamat orang beriman, yang diterima melalui sakramen baptis.
7. Tidak adanya sistim tertentu dalam ajaran Luther dan perhatian Luther kepada penyelidikan bebas Alkitab menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam protestantisme. Protestantisme hanya bersatu dalam ajaran sola-fide, penerimaan Alkitab sebapai satu-satunya sumber kekuasaan, dan penghancuran pengertian Gereja katolik. Akan tetapi dalam banyak hal mengenai ajaran, upacara dan organisasi Gereja timbul perpecahan, yang di sana-sini menjurus_ kepada sektarisme.
Pada Buku Data dan Statistik Keagamaan Kristen Protestan tahun 1992, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat [Kristen] Protestan - Departemen Agama RI pada tahun 1993, kita menemukan 275 organisasi gereja Kristen Protestan. Di samping itu ada pula sekitar 400-an yayasan Kristen Protestan atau yang bersifat gerejawi (dalam bahasa Inggris sering disebut parachurch; harfiah: di samping gereja), baik yang sudah memperoleh Surat Keputusan Pendaftaran sesuai dengan W No 8/1985 maupun yang belum. Jadi seluruhnya ada_sekitar 700 organisasi Kristen Protestan, yang berkegiatan dan melayani di Iingkungan masyarakat Kristen Protestan Indonesia yang jumlahnya sekitar 15 juta jiwa, maupun di lingkungan masyarakat Indonesia umumnya, yang menurut sensus 1990 berjumlah sekitar 180 juta jiwa.
Pdt Dr Jan S Aritonang menggolongkan aliran-aliran Protestanisme sbb: Lutheran Calvinis (Reformed; Presbyterian), Anglican (Episcopal), Mennonit, Baptis, Metodis Pentakostal, Kharismatik, Injili (Evangelical), Bala Keselamatan, Adventis, Saksi Jehova (Menara Pengawal), Mormon, Christian Science , Scientology dan Gerakan Zaman Baru. Patut dicatat juga gereja-gereja pergumulan orang Kristen Indonesia (sendiri ataupun bersama mitra mereka dari luar) dan hendak mencerminkan ciri keindonesiaan atau kedaerahan, misalnya: Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), Gereja Protestan Maluku (GPM), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Huria Kristen Indonesia (HKI), Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan sebagainya.
8. Ajaran Predestinasi “sudah ditakdirkan akan selamat” mendorong orang untuk membuktikan nasib baik itu dalam kehidupan sehari-hari sebagai teladan, yaitu sebagai perbuatan yang tak henti-hentinya harus dilakukan. Orang harus menghindarkan dosa; dalam hal ini tak ada jalan lebih baik daripada terus-menerus mengingat-ingat akan keadaan dirinya sebagai pendosa, dan demikianlah orang memuliakan Allah. Dalam suasana semacam itu sudah tak ada tcmpat lagi kecuali kemuraman, kesungguhan, kerja dan latihan kemauan yang keras. Studi yang membuktikan pengaruh spiritualitas Protestantisme terutama Calvinisme atas ekomoni kapitalistik dilakukan oleh Max Weber dalam Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism

II Kontra Reformasi alias Reformasi Katolik
2.1 Pra Luther
Gerakan pembaruan Gereja Katolik sebenarnya sudah dimulai sebelum Luther. Namun peristiwa itu mulai dari bagian luar Gereja. Yang menonjol ke depan bukanlah hirarki. Usaha-usaha pembaharuan perorangan itu terlalu fragmentaris dan terpisah-pisah untuk dapat menyeret seluruh Gereja. Misalnya gerakan devosi modern, gerakan observante dalam biara-biara (berusaha mengembalikan disiplin biara yang asli, lebih-lebih di bidang kemiskinan dan clausura, yaitu kewajiban biarawan untuk hidup di dalam biaranya)

2.2 Konsili Trento (1545-1563)
Konsili Trento dimaksudkan terutama untuk menghukum dan mengutuk kesalahan-kesalahan dasariah yang dianggap sebagai para bidaah zaman itu (tegasnya gerakan pembaruan keagamaan di bawah payung Protestantisme), dan untuk mengajarkan doktrin yang benar dan Katolik.
Aspek dogmatik:
Menolak individualisme Protestan. Hierarki gereja adalah ditetapkan oleh Kristus. Hierarki ini membedakan dan membuat subordinasi awam terhadap uskup, kendati semuanya disatukan oleh martabat imamat umum yang didasarkan pada sakramen baptis
Gereja yang yuridis-mistik ini adalah penjaga dan penafsir Sabda yang diwahyukan Allah, yang dihidupkan melalui kuasa mengajar Gereja (magisterium).
Gereja Kristus merupakan sumber rahmat yang dirayakan dalam dan melalui sakramen-sakramen, yang ditetapkan berjumlah 7 (tujuh) saja, bernilai objektif dan berdaya guna intrinsik.
Menolak unilateralitas Protestantisme. Gereja merasa perlu mengajarkan proses yang membawa pada yustifikasi (pembenaran). Hal mi dapat terjadi melalui pemberian rahmat dan kerja sama antara iman dan karya.
Menolak sikap pesimis Protestantisme dengan menegaskan, bahwa manusia dikondisikan oleh dosa asal; tetapi kodrat insani tidak seluruhnya busuk; ditekankan daya guna rahmat yang memungkinkan orang dapat melaksanakan perintah-perintah (Allah).
Meneguhkan sifat korban dari Ekaristi sekaligus mempertegas bahwa korban yang benar dan satu-satunya dari Perjanjian Baru adalah '' korban Salib.
Aspek Disipliner:
Mewajibkan para uskup beresidensi di keuskupan mereka. Konsili samasekali tidak mengharapkan para uskup "berkeliaran".
Melarang para klerus mengumpulkan harta benda. Para imam dilarang menerima uang demi pendapatan pribadi sebagai imbalan dalam memberikan indulgensi.
Konsili juga memperingatkari warga Gereja terhadap bahaya takhyul dalam pemujaan orang kudus dan benda peninggalan orang suci.
Mengeluarkan Indeks buku-buku yang terlarang.
Bahkan sampai hari ini para penulis Katolik yang membuat tulisan mengenai ajaran harus menyerahkan karya rtiereka untuk diperiksa oleh Gereja agar rnendapatkan nihil obstat ("tidak ada yang bertentangan") dan imprimatur ("boleh diterbitkan"). Kedua sebutan ini memberi pengesahan bahwa pendapat rnereka ortodoks. Inilah praktik warisan Trente.
Menyeru diadakannya perbaikan sistem pendidikan para calon imam di setiap keuskupan, metode pendidikan dan seleksi para calon, mendidik religiositas mereka dengan ilmu kegerejaan yang mendasar, penting, dan perlu. (pada masa itu kaum rohaniwan buruk seleksinya dan sama sekali tak diberi pendidikan apapun)
Dengan khusus sekali Konsili mencurahkan perhatiannya kepada seluruh umat Gereja, ketika ia menegaskan lagi penyambutan sakramen lebih kerap dan misa wajib pada hari Minggu, komini pada hari Paska dan pengakuan dosa tahunan. Ini lebih diutamakan daripada bentuk-bentuk devosi rakyat yang kurang dapat dipertanggungjawabkan.

2.3 Konsili Vatikan II (1962-1965)
Dalam 16 konstitusi, dekrit dan pernyataan telah termaktub pemikiran katolik moderen mengenai Gereja. Tidak semuanya sama penting, dan jiwa aggiornamento tidak meresapi keenam belas dokumen itu sama kuatnya.
Konsili telah menutup cara berpikir lama, yaitu yang memandang segala sesuatu dari sudut yuridis dan organisatoris. Pandangan ini statis, artinya terlalu menekankan aspek yang tidak dapat berubah-ubah, bahwa yang tidak dapat berubah-ubah ini menyusupi seluruh sejarah. Padahal sifat sejarah ialah berkembang, dan terikat kepada waktu. Berlawanan dengan pandangan ini konsili menghidangkan sebuah pandangan yang dinamis, bahwa Gereja selalu berkembang lebih lanjut sebagai umat beriman. Dengan menyatukan diri dengan Alkitab, Gereja telah menemukan dirinya sebagai umat Allah yang sedang dalam perjalanan menuju tanah yang dijanjikan. Memang tanah itu masih merupakan masa depan yang belum diketahui. Akan tetapi umat ini hidup, mencari-cari dan senantiasa berganti bentuknya. Yang menjamin asas hidupnya ialah yang tidak berubah-ubah, yaitu Dia yang memimpin, Yesus Kristus. Istilah “terang bangsa-bangsa” bukanlah diperuntukkan bagi Gereja, melainkan bagi Kristus. Pernyataan itu hanya berlaku bagi Gereja, sejauh ia setia kepada Kristus.
Diakui, bahwa Gereja adalah Gereja orang yang berdosa, dan di masa yang lalu telah membuat kesalahan-kesalahan. Dengan ini Gereja telah membuang semangat triomfalisme yang telah lama dipegangnya. Juga semangat klerikalisme dibuangnya. Dengan jelas konstitusi itu membicarakan Gereja. Mula-mula Gereja disebut umat Allah sebagai kesatuan. Baru kemudian disebut-sebut tentang fungsi anggota yang berbeda-beda, tentang uskup, imam, awam dan biarawan-biarawati. Gereja sekarang mengajarkan, bahwa semua umat beriman mengambil bagian dalam imamat Kristus. Denan demikian sifat pelayanan imamat hirarki menjadi tampak. Pelayanan ini hanya akan berfungsi baik, bila dilaksanakan dengan dialog, (atau untuk menggunakan kata lain yang juga menjadi terkenal karena konsili Vatikan), dengan semangat kolegialitas (kesatuan)
Pemikiran kolegialitas ini paling jelas digarap didalam teks tentang uskup hubungannya dengan paus. Uskup yang sudah terlalu lama dipandang sebagai administrator daerah keuskupannya (diosisnya), dan pelaksana belaka daripada kehendak paus, telah mendapat fungsinya yang lebih benar. la adalah pembawa berita Kristus bagi umat yang diserahkan kepadanya. lapun, sebagai anggota dewan para uskup yang dipimpin oleh paus, turut memerintah Gereja semesta. Kuria juga diperbaharui. Dahulu Kuria adalah organisasi tertutup yang hanya tunduk kepada paus. Sekarang ia harus rnenjadi instansi yang melayani dewan uskup-uskup dan memperhatikan kepenitngan para uskup.
Pikiran dialog juga menjiwai teks-teks tentang hubungan Gereja dengan Gereja-gereja bukan katolik. Belum lama berselang Gereja bukan katolik dianggapnya sesatan dan pemecah belah. Gereja-gereja itu diakui sebagai bentuk otentik dari umat kristen yang satu, yaitu umat Allah. Dosa perpisahan tidak lagi diletakkan pada pihak lain, melainkan diakui bersama-sama. Sungguhpun tidak dilaksanakan secara konsekwen, konsili juga mengakui bahwa Gereja Timur adalah Gereja dalam arti sepenuhnya, sedangkan Gereja-gereja Reforatormis (setelah Luther) dinamakannya umat-umat. Bedanya terletak dalam hal ini: Gereja Timur mengenal cara pergantian tampuk piinpinan Gereja dan memiliki sakramen yang sama dengan Gereja Latin. Sedangkan Gereja-gereja Reformatoris tidak mempunyai hal-hal seperti itu, atau hanya terbatas saja memilikinya. Dua hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa gerakan ekumene telah diambil alih sepenuhnya oleh Gereja. Pertama, dengan mengakui Gereja Timur sebagai Gereja yang sah, Gereja tidak lagi melarang orang katolik (Latin) untuk menyambut sakramen di dalam Gereja Timur, sebab sakramen memang sama. Sebagai tanda persekutuan ini, pada tanggal 7 Desember, pada malam menjelang penutupan konsili, Paulus VI dengan resmi membatalkan kutukan ekskomunikasi yang telah diucavkan oleh Roma pada tahun 1054. Pada jam yang sama, batrik Athenagoras dari Konstantinopel juga menjalankan upacara yang sama. Yang kedua ialah pertemuan yang diadakan tidak lama setelah konsili, antara Paulus VI dan uskup agung Ramsey dari Canterbury, pemimpin Gereja Anglikan. Mereka bersama-sama melakukan ibadat doa ekumenis. Terhadap agama-agama bukan kristen, seperti misalnya Yahudi, Budisme dan Islam, konsili juga mengambil sikap yang lebih positif. Persatuan antara agama kristen dan Yahudi ditekankan dengan menyatakan bahwa keduanya adalah pewaris Perjanjian Lama yang sama. Konsili juga mengakui nilai-nilai religius agama-agama besar di dunia.
Suatu konstitusi tersendiri dikhususkan untuk masalah: Gereja di dunia moderen. Mungkin bahasa teks konsili ini berbau kuno, namun semangatnya baru. Teologi mengenai barang-barang duniawi baru saja lahir, tetapi bahwa kita telah memulainya adalah hal yang amat menggembirakan. Hidup profan dalam segi-seginya sosio-ekonomis, ilmiah-tehnis dan kulturil (kebudayaan). tidak lagi meniadi obyek kecurigaan tetapi dianggap positif dan dihayatinya bersama-sama dengan yang lain. Di sinipun Gereja telah menemukan dasar yang sama: yaitu pertumbuhan menuju kemanusiaan vang lebih penuh: Keduanya membangun arah yang sama, dengan cara masing-masing, tanpa saling merugikan. Penugasan diterima da ri sumber yang sama, yaitu Allah, yang mernerintahkan, agar dunia dijadikan tempat hidup yang lebih baik.
Keluar dari konsili Gereia merasa dirinya segar. Kini ia tampak lebih sederhana, tidak lagi memegang teguh keyakinan bahwa dialah yang benar dan semua yang lain salah. la berdiri lebih dekat kepada manusia, karena ia kini tidak bersombong lagi, bahwa dialah satu-satunya yang memiliki jawaban siap atas semua persoalan. Memang ia tidak mengubah ajarannya, atau membuangnya. Ia hanya menyatakan diri sedia untuk menguji ajarannya dengan masalah kongkrit manusia moderen. Dengan jalan ini ajarannya mungkin dapat dimengerti oleh manusia, dan ajaran Gereja akan menjadi lagi “jalan, kebenaran dan kehidupan”.
Tentu saja, sukses konsili tidak terletak dalam dokumen-dokumennya. Ketika konsili berakhir pada tanggal 8 Desember 1965, pekerjaan sebetulnya baru mulai. Konsili telah memberikan dorongan untuk pembaharuan Gereia, dengan daya yang sebelumnya dikira hampir tidak mungkin. Karena dengan bijaksananya konsili membatasi diri pada beberapa garis besar yang pokok saja, dan menyerahkan hal-hal kecil kepada situasi dan kondisi masing-masing tempat dan kepada perkembangan, maka wajah Gereja yang pasti sekarang ini belum mungkin digambarkan. Baru kemudian para historisi akan dapat melihat pembaharuan wajah dan bentuknya yang jelas. Sejak sekarang Gereja bernama Gereja setelah Vatikan II.

III Masa depan kita bersama
Beberapa perbedaan Protestan-Katolik
Pada Katolik tekanan pada sakramen; pada Protestan teka pada sabda/pewartaan.
Pada Katolik imam kultis yang mempersembahkan kurban (Ekaristi); pada Protestan pendeta profetis yang menyampaikan` sabda Allah.
Pada Katolik Kitab Suci dibaca dan dipahami dalam umat dipimpin oleh hierarki; pada Protestan masing-masing orang membaca dan mengaitkan Kitab Suci sendiri.
Pada Katolik lebih mementingkan perasaan, kesenian, kehangatan; pada Protestan lebih menekankan pada pengetahuan, ilmu, dan ketegasan.
Pada Katolik agama kontemplasi (memandang); pada Protestan agama iman (mendengarkan)
Masalahnya adalah bagaimana kita menanggapi perbedaan-perbedaan ini dalam kehidupan bersama kita, terutama dalam kesaksian bersama terhadap dunia kita yang mayoritasnya beragama lain.
Hambatan paling besar, yang dihadapi oleh gerakan Oikumene di Indonesia, yaitu bahwa banyak orang tidak melihat perbedaan di atas sebagai perbedaan Gereja tetapi sebagai perbedaan agama! Penekanan pada perbedaan ini membuat kita tidak mampu menemukan bahwa iman Kristiani dan kesederhanaan Injil sebenarnya lebih penting daripada segenap perbedaan ini
Kita masih harus bekerja keras untuk dapat hidup hersama sebagai sama-sama orang Kristiani. Selama ini kita sudah punya tekad, tetapi masih hidup sendiri-sendiri, paralel satu disamping, yang lain. Padahal konteks kita sekarang menuntut agar kita bergerak bersama

IV Ecclesia semper refomanda: Quo Vadis pembaruan gereja Katolik
Setelah lebih dari 30 tahun pembaruan Konsili Vatikan II – boleh ditanya dimanakah kita sekarang ini ? Beberapa ide/pertanyaan :
Di Tingkat Pribadi/Keluarga
Lebih menggembleng diri agar menjadi warga Gereja yang lebih spiritual daripada yang formal ritual. Dengan demikian clapat menerima "menjadi lap", yang kemudian dibuang. Jadi, "habis manis sepah dibuang". Yang penting menjadi manis yang hetul-betul dan tetap manis untuk tidak dibuang. Bersedia setelah dipukul pipi kirinya diberikanlah pipi kanannya.
Di Tingkat Keluarga -sebagai unit terkecil masyarakat- integritas perlu diutamakan.. Hal ini menjadi semakin relevan mengingat semakin sulit mewariskan nilai-nilai yang baik pada anak-anak. Hindarilah hedonisme clan materialisme yang berlebihan.
Di Tingkat Masyarakat Bangsa
Kehadiran yang tegar atas nilai-nilai luhur dengan tetap memperhatikan bahwa kita hidup di dalam masyarakat yang pluralistik. Membuka dialog terus-menerus, mendorong pemikiran-pemikiran yang proketerbukaan, demokratis, clan mengindahkan hak-hak asasi manusia.
Menghadirkan tulisan-tulisan atau karya-karya lainnya mengenai pemikiran-pemikiran clan gagasan-gagasan kebangsaan yang demokratis; gagasan-gagasan Pancasila.
Peningkatan profesionalisme plus spiritualisme kristiani. Dengan demikian kebutuhan akan kesatuan Hierarki-Awam semakin diperlukan.
Tentang Kerasulan Awam
Masih subur sikap paternalistik baik di antara awam sendiri maupun di antara para imam serta biarawan, walaupun sering tidak dikatakan. Sikap ini muncul dengan lebih mempercayai dan menerima segala sesuatu yang dari imam saja. Awam lebih diterima sebagai orang yang memang awam dalam arti tidak tahu apa-apa daripada umat beriman yang mempunyai panggilan khusus atas dasar karya dan hidupnya dalam tata dunia.
Sikap minoritas yang selalu merasa orang Katolik itu sangat kecil maka mesti menerima saja apa adanya, karena bagaimanapun juga tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sikap ini membuat umat tidak mempunyai semangat untuk mengambil peran dalam masyarakat, bangsa dan negara sehingga sulit untuk dimotivasi agar bangkit menanggapi panggilannya sebagai awam secara penuh.
Katekese
Sebagai pewartaan iman dan pendidikan iman, mempunyai tugas untuk membantu dan membina umat beriman agar mampu menangkap dan menyadari sabda Allah di tengah-tengah masyarakat serta menanggapi sabda itu dengan melibatkan diri dalam usaha-usaha memperbarui dan menciptakan masyarakat yang semakin mendekati cita-cita Kerajaan Allah.
Option for the poor dan Pendidikan:
Sudah pudarlah semangat m tis clan membela prinsip-prinsip para misionaris dulu yang membawa Kabar Gembira Yesus di kalangan kaum dina lemah miskin. Sekolah Katolik sudah ditelan oleh mental komersial yang tidak berbeda dari sekolah-sekolah lain yang tidak menempatkan pendidikan moral dan etika di dalam program dasar mereka. “ Anak-anak kalangan bawah jangan mengharapkan pendidikan yang baik dari kami biarawan-biarawati dan lembaga pendidikan Katolik seumumnya yang 'bermutu', karena kami hanya melayani pendidikan yang 'baik', artinya yang identik dengan mahal; sedangkan kalian toh tidak akan mungkin membayar mahal.
Selain itu soal-soal prinsip-prinsip serta filsafat dasar pengajaran dan pendidikan, atau yang disebut masalah hidden curriculum (kurikulum terselubung) hampir tak pernah lagi diperbincangkan yayasan maupun lembaga-lembaga litbang (seandainya ada) Katolik secara kritis karena yang diburu hanya pujian dari pemerintah kalangan masyarakat the haves dalam kerangka komersialisasi. Kini sekolah-sekolah negeri sudah banyak yang berkualitas tinggi, tidak kalah bahkan sering mengalahkan sekolah Katolik dalam hal modal fisik dan pembiayaan. Segi pendidikan moral dan etika di sekolah-sekolah negeri, kita tahu, memang tidak banyak mendapat perhatian, akan tetapi hal ini tidak dapat katakan dari sekolah-sekolah Islam yang sungguh bermutu dan sekaligus mendidik moral dan etika para muridnya. Dengan kata lain, sekolah-sekolah Katolik sudah tidak dapat lagi membanggakan diri serba satu-satunya sekolah yang bermutu dan yang dicari oleh orang-orang tua elite.

V Simpul Kata
Reformasi yang dimulai Luther dapat dipandang juga sebagai berkah, semacam obat pahit yang menyehatkan. Dalam tingkat lembaga gereja Katolik sudah membenahi diri. Konsili Trente dibuka kurang dari 20 tahun sejak Luther mengobarkan revolusinya. Dan yang tidak tertandingi kaum Protestan digulirkan lewat Konsili Vatikan ½ abad kemudian. Namun demikian setelah lebih dari 30 tahun dapat ditanyakan apakah semangat Vatikan II telah sungguh kita hayati ? Kita juga perlu menggalakan semangat bekerja dengan dengan sesama saudara Kristen. Kita layak meminjam dari mereka hal-hal seperti awamisasi dan kecintaan yang dalam akan Kitab Suci (dibaca, direnungkan dan dipraktekan – 3D)
AMDG
Balikpapan 3 Desember 2006

Bacaan
1. Eddy Kristiyanto OFM, Reformasi dari Dalam, Kanisius 2004
2. Drs WL Helwig, Sejarah Gereja Kristus Jilid 2 dan 3, Kanisius, 1992
3. Pdt Dr Jan S Aritonang, Berbagai aliran di dalam dan disekitar Gereja, BPK, 2001
4. Edit Simon, Zaman Reformasi, Pustaka Time-life, 1966
5. Gereja Indonesia Pasca Vatikan II, Kanisius 1997

No comments:

Post a Comment