Saturday, February 21, 2009

Ladder 49

Ini film tayangan kilas balik cerita hidup seorang pemadam kebakaran –Jack (Phoenix)- yang terperangkap ditengah reruntuhan gudung yang menyala. Akhirnya ia mati dan saat requiem sang komandan (Travolta) memberikan euloginya. Katanya diujung tuturnya ttg kepahlawanan si Jack: let us stand up to celebrate Jack’s life dan segenap hadlirin berdiri dan bertepuk tangan. Rada ganjil bahwa diawal kematian orang bertepuk tangan merayakan kehidupan, tapi persis disini film ini menyengat (selebihnya boleh di fast forward, bahkan 16x tanpa perlu kuatir kehilangan jejak).

Berapa sering kita merayakan hidup ? Yang sering terdengar adalah keluhan repotnya hidup (air tidak mengalir, listrik mati, dan segenap tetek bengek lain), atau putus asa (yah nasib sayah mah cuma segini ajah, yah namanya juga pegawai, kapan ya saya dapat jodoh) atau rutinitas (alahmak besok sudah senin lagi !). Kapan pula kita rayakan nafas kita ? Yang -puji Tuhan- masih berlanjut sejauh ini. Kapan kita ingat bahwa yang kita take for granted as really a precious grant?

Jawabnya : Tidak, sampai itu diambil dari kita. Saat kehilangan, saat perpisahan, saat sakit, saat derita kita mestinya bisa lebih bersyukur. Ganjil bukan ? Seganjil tepuk tangan perayaan kehidupan dimisa kematian. Tapi begitulah manusia. Daya rasa kita mudah tumpul, tidak mampu lagi merasakan manis, kalau semua makanana dan minuman diberi gula. Baru setelah ketemu yang pahit orang tahu yang manis.

Maka John Powell SJ (bukan penulis favorit saya, tapi ndilalah saya baca buku yang satu ini) dalam bukunya “Kau Ubah Ratapanku menjadi Tarian” mengajak kita menari dalam derita kita. Menari bersama SANG PENARI, keluar dari duka dan menjadi lebih matang.

Penari sejati menyerahkan raganya pada tarian. Ia tidak menghitung langkah (dua kekanan, satu kekiri), ia tidak menghafal rentak (habis gerak itu maka gerak yang ini). Ia hilang dalam tariannya.

Mengikuti logika penari dan menyimak ajakan Powell bolehlah kita belajar bahwa derita/kehilangan/dsb adalah kesempatan untuk menajamkan rasa, mendengar suara bathin nan lirih, melihat yang tidak kita lihat sehari-hari, agar kita bisa menyerah dan menari bersama SANG PENARI utama, keluar dari lorong sementara itu dan menjadi lebih dewasa.

Kata Brouwer (alm): tidak mungkin menjadi dewasa tanpa menjadi terluka. Luka akan menyempatkan kita mensyukuri hidup, dan lantas menyerahkan sisa hidup selanjutnya pada SANG PENCIPTA, menarikan tarianNya, sampai IA menjemput hayat kita pada saatnya nanti.

[BTW filmnya C- saja deh nilainya, fakultatif, boleh lihat kalau udah kadung beli DVDnya]
December 07, 2004

No comments:

Post a Comment